Hemat saya, Emmanuel Macron terlalu ekstrem menikam ulu hati umat Islam. Baik dengan bahasa ‘Islam krisis’ ataupun dengan melegitimasi penerbitan ulang karikatur Rasulullah. Dan sepertinya, dia tidak cermat menghitung efek domino ‘sekecap’ kata yang dapat berefek fatal bagi dia dan negaranya itu.
Parahnya lagi, bara itu dia pantik di tengah gebyah uyah kebahagiaan umat Islam memperingati hari lahirnya Rasulullah. Bulan maulid yang identik dengan hari bahagia itu dicemari dengan ujaran kebencian. Jelas saja bila api kemarahan umat Islam mudah tersulut.
Dari titik ini, sejarah munculnya perayaan maulid sepertinya akan kembali memainkan peran. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah pendapat, bahwa Maulid Nabi adalah ide dari Sultan Salahuddin Al-Ayyubi, pemimpin Irak di tahun 1138-1193 M.
Beliau mulai memperingati hari kelahiran Rasulullah. Selain untuk meniti nilai historis lahirnya Sang Revolusioner, perayaan maulid juga untuk meningkatkan semangat juang kaum Muslimin yang saat itu sedang terlibat perang Salib melawan pasukan Kristen Eropa. Berupaya sekuat tenaga dalam perebutan kota Yerusalem. Maka di moment kali ini, persatuan umat Islam dunia juga begitu terasa. Dipersatukan oleh rasa cinta kepada Rasulullah.
Dan begitulah, selalu ada hikmah yang dapat kita petik dari setiap masalah, tidak terkecuali dari ocehan Si Macron. Setidaknya, pertama, umat Islam jangan dipantik amarahnya dengan hal-hal yang sangat sensitif. Menghina Rasulullah, apapun alasannya tidak dapat dibenarkan. Harus kita lawan. Dan akan terus kita lawan. Apalagi penghinaan itu hanya berlandaskan kebebasan berekspresi. Karena kebebasan seseorang berekspresi tidak boleh melampaui hak-hak orang lain. Jangan sampai seseorang melakukan penghinaan pada orang lain dengan dalih kebebasan berekspresi.
Ketika ada guru sekolah di Prancis yang menghina Nabi melalui karikatur, atas nama kebebasan berekspresi, maka jangan heran apabila hal itu menyulut kemarahan pemeluk agama Islam, di manapun mereka berada, selagi imannya masih terpatri di dalam dada.
Kedua, di tengah hegemoni dunia, umat Islam harus bermain cantik untuk menggambarkan wajah Islam yang humanis. Maka melakukan tindakan individu dan pribadi dengan cara menyakiti, apalagi membunuh orang yang menghina Nabi, tentunya tidak dapat dibenarkan oleh ajaran Islam. Sebab hal itu akan menyebabkan kemudharatan yang lebih besar. Akan berlaku hukum rimba yang dapat menghilangkan peran negara untuk membangun stabilitas sosial. Bahkan akan memperburuk citra Islam sebagai agama kekerasan. Hal ini akan sangat menguntungkan pihak-pihak yang ingin menyebarkan islamphobia.
Benar yang disampaikan oleh Habib Ali al-Djufri: “Orang-orang bodoh menggambar wajah Rasulullah yang mulia, sejatinya bukan menggambar Rasulullah. Melainkan menggambar apa yang mereka lihat dari diri kami yang banyak bertentangan dengan ajaran yang engkau bawa.”
| BACA JUGA : Urgensitas Nasab
Kuncinya, melakukan yang makruf (baik) harus dengan cara makruf, dan mengingkari yang munkar harus dengan cara yang makruf juga, sehingga orang lain mengamini dakwah umat Islam. Kita akan mendapatkan simpati dan empati masyarakat, bukan malah sebaliknya.
Ketiga, potensi kekuatan umat Islam sangat terlihat ketika mereka bersatu. Aksi boikot besar-besaran umat Islam terbilang sangat ampuh untuk negara semacam Prancis. Mereka yang tidak takut kepada Allah, apalagi hanya seruan manusia biasa, tapi mereka lebih takut kehilangan pasar ekonominya di dunia. Maka boikot produk-produk asal Prancis adalah bagian dari cara ingkar atas apa yang mereka lakukan.
Kekuatan persatuan umat semacam ini yang harus segera disadari oleh kita. Jangan kembali terlena dengan fanatisme kotak-kotak. Fanatisme partai, ormas, aliran, atau fanatisme apapun itu, terbukti telah melemahkan persatuan umat, sehingga dengan mudahnya kita dicerai-berai.
Di moment maulid ini, saatnya kita kembali bersatu di bawah tali Allah. Tidak bercerai berai dengan keangkuhan. Insyaallah, ke depan agama Islam akan benar-benar yaklu wala yukla alaihi. Tidak lagi tercoreng dengan prilaku kita yang sering alpa.