Ibu tengah baya diantara para pendemo. Wajahnya letih berlebur pilu. Keringatnya mengucur bercampur debu. Bocah kecil di dalam gendongannya. Tubuhnya ringkih dipastikan cacingan. Wajahnya diam meneriakkan sejuta kecewa. Tanpa ekspresi, ibu itu membentangkan kertas putih yang tak kalah kusam. ‘Sungguh! Kami Menuntut Keadilan.’

Mau bagaimana lagi. Bahkan sampai saat ini. Keadilan masih mahal. Semahal merealisasikan sila kelima untuk bangsa Indonesia. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Yang tak kunjung menyeluruh. Masih terkesan separuh-separuh.

Ibu tengah baya itu menagis…

“Oh, katanya Tuhan Maha adil. Tapi mengapa ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ belum bisa merayu-Nya untuk berlaku adil untuk Bangsa Indonesia? Katanya Tuhan Maha adil. Tapi mengapa 230 juta jiwa tauhid belum dikabulkan doanya? Katanya Tuhan Maha adil. Tapi mengapa ratusan kiai, ribuan dai, dan jutaan manusia bertitel haji belum mampu menemui-Nya pemilik samudera keadilan? Apakah ‘katanya’ itu kini tinggal katanya?”

Tidak, ibu tengah baya. Tuhan masih adil dengan keadilannya. Hanya saja manusia yang tidak adil pada Tuhannya. Apalagi pada sesama makhluk-Nya.

Yakinlah! Konsep keadilan itu dibawa oleh Tuhan. Melalui rasul-Nya. Di sebarkan sahabatnya. Diamalkan penerusnya. Lalu tanpa terasa sudah mendunia.

Baca Juga: Pendidikan Untuk Indonesia Beradil Dan Beradab Solusi

“Kau hanya bisa berkata. Tak pernah mengerti yang kami rasa.”

Oh, ibu tengah baya. Tidak semua muslim berperilaku islami. Dan tidak semua perilaku islami dilakukan oleh muslim. Tidak kah ratusan juta muslim ada di sekitar kita? Sebangsa dan setanah air dengan kita?

“Tapi…”

Banyak dari mereka mengira keadilan itu untuk sebagian manusia saja. Sebagaimana pola pikir jahiliyah kuno. Dan banyak dari mereka mengira keadilan itu harus sama rata. Sebagaimana pola pikir jahiliyah modern.

“Lalu apa adil itu sebenarnya?”

Sederhana, ibu tengah baya. Adil adalah memahami hak dan kewajiban. Antara kita dan mereka. Lalu kewajiban ditunaikan dan hak didapatkan. Begitulah adil.

Maka keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, adalah menunaikan seluruh kewajibannya sebagai rakyat, lalu boleh menuntut haknya sebagai rakyat.

Presiden adalah rakyat. Maka laksanakan kewajiban lalu dapatkan yang menjadi hak. DPR adalah rakyat. Maka laksanakan kewajiban lalu dapatkan yang menjadi hak. MPR adalah rakyat. Maka laksanakan kewajiban lalu dapatkan yang menjadi hak. Rakyat adalah rakyat. Maka laksanakan kewajiban lalu dapatkan yang menjadi hak. Begitulah keadilan sosial akan menyeluruh untuk seluruh rakyat.

Baca Juga: Hukum Alam Ketidakadilan

“Bila tidak?”

Maka yang hadir bukanlah keadilan. Melainkan sisi sebaliknya. Kedzaliman.

Semua berpotensi dzalim. Ketika hak dan kewajiban tidak berjalan harmoni. Presiden bisa dzalim. DPR bisa dzalim. MPR bisa dzalim. Dan rakyat pun bisa dzalim. Semua berpotensi. Meski tidak semua memahami.

Jangankan dalam skala besar, yaitu sebuah negara. Yang mana di dalamnya ada jutaan manusia. Jutaan hewan. Jutaan tumbuhan. Dan milyaran makhluk tuhan. Di dalam skala terkecil saja keadilan harus hadir.

Manusia. Harus adil pada diri mereka sendiri. Pahami apa yang menjadi hak diri. Lalu apa yang menjadi kewajiban pribadi. Jalankan dengan berimbang. Maka engkau akan adil.

Suami. Harus adil pada istri. Pahami apa yang menjadi hak suami. Lalu apa yang yang menjadi hak istri. Begitu pula sebaliknya. Maka apabila keadilan sudah hadir. Sakinah mawadah warahmah secara otomatis akan mengikat. Itulah mengapa suami yang belum bisa adil pada satu istri. Jangan nekat untuk menambah ‘beban’ lagi.

Bahasa sederhananya. “Lakonah lakonih. Jelenah jelenih. Kennengnah kennengih.”

M. Muhsin Bahri/sidogiri

Spread the love