Ramai di media sosial tentang postingan seorang pengurus partai yang kontroversial. Di akun Twitter-nya, dia menulis, “Quran bukan kitab suci, bukan pula menyebabkan kita tabu untuk menggaulinya. Nabi Muhammad bukan pula manusia suci.”
Maka seperti yang bisa kita duga, selanjutnya twit tersebut dilaporkan ke pihak kepolisian, meski hingga kini tampaknya kasus itu belum ditangani. Jadi bagaimana seharusnya kita, sebagai umat Islam, memahami, menyikapi, dan merespons pernyataan kontroversial semacam itu?
Jawaban
Yang jelas, dari perspektif agama Islam, pernyataan itu sangat berbahaya, bahkan bisa menyebabkan pelakunya murtad dan dianggap telah keluar dari agama Islam, jika yang dia maksudkan “al-Quran bukan kitab suci” itu adalah bahwa ia bukan wahyu, atau tidak murni bersumber dari Allah subhanahu wa taala. Juga menyebabkan murtad, jika yang dimaksud “Nabi Muhammad bukan manusia suci” itu adalah bahwa beliau tidak maksum. Sebab sifat kewahyuan al-Quran dan keterjagaannya, serta sifat kemaksuman Nabi, merupakan salah satu pokok akidah yang didasarkan pada nash qath‘i dari al-Quran dan hadis.
Baca juga: Plurarisme Agama dalam Al-Quran
Karena itu, sebagai umat Islam, kita harus ekstra hati-hati dalam urusan seperti ini, dan senantiasa memperingatkan kepada sesama, agar jangan sampai terjebak oleh pemikiran-pemikiran yang berpotensi menggiring pada kesimpulan tersebut (al-Quran bukan kitab suci dan Nabi bukan manusia suci). Sebab upaya sedemikian sudah ditempuh oleh para orientalis sejak zaman dahulu, untuk menjebak umat Islam supaya berkeyakinan seperti itu, yang pada akhirnya orang Islam yang terjebak oleh keyakinan itu menjadi murtad dari agamanya tanpa ia sadari. Na‘udzubillah mindzalik.
Di antara pemikiran sesat orientalis yang menjebak adalah, bahwa sebenarnya wahyu itu bukan seperti dipahami oleh orang kebanyakan, bukan pesan dari Allah yang dibawa oleh malaikat kepada seorang Nabi. Namun sebenarnya, wahyu adalah sebatas inspirasi yang datang kepada Nabi. Atau pemikiran sesat yang mengatakan bahwa sebenarnya Nabi itu adalah orang yang bisa membaca dan menulis. Karena urusan baca tulis adalah perkara yang sangat mudah. Mana mungkin Nabi tidak bisa melakukannya?
Baca juga: Hal Penting Dalam Membaca Al-Quran
Nah, ide nyeleneh seperti itu sengaja diciptakan oleh orientalis supaya kita tidak meyakini al-Quran itu murni dari Allah dan bahwa Nabi adalah manusia biasa yang tidak maksum. Wahyu dikatakan sebatas inspirasi, sedang Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dikatakan tidak ummi (bisa baca tulis), supaya umat Islam percaya ide orientalis yang mengatakan bahwa sebenarnya al-Quran itu bersumber dari inspirasi Nabi sendiri (bukan dari wahyu) dan ditulis oleh Nabi sendiri (sebab beliau pandai baca tulis).
Baca juga: Kisah Ashabul Kahfi
Nah, pandangan di atas jelas sesat, karena bertentangan dengan nash al-Quran yang menjelaskan bahwa al-Quran tidaklah bersumber dari pikiran Nabi dan tidak ditulis oleh Nabi (QS. Al-‘Ankabut: 48). Sedang wahyu jelas berbeda dengan inspirasi, karena ketika wahyu turun kepada Nabi, ada dampak-dampak eksternal yang menimpa fisik dan psikis beliau, seperti ketakutan, gemetar, bercucuran keringat, dan semacamnya, yang semua itu tidak mungkin terjadi pada orang yang sebatas terinspirasi.
Achyat Ahmad/sidogiri