Akhir tahun 2019 yang lalu, DPR telah memutuskan untuk merevisi pada UU Perkawinan. Keputusan atas revisi tersebut telah ditandatangani oleh Presiden. Di antara perubahan yang paling signifikan adalah mengenai usia pernikahan. Dalam revisi itu disebutkan: “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.”
Lalu, bagaimana kita menyikapi perubahan undang-undang ini, sementara dalam agama Islam tidak ada larangan untuk melakukan pernikahan usia dini? Mengenai hal itu, setidaknya ada dua hal yang harus benar-benar kita perhatikan dengan seksama. Pertama, kita harus menyadari bahwa negara punya hak untuk melarang atau mewajibkan sesuatu yang berhukum boleh dalam agama; dan rakyat wajib mematuhinya. Imam Ibnu Hajar al-Haitami mengutip pernyataan para ulama dalam Tuhfat al-Muhtâj:
تَجِبُ طَاعَةُ الْإِمَامِ فِي أَمْرِهِ وَنَهْيِهِ مَا لَمْ يُخَالِفْ الشَّرْعَ
“Wajib mematuhi pemimpin dalam segenap perintah dan larangannya, selagi hal itu tidak menyalahi syariat.”
Namun demikian, kebijakan pemerintah tersebut harus berlandaskan pertimbangan maslahah serta tidak dilakukan dalam rangka tasyrî’ (membuat atau mengubah syariat agama), melainkan sebatas kebijakan yang didasarkan kepada kepentingan dan kemaslahatan rakyat, sebagaimana disebutkan dalam kaidah fikih:
تَصَرُّفُ الإمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالمَصْلَحَةِ
“Kebijakan pemimpin atas rakyat terikat dengan kemaslahatan.”
Oleh karena itu, pelarangan terhadap barang mubah oleh negara seyogyanya tidak bersifat umum, namun dikaitkan dengan konteks kemaslahatan tertentu. Sebab, jika bersifat umum maka ada kesan tasyrî’ dan mengabaikan perbedaan konteks maslahat. Atas dasar hal tersebut, beberapa ulama kontemporer menyebut hak pemerintah untuk melarang atau mengharuskan barang mubah dengan istilah taqyîd al-mubâh (pembatasan), bukan îjâb (pewajiban) atau nahyu (pelarangan). Pilihan diksi tersebut dilakukan untuk menghindari kesan tasyrî’ dan kesan umûmiyah (universal).
Baca Juga: Masih Bingung, Nikah Saja!
Senada dengan hal tersebut, Imam Ibnu Hajar al-Haitami menyatakan:
اَلَّذِيْ يَظْهَرُ أَنَّ مَا أَمَرَ بِهِ وَلِيُّ الأمْرِ مِمَّا لَيْسَ فِيْهِ مَصْلَحَةٌ عَامَّةٌ لَا يَجِبُ اِمْتِثَالُهُ إلَّا ظَاهِرًا فَقَطْ دَفْعًا لِلْأَذَى، بِخِلَافِ مَا فِيْهِ ذَلِكَ؛ يَجِبُ بَاطِنًا أَيْضًا
“Menurut pandangan yang lebih jelas kebenarannya, bahwa aturan pemerintah yang tidak memiliki kemaslahatan umum, hukumnya tidak wajib dipatuhi, kecuali sekadar kepatuhan lahiriah untuk menghindari tekanan penguasa. Beda halnya dengan aturan yang memiliki kemaslahatan, maka wajib dipatuhi baik secara lahiriah maupun secara batiniah.”
Kedua, pertimbangan maslahah dan mafsadah. Ada beberapa alasan yang dominan muncul dalam perubahan UU ini. Di antaranya untuk menyukseskan program wajib belajar 12 tahun yang dicanangkan oleh pemerintah. Jika seseorang diizinkan menikah sebelum usia 19 tahun, itu artinya dia menikah sebelum tamat sekolah menengah atas. Hal ini menghambat program pemerintah.
Di antaranya ada pula yang mengemukakan bahwa menurut kajian medis, organ reproduksi wanita baru siap untuk melahirkan pada usia 20 tahun. Jika terjadi pernikah di bawah usia 19 tahun, maka akan terjadi perempuan melahirkan di bawah usia 20 tahun. Katanya, hal itu cukup berisiko.
Selain itu, mungkin masih banyak alasan-alasan lain yang diutarakan terkait dengan hal ini, termasuk kesiapan psikologis kedua calon mempelai dan semacamnya. Intinya, secara umum kita tidak memungkiri bahwa revisi UU Pernikahan ini memiliki maslahah bagi rakyat, setidaknya menurut kacamata pembuat undang-undang. Kita mempercayai dan menyetujui hal itu. Akan tetapi, jika dalam kondisi tertentu aturan ini bertentangan maslahat, maka rakyat boleh melewatinya, misalnya dengan melakukan pengajuan terhadap pengadilan dan semacamnya. Sebab, ketentuan pemerintah bisa dilewati jika jelas-jelas bertentangan dengan kemaslahatan.
Selain itu, alangkah bijak, seandainya pemunduran usia pernikahan itu juga ditambah dengan kebijakan lain yang lebih mengarah kepada penyelamatan moralitas generasi muda kita dari pergaulan lawan jenis yang melanggar ajaran agama dan norma-norma masyarakat.
Baca Juga: Agar Suami Tak Nikah Lagi
Tidak bisa dipungkiri bahwa pergaulan bebas merupakan masalah serius di kalangan anak-anak remaja. Oleh karena itu, ada saja orang yang berpikir bahwa pernikahan usia dini adalah solusi untuk mengatasi hal tersebut. Pandangan ini—meskipun ada benarnya—tentu saja hanyalah jalan pintas yang terlalu tergesa-gesa, tidak mempertimbangkan efek-efek yang lain.
Oleh karena itu, langkah yang paling elegan adalah mengupayakan adanya kebijakan-kebijakan khusus dari pemerintah untuk mengatasi hal tersebut. Sebab, sementara ini, memang tidak ada undang-undang atau peraturan apapun yang secara eksplisit melarang budaya pacaran. Ini menjadi sangat aneh jika misalnya kita simulasikan ke dalam sebuah asumsi: bahwa seseorang bisa dipenjara gara-gara pernikahan dini, tapi tidak bisa dipenjara gara-gara pacaran dini.
Jika pemerintah secara eksplisit melarang pernikahan dini dan pernikahan siri yang notabene halal menurut agama, maka seharusnya pemerintah jauh lebih gencar melarang pacaran yang jelas-jelas haram menurut agama. Jika hal itu tidak dilakukan, boleh jadi, suatu saat nanti persepsi bangsa Indonesia mengenai hubungan lawan jenis akan mengalami pergeseran dahsyat. Bangsa kita akan lebih antipati terhadap pernikahan dini daripada pacaran—sebagaimana pandangan Barat saat ini. Tanda-tanda ke arah itu sudah banyak muncul. Bukankah masyarakat kita mulai sudah menganggap biasa anak-anak remaja berpacaran!? Sementara itu, di sisi lain, mereka menganggap aneh jika ada anak remaja menikah.
Intinya, upaya pemerintah untuk ‘menuakan’ usia pernikahan perlu kita sambut dengan baik, karena memiliki beberapa pertimbangan yang positif. Hanya saja, pemerintah dan kita, jangan sampai lupa untuk menyiapkan jurus penangkal pergaulan bebas. Jangan sampai ada kesan bahwa menikah itu sulit, mahal dan harus menunggu lama, sehingga anak-anak remaja memilih ‘jalan lain’ untuk menyelesaikan hasrat mereka secara mudah, gratis dan instan.
Sungguh, betapa mulianya bangsa ini, jika generasi muda kita terinspirasi oleh slogan religius mengenai relasi cinta dan pernikahan, “Mencintai orang yang kita nikahi jauh lebih baik daripada menikahi orang yang kita cintai.”
Ahmad Dairobi/Sidogiri