ISRAILIYYAT DAN NASRANIYYAT DALAM KISAH ASHABUL-KAHFI
Seiring perputaran waktu, pasca turunnya surah al-Kahfi, tersebar riwayat-riwayat yang membicarakan kisah Ashabul-Kahfi secara lebih spesifik dan terperinci, menyentuh elemen yang tak dijamah oleh al-Quran. Muncul kemudian riwayat yang menjelaskan nama-nama mereka, masa hidup, raja zalim yang mengejar mereka, tempat gua mereka bersembunyi, dls.
Menurut referensi Nasrani, nama tujuh pria tersebut adalah Maximian, Malchus, Martinian, Dionysius, Yohanes (John), Serapion, dan Konstantin. Kisah mereka disebutkan terjadi pada masa raja Dikyanus yang diperkirakan berkuasa pada tahun 112 M. Versi lain menyatakan pada tahun 106 M, ketika pasukan Romawi yang dipimpin Kaisar Trajan berhasil menduduki Yordania.
Dalam diskursus Islam, banyak sekali didapati kitab-kitab tafsir klasik yang mengurai lebih mendetail isi ayat yang mengisahkan Ashabul-Kahfi . Data-data perinci tersebut banyak berasal dari data Israiliyyat. Sebut saja referensi paling populer adalah “Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta’wîli Âyil-Quran”
karangan Imam Ibnu Jarir ath-Thabari (224-310 H) atau “Ad-Durrul-Mantsûr fît-Tafsîr bil-Ma’tsûr” karangan Imam Jalaluddin as-Suyuthi (849-911 H). Data Israiliyyat dimaksud, tersusup dalam identitas personal, nama-nama, masa dan tempat Ashabul-Kahfi hidup, termasuk pula nama dan warna anjing Ashabul-Kahfi, dls.
Baca juga: Kisah Ashabul Kahfi I
Dalam Mukaddimah, Ibnu Khaldun menyebutkan bahwa penyebab masuknya data Israiliyyat dan Nasraniyyat dalam tafsir al-Quran (dan Hadis) karena bangsa Arab praIslam memiliki pola budaya badâwah (nomad) dan ummiyyah (buta huruf), tak mempunyai perpustakaan dan ilmu tentang sebab penciptaan alam semesta, kapan dan apa rahasianya. Setelah kedatangan Islam, kaum Muslim mencari tahu tentang hal-hal itu kepada para shahabat mereka yang dahulunya beragama Yahudi dan Nasrani— mayoritas mereka dari kawasan Himyar. Penjelasan yang mereka berikan tak terlepas dari tradisi dan kebudayaan mereka sebelum masuk Islam, kecuali hal-hal yang berhubungan dengan hukum syarait dan akidah (Mukaddimah Ibnu Khaldun: 267). Sedangkan adz-Dzahabi menyebutkan bahwa masuknya data Israiliyyat ke dalam tafsir dimulai sejak zaman shahabat (Al-Isrâiliyyat fit-Tafsîr wal-Qur’ân: 13-14)
Beberapa pihak yang populer dikenal sebagai sumber tersebarnya data Israiliyyat dalam kitab-kitab tafsir adalah Ka’ab al-Ahbar, al-Qurazhi, Wahb bin Munabbih, Abdullah bin Salam, dan Tamim ad-Dari. Mereka telah menyebarkan ratusan data Israiliyyat dalam Tafsir dan Hadis mengenai kisah-kisah terdahulu (Al-‘Aqîdah wasy-Syarî’ah fil-Islâm: 50). Beberapa sosok shahabat yang memiliki peran signifikan dalam literasi Islam seperti Abu Hurairah, Ibnu Abbas, dan Abdullah bin Umar, juga meriwayatkan dari para mantan Ahlul-kitab tersebut—tak terkecuali seputar kisah Ashabul-Kahfi (Fajrul-Islam: 161).
Ka’ab al-Ahbar adalah pendatang dari Yaman pada masa pemerintahan Sayidina Umar. Shahabat, dan masyarakat Islam yang lain mengambil riwayat darinya. Ka’ab wafat di Hims, setelah Syam dan kota Islam lain penuh dengan data Israiliyyat. Adapun Wahb bin Munabbih adalah penduduk asli Paris, tapi besar dan tinggal di Yaman. Ia banyak meriwayatkan dari penduduk Yahudi di Yaman. Ketika masuk Islam, ia banyak meriwayatkan kepada para shahabat semisal Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Ibnu Abbas, dll. Sedangkan Tamim ad-Dari juga berasal dari Yaman. Ia seorang Nasrani. Kabilahnya melakukan rihlah ke desa di Palestina dan kemudian mendatangi Rasulullah pada perang Tabuk tahun IX Hijriyah. Ia termasuk rahib Nasrani. Ia kembali ke Syam setelah Sayidina Utsman terbunuh lalu bergabung dengan kelompok Sayidina Muawiyah. Tamim ad-Dari adalah periwayat kisah al-Jassasah yang diriwayatkan dalam Sahih Muslim. (Dâiratul-Ma’ârif al-Islâmiyah: X/59).
Baca juga: Kisah Ashabul Kahfi II
Namun perlu digaris bawahi bahwa para shahabat dalam meriwayatkan data Israiliyyat masih berada dalam batas kewajaran. Mereka tidak bertanya pada Ahlul-Kitab tentang segala sesuatu. Yang mereka tanyakan hanyalah sebatas penjelas kisah-kisah al-Quran dan Hadis dan itupun tidak disertai sikap memberi penilaian benar atau salah. Bahkan sering pula mereka menolak materi riwayat Israiliyyat itu ketika dianggap tidak sesuai dengan sumber syariat.
Menyikapi data Israiliyyat dalam diskursus kitab tafsir, ulama menyebutkan bahwa sumber data adakalanya berasal dari naqal (yang dibenarkan) dan istidlal (yang dianggap kuat). Adapun naqal adakalanya berasal dari sosok maksum, adakalanya dari pihak yang tidak maksum. Data yang berasal dari sosok maksum (baca; nabi) adalah jelas berupa kebenaran. Sedangkan data yang berasal dari sosok yang tidak maksum (seperti data Israiliyyat), maka Imam Ibnu Katsir mengklasifikasikan menjadi tiga macam: (1) sejalan dengan syariat; (2) tidak sejalan dengan syariat; (3) tidak masuk bagian pertama dan kedua (Tafsir Ibnu Katsir: 4). Untuk poin nomer 3, ulama menyebutkan, jika terkait data yang tidak ada ruang untuk menentukan benar atau tidaknya data tersebut maka melacak dan memperdebatkannya merupakan aktifitas non-substansial dan hanya akan membuang waktu dan tenaga. Contoh konkretnya adalah memperdebatkan semisal identitas Ashabul-Kahfi dan yang terkait; bahan dan ukuran kapal Nabi Nuh; nama anak yang dibunuh oleh Nabi Khidir, dan lain sebagainya. Maka, memperdepatkan hal-hal tersebut berpotensi melupakan pesan inti yang tersimpan dalam pengisahan kisah-kisah terdahulu dalam al-Quran.
Yang sangat perlu dipahami adalah bahwa kehadiran kisah Ashabul-Kahfi dalam al-Quran yang disampaikan Nabi menyimpan motivasi teologis-ideologis, salah satunya adalah menegaskan entitas wahyu dan kerasulan. Kisah Ashabul-Kahfi yang terdapat dalam al-Quran menjadi eksklusif tersebab karakter pengisahan yang amat singkat dan padat. Hal ini bertolak pada poin paling prinsip dari kisah tersebut bukanlah terletak pada wujud kisah itu sendiri—dalam artian tidak sebagaimana kisah pada umumnya yang lebih baik jika dikisahkan dengan panjang lebar dan gamblang; disebutkan dengan rinci dan lengkap sebagaimana seharusnya sebuah kisah dikisahkan—namun kisah Qurani bertujuan memberi ibrah, peringatan, pengajaran, dan penjelasan bagi pendengarnya. Maka dari itu, ketika mengisahkan Ashabul-Kahfi, al-Quran tidak secara leterlek memberi penjelasan identitas pribadi subjek sejarah, tempat, dan masa terjadinya kisah tersebut. Karena memang bukan itu tujuan utamanya. To be continued…
M Romzi Khalik/sidogiri