Bagaimana Islam bisa membangun peradaban terbesar, paling agung, dan paling beradab dalam sejarah umat manusia? Mengapa kota-kota besar Islam seperti Damaskus, Bagdad, Cordoba, menjadi mercusuar kebudayaan dunia?
Gulita gua Hira, pada sebuah malam di tahun 610 M, bisa menjawab tanda tanya yang menggelayut dalam benak bangsa Eropa, setidaknya sejak 11 abad silam.
Ayat al-Quran pertama, Iqra’ (Bacalah!) memicu sebuah revolusi peradaban yang lahir dari tanah tandus Makkah, melalui risalah yang dibawa oleh Sang Nabi Terakhir shallallahu alaihi wassalam. Revolusi Iqra’ merangsang bangkitnya sebuah bangsa dari kubangan periode jahiliyah, menyongsong era tamaddun nan hakiki.
15 tahun berlalu, di dekat mata air Badar, Sang Nabi shallallahu alaihi wassalam mengalahkan angkatan perang dari bekas kaum yang pernah menindasnya. 70 musuh terbunuh, 70 lainnya ditawan. Di antara mereka, ada beberapa yang pandai baca-tulis. Cukuplah mereka mengajar aksara kepada 10 bocah Muslim untuk menebus kemerdekaannya.
Maka lahirlah generasi awal pengawal literasi. Mereka menjadi juru tulis Baginda Nabi shallallahu alaihi wassalam; mencatat wahyu, menulis surat, merekam pakta-pakta politik.
Dr Mustafa A’zhami mencatat 55 nama juru tulis Nabi. Lebih banyak dari temuan al-Qalaqsyandi (Shubhul-A’sya) maupun Muhammad ash-Shalihi asy-Syami (Subulul-Huda war-Rasyad). Sejarawan kontemporer India itu merangkum 55 nama itu dalam sebuah buku mungil, Kuttabun-Nabi.
Pada masa khalifah ke-3, Utsman bin Affan radhiyallahu anhu, kodifikasi al-Quran telah final dan sempurna. Di penghujung abad pertama hijriyah, Umar bin Abdul Aziz mengerahkan para ulama untuk membukukan hadis-hadis nabawi, disusul atsar dan fatwa-fatwa shahabat dan generasi tabiin.
Awal era Abbasiyah, lahirlah berbagai disiplin ilmu. Para ulama mulai menulis sesuai bidangnya masing-masing pada masa Abu Jakfar al-Manshur. Sirah, Hadis, Fikih, Bahasa, Sastra. Geliat literasi menemukan momentumnya.
Dari seorang ayah pecinta ilmu, lahirlah guru besar bangsa Eropa. Abdullah al-Makmun, putra Harun ar-Rasyid dari ibu asal provinsi Badghis, Afghanistan. Karya-karya sains, terutama dari Yunani diterjemahkan secara massif. Ratusan juru terjemah dikerahkan. Literasi Islam menapaki era baru. Era ketika agama bersanding dengan filsafat dan sains, dua sayap yang membawa kejayaan Islam melesat ke angkasa.
Pada masa ketika Barat (Eropa) terbelenggu oleh takhayul dan dibodohi dukun-dukun paranormal, umat Islam telah mengukur luas bumi, memprediksi pergerakan bintang, menjabarkan anatomi tubuh, mengembangkan ilmu kedokteran dan pengobatan dengan baik.
Dari kawasan Islam yang mencapai sepertiga luas bumi, lahir ribuan ulama, pujangga, filsuf, dan saintis. Perpustakaan dibangun, jutaan buku ditulis. Umat Islam mabuk literasi, asyik tenggelam dalam diskusi, kajian dan observasi.
Di Baghdad, ada Baitul Hikmah yang legendaris. Kombinasi perpustakaan, akademi, dan biro penerjemah. Umat manusia kembali memiliki Perpustakaan besar, kali pertama sejak perpustakaan di Alexandria tenggelam sekitar 8 abad sebelumnya.
Cikal bakal Baitul Hikmah adalah buku-buku koleksi al-Manshur yang memenuhi dinding-dinding istana. Cucunya, Harun ar-Rasyid, memindah buku-buku itu keluar, menuju gedung baru yang terbuka untuk umum. Harun menyebutnya “Rumah Kebijaksanaan”. Buku-buku koleksi al-Manshur, diperbanyak oleh Harun ar-Rasyid.
Pada masa al-Makmun, Baitul Hikmah mendapat perhatian ekstra serius. Koleksinya mencapai 4 juta buku. Untuk menerjemahkan karya-karya dari Yunani saja, al-Makmun menghabiskan 300 ribu dinar. Beberapa pakar juga dikirim ke Asia Tengah, India, Ethiopia dan wilayah Kaukasus demi mendapatkan tambahan koleksi.
Semengtara itu di Kairo, Khalifah al-Aziz Billah membangun perpustakaan yang memuat antara 1-2 juta buku. Sebuah sumbangsih besar seorang khalifah kutu buku dan gila diskusi dari kesultanan yang berjasa mendirikan Universitas al-Azhar.
Di Cordoba Andalusia, perpustakaan az-Zahra, yang dibangun oleh Khalifah al-Hakam II al-Mustansir memuat 400 ribu buku. Judul koleksinya dicatat dalam 44 jilid katalog. Sebagai seorang cendekiawan, Al-Mustansir berangkat sendiri membeli buku ke Damaskus dan Baghdad. Salah satu universitas tertua di Eropa, Universitas Sorbonne, pada abad ke-12 hanya memiliki 1.700 koleksi buku.
Perpustakaan-perpustakaan di dunia Islam bagian barat, mencakup Andalusia dan Maroko, tak jauh beda dengan perpustakaan di timur (Kairo, Baghdad, Syiraz, dsb). Sama-sama sebagai pusat ilmu, kajian, dan tempat bekerja para penerjemah. Perbedaannya, jika para penerjemah di timur sibuk menerjemah ke dalam bahasa Arab, maka penerjemah di Andalusia menerjemahkan karya berbahasa Arab ke dalam bahasa Latin. Ketika para sarjana di timur mengkaji untuk memperkaya khazanah keilmuan, ilmuwan-ilmuwan Andalusia justru berupaya memperkenalkan khazanah Islam-Arab kepada bangsa Eropa.
Selain 3 perpustakaan terbesar di atas, ada pula perpustakaan di Syiraz, Iran. Adhudud-Daulah dari Dinasti Buwaihi membangun perpustakaan yang tak kalah megah. Sejarawan al-Maqdisi mencatat, “Tidak ada satupun buku dari setiap cabang ilmu pengetahuan yang ditulis sampai saat ini, kecuali salinannya terdapat dalam perpustakaan ini.”
Di kawasan Transoksania, raja-raja kecil di kawasan itu tak ketinggalam membangun perpustakaan. Di Samarkand, Merv, Khawarizm. Tapi yang paling penting dibangun di kota Bukhara oleh Amir Nuh bin Mansur dari Daulah Samaniyah. Ibnu Sina, yang pernah tinggal di Bukhara menceritakan bahwa perpustakaan di Bukhara sangat luas, terdiri dari ruangan-ruangan yang cukup besar. Koleksi dari setiap disiplin ilmu dikumpulkan dalam ruangan khusus, terpisah dari buku-buku dari disiplin ilmu lain.
Perpustakaan lain juga muncul di Basrah, Mosul, Ray, dan kota-kota lain. Setiap dinasti seolah berlomba-lomba membangun perpustakaan besar dan megah sebagai simbol kemajuan literasi. Dinasti Mughal di ujung timur kawasan Islam, sampai Khilafah Ottoman di Turki.
Moh. Yasir/sidogiri