Ketika sakit keras menimpa Imam al-Bushiri. Melumpuhkan segenap daya dan upaya. Memaksakan diri berbaring tak berdaya. Mengubur asa dan cita-cita yang pernah membara. Memenjarakan kreativitas yang sempat bergerilya. Di titik inilah kualitas pribadi kita mengemuka. Di saat secuil harapan tak bersuara. Akankah kita terpuruk jauh dalam jurang nestapa. Justru tetap bangkit bersama iman di dada.

Setidaknya, kondisi itulah yang pernah menimpa sang pujangga satu ini. Ketika itu, penyakit lumpuh betul-betul merenggut semua peluang dan potensinya. Pada situasi itu, tabib memvonisnya menginap penyakit ‘stroke’. Sayangnya, tak satupun dokter mampu menyembuhkan sakit yang diderita. Jangankan sembuh, meringankan saja tak kuasa.

Pada titik ini, sang pujangga tak pernah putus asa belaian kasih Pencipta. Keadaan yang memaksanya banyak diam dan menyendiri, justru menghidupkan untaian imajinasi dalam gelayut kepala. Tergambar dalam angannya, sosok sempurna pujaan hati. Semakin hari, semakin menyendiri, semakin berdiam diri, bayang-bayang indah sosok yang dikaguminya menggelayut di ambang mata, membuatnya rindu tiada tara.

Dari kerinduan inilah, diputuskannya merangkai untaian kata ekspresi jiwa. Bait demi bait ditata. Semua rindu menggila diluangkan dalam bentuk kata. Layaknya kekasih yang sedang mabuk asmara, semua terlontar begitu saja, mengikuti irama dan nada-nada cinta. Begitulah Imam al-Bushiri mengeksperisikan rasa cintanya kepada Baginda. Tertuang indah dalam karya fenomenal tiada duanya.

| BACA JUGA : KEDAHSYATAN MAULID SYARAFUL ANAM

Dalam al-Madâ’ih an-Nabawiyyah disebutkan bahwa di tengah penulisan ungkapan cintanya tersebut, Imam al-Bushiri tertidur dan berjumpa dengan kekasihnya, Rasulullah. Dalam mimpinya itu, ia berkesempatan membacakan lantunan syair yang digubahnya di hadapan Baginda. Ketika sampai pada bait ‘Famablaghul-ilmi fîhi annahû basyarun’ ia pun terdiam dan tak sanggup melanjutkan. Lalu Rasulullah mengajarinya : “Ucapkanlah: wa annahûkhairu khalqillâhi kullihimi.” Bait itu pun akhirnya menjadi bagian dari lantunan melodi cinta Imam al-Bushiri.

Syekh Zakariya al-Anshari dalam az-Zubdah ar-Raiqah bercerita, usai Imam al-Bushiri menyelesaikan seluruh baitnya, ia kembali bermimpi bertemu Baginda Nabi. Wajah Imam al-Bushiri diusap oleh tangan Baginda lalu Baginda mengalunginya dengan selendang (burdah) milik Baginda. Ketika terbangun, Imam al-Bushiri mendapati tubuhnya sehat bugar. Sembuh seketika dari penyakit yang membelenggunya, bahkan seperti orang yang tidak pernah menderita penyakit sama sekali.

Malam itu, belum ada satu orang pun yang mengetahui isi gubahan syair serta keajaiban yang dialaminya. Namun keesokan harinya, saat Imam al-Bushiri keluar rumah, tiba-tiba ada orang fakir menghampirinya dan berkata, “Izinkan aku dengar lantunan bait cinta yang tuan cipta untuk menyanjung Baginda kemarin malam!” Imam al-Bushiri terkejut bukan kepalang, karena ia merasa belum bercerita apapun dan pada siapa pun soal syair itu. “Kasidah apa yang kau maksud?,” tanya Imam al-Bushiri. Dia menjawab, “Kasidah yang awalannya Amin tadzakkuri jîranin bi Dzî Salami (bait pertama kasidah Burdah). Demi Allah, kasidah tersebut bersenandung indah di hadapan Nabi kemarin. Beliau mengayun seperti tangkai yang berayun.” Imam al-Bushiri lalu memberikan kasidah itu kepada orang fakir tadi sekaligus menceritakan sejarah pembuatan nya.

Sementara itu, dalam Syarhul-Burdah al-Bûshîriyyah asy-Syarhu al-Mutawassith, halaman 5 dan 6, juga disinggung latar belakang terciptanya kasidah Burdah ini. Imam al-Bushiri berkata, “Adapun alasanku menggubah kasidah ini (Burdah) adalah karena aku terkena penyakit lumpuh (stroke) dan tiada satu pun tabib yang bisa mengobatiku. Ia menyebabkan separuh tubuhku lumpuh dan membebani pikiranku. Maka aku berpikir untuk menggubah sebuah kasidah. Dengannya aku bisa memuji dan menyanjung Rasulullah dan nantinya akan ku jadikan tawasul kepada Allah agar menyembuhkan penyakitku.”

Setelah gubahan kasidah tersebut selesai, sebagaimana yang juga tertera dalam karya Syekh Zakariya al-Anshari di atas, Imam al-Bushiri bermimpi Baginda Nabi. Imam al-Bushiri langsung bersimpuh di bawah kedua kaki Baginda  seraya mengadukan penyakitnya. Baginda kemudian mendekatinya dan mengusapkan kedua tangannya kepada tubuh Imam al-Bushiri. Saat terbangun, seketika itu tubuhnya sembuh total dari penyakit lumpuh. Lanjutan kisahnya sama persis dengan cerita dalam az-Zubdah ar-Raiqah di atas.

Kasidah yang nama aslinya berupa al-Kawâkib ad-Durriyyah fi Madhi Khairil- Bariyyah (Bintang–Bintang Gemerlap tentang Pujian terhadap Sang Manusia Terbaik) ini dapat dikatakan sebagai kasidah penting dalam pujian kepada Baginda. Karena itu, para ulama di seantero dunia menyambut hangat lahirnya kasidah ini. Selain karena keindahan kata-kata yang diramu oleh Imam al-Bushiri, kasidah Burdah semakin sempurna dengan subtansinya yang komplit dan universal. Setidaknya, ada sepuluh element yang disuguhkan oleh Imam al-Bushiri dalam gubuhan sensasionalnya ini, yaitu tentang cinta kepada Baginda, warning godaan dan tipu daya hawa nafsu, sanjung puji kepada Rasulullah, kisah kelahiran Baginda, mukjizat Rasulullah, kemulian kitab suci al-Quran serta pujian untuknya, peristiwa Isra’ Mikraj, beberapa peperangan yang dijalani Rasulullah, bertawasul kepada Baginda dan munajat, menengadahkan segala hajat.

| BACA JUGA : MERESAPI MAKNA KEAJAIBAN MAULID

Ibnu Khaldun pernah mempersembahkan kasidah Burdah tersebut kepada Timur Lenk. Sementara itu, Abdul Qadir al-Jazairi, pahlawan Aljazair menulis satu bait Burdah di benderanya saat berperang melawan Prancis :

وَمَنْ تَكُنْ بِرَسُوْلِ اللهِ نُصْرَتُهُ # إِنْ تَلْقَهُ اْلأُسْدُ فِيْ أَجَامِهَا تَجِمِ

“Barang siapa mengharapkan pertolongan dengan keberkahan Rasulullah, jika bertemu dengan harimau di hutan tidak akan diterkamnya.”

Syekh Hasan bin Muhammad Syadad Ba Umar dalam karyanya, Kaifiyatul-Wushûl li Ru’yati Sayyidinar-Rasûl, berkata, “Aku diajari oleh tuan dan kekasihku Sayid Ahmad Masyhur al-Haddad, bahwa sebagian para pencinta telah datang kepadanya dan meminta saran agar dapat bermimpi berjumpa dengan Rasulullah. Dia menyuruhnya untuk membaca suatu bait dari kasidah Burdah. Setiap satu kali membaca bait itu, hendaklah membaca shalawat 10 kali. Kemudian orang itu melaksanakan perintahnya sehingga dapat bermimpi Rasulullah.” Bait Burdah yang dibaca tersebut adalah :

نَعَمْ سَرَى طَيْفُ مَنْ أَهْوَى فَأَرَّقَنِيْ # وَاْلحُبُّ يَعْتَرِضُ الَّلذَاتِ بِاْلأَلَمِ

“Ya … datang dengan diam-diam di malam hari orang yang kucintai dan menyebabkan aku tidak dapat tidur. Dan cinta itu mengganggu kelezatan dengan kesakitan.”

Spread the love