Membahas seputar kegiatan berdebat atau mujadalah lebih asyik jika yang pertama dibahas adalah arti dari kata ini. Perlu diketahui, bahwa para ulama memiliki pandangan masing-masing dalam mendefinisikan kata mujadalah ini.

Dalam kitab Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Syekh ar-Raghib al-Ashfihani berkata bahwa yang dimaksud dengan kata mujadalah adalah suatu usaha dalam bernegosiasi melalui perselisihan. Sementara al-Imam Ibnu Manzhur dalam manifestonya Lisânul-Arâb mengatakan bahwa definisi dari kata mujadalah adalah sebuah perdebatan dan perselisihan.

Jadi, setiap kegiatan yang menyuguhkan sebuah BEDA MUJADALAH, MUNAZHARAH, DAN MUHAWARAH rabiuts tsani 1445 H sidogirimedia 41 perdebatan antar satu pihak dengan pihak yang lain itu bisa disebut dengan mujadalah. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah apa perbedaan kata mujadalah dengan kata munazharah dan muhawarah, bukankah tiga kosa kata bahasa Arab ini juga memuat arti perdebatan?

Terkait hal ini, ada penjelasan menarik dari al-Imam Saifuddin al-Amidi sebagaimana dikutip dalam mahakarya yang bertajuk Al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah. Ulama Sunni ini menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan mujadalah adalah perdebatan umum dalam arti menampilkan argumentasi sekiranya bisa menekan dan mengalahkan pihak lawan. Artinya, tujuan dari setiap pihak yang berdebat ini adalah bagaimana caranya mempertahankan argumentasinya dan berusaha mengalahkan pihak lawannya, baik pihaknya itu berada di posisi yang benar maupun berada di posisi yang salah.

Adapun yang dimaksud dengan munazharah adalah perdebatan ilmiah dalam arti dua belah pihak saling menampilkan argumentasi dengan tujuan sama-sama mencari poin kebenaran, tetapi tensi pihak yang berdebat masih terbilang memanas. Sementara yang dimaksud dengan muhawarah adalah perdebatan dalam arti dialog yang dilakukan oleh dua belah pihak dengan tujuan sama-sama mencari poin kebenaran tanpa ada unsur menekan, menjatuhkan, dan mengalahkan pihak lawan. Sebab itulah, para ulama kemudian menilai bahwa muhawarah inilah satu-satunya perdebatan yang mengandung maslahat dan adab yang tinggi, sebab perdebatan yang dilakukan di dalamnya murni dilakukan dengan cara berdialog dengan kepala dingin, sehingga dalam prosesnya tidak ada unsur permusuhan antar satu dengan yang lain.

Selanjutnya, mengenai dalil berdebat, apakah ada di dalam Al-Quran? Sebenarnya, ada banyak ayat yang menyinggung tentang berdebat. Di antaranya adalah firman Allah جل جلاله berikut: “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka, dan katakanlah, ‘Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhan kamu satu; dan hanya kepada-Nya kami berserah diri’” (QS. Al-Ankabut 46).

Mengenai ayat ini, sebagaimana disampaikan oleh al-Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya, para ulama menegaskan bahwa ayat ini bisa dijadikan pijakan bagi umat Islam yang ingin berdebat dengan tujuan menjelaskan sebuah kebenaran. Ayat ini juga bisa dijadikan pegangan dalam berdebat, dengan syarat, perdebatan yang dilakukan adalah perdebatan yang memegang teguh pada pilar etika yang baik. Makanya kemudian, bagi umat Islam yang ingin mengemukakan sebuah kebenaran, salah satu caranya boleh dengan jalan berdebat. Akan tetapi, perdebatan yang hendak dilakukan itu tidak boleh lepas dari akhlak yang sopan.

Dalam hal ini, Allah جل جلاله telah memberitahukan caranya kepada kita. Allah جل جلاله berfirman dalam Al-Quran: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk” (QS. An-Nahl 125).

Mengomentari ayat ini, al-Imam Abu Hayyan al-Andalusi dalam Tafsîr al-Bahru al-Muhîth menegaskan bahwa yang dimaksud dengan berdebat yang baik adalah berdebat dengan menggunakan kata-kata yang sopan, lemah lembut, dan mengandung pesan mendamaikan. Sehingga, perdebatan yang demikian sama sekali tidak akan menuai perselisihan, permusuhan, dan persengketaan antara dua belah pihak. Makanya kemudian perdebatan-perdebatan yang demikian diperbolehkan oleh syariat Islam.

Kemudian, syarat selanjutnya yang wajib diperhatikan bagi seseorang yang memilih jalan berdebat adalah ia tidak boleh hanya bertujuan ingin berdebat saja, tetapi harus ada niat yang tulus bahwa dia ingin menjelaskan sebuah kebenaran. Hal ini sebagaimana bisa dilihat perdebatan yang terjadi antara Nabi Ibrahim dan raja Namrud. Berikut ayat yang menjelaskan perdebatan antara keduanya. Allah جل جلاله berfirman dalam Al-Quran: “Tidakkah kamu memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim mengenai Tuhannya, karena Allah telah memberinya kerajaan (kekuasaan). Ketika Ibrahim berkata, ‘Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,’ dia berkata, ‘Aku pun dapat menghidupkan dan mematikan.’ Ibrahim berkata, ‘Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat.’ Maka bingunglah orang yang kafir itu. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim” (QS. Al-Baqarah 258).

Ayat di atas ini memberikan penjelasan bahwa perdebatan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim adalah perdebatan yang diperbolehkan oleh syariat Islam, yaitu dalam perdebatannya, Nabi Ibrahim menyampaikan argumentasinya dengan cara proporsional. Artinya, dalam perdebatannya dengan Raja Namrud, Nabi Ibrahim menjauhi kata-kata kotor, seperti ujaran kebencian dan penistaan. Yang ada adalah, Nabi Ibrahim justru tampil dengan menggunakan kata-kata yang baik, tidak ada unsur hinaan dan cacian, serta Nabi Ibrahim memiliki niat yang ikhlas dan tulus, yaitu benar-benar ingin menjelaskan sebuah kebenaran berupa tauhid mengesakan Tuhan.

Adapun terkait dengan detail adab dan aturan berdebat, juga tujuan-tujuan berdebat, serta kriteria berdebat yang terpuji dan tercela akan dijelaskan secara tuntas di tulisan kajian berikutnya. Selamat membaca.

M. Khoiron Abdulloh/sidogiri

Spread the love