Berlatar belakang sebagai sarjana Muslim yang begitu gencar menyerang pemikiran kaum Salafi radikal, beliau menulis buku unik ini. Penulis mencoba menyajikan fakta-fakta tentang bahaya anti mazhab yang mulai menyebar. Pendangkalan pemahaman terus digaungkan oleh kelompok garis keras dengan menyerukan slogan “Back to Quran and Hadith”. Aksi mereka dimulai dengan simplifikasi tuntutan ijtihad yang kompleks. Lalu kemudian mulai mereka-reka sistem ijtihad yang lebih longgar dan lentur. Sehingga dikesankan, siapapun; baik awam atau yang berkeahlian, memiliki kapabilitas yang sama untuk mengutak-atik rumusan ijtihadnya.
Di saat yang bersamaan kelompok ini terus mendorong setiap individu agar tidak melulu bertumpu pada produk pemikiran ahli agama. Superioritas ulama mulai dikebiri. Dan tak ayal hanya demi memuluskan aksi busuknya ini, kemudian digencarkan fitnah pada ulama. Trik licik yang mereka gunakan selanjutnya ketika pemikiran ulama terasa amat sulit untuk dibantah adalah melakukan intrik “kill the messenger”. Jika pesan kebenaran sulit dibantah, maka bunuh karakter pengusungnya.
Mula-mula gerakan Anti Mazhab ini di hembuskan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim dan mulai terkenal saat di gaungkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab di Najd, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha di Mesir, serta Jamaluddin al-Afgani di Afganistan. Muhammad Abduh berpendapat “bahwa kemunduran umat Islam selama ini adalah karena mereka kehilangan kebebasan berpikir dalam menghayati kemurnian ajaran Islam. Mereka lebih suka taklid, mengikuti imam-imam mazhab daripada berpikir secara bebas. Akibatnya pikiran mereka menjadi beku, tidak mampu menghadapi tantangan zaman dan kemajuan orang-orang barat yang modern, bebas dan rasional. Bahkan selalu menjadi bangsa yang terjajah”.
Di sini penulis tidak menolak bahwa pada kondisi tertentu tetap menuntut adanya ijtihad yang luwes. “adalah hal yang sangat penting untuk mengkaji masalah-masalah baru di masa kita. Kita harus serius dan jujur mengkaji nilai-nilai serta dat-istiadat yang berbeda dari sebelumnya. tidak diragukan ini merupakan salah satu tugas pokok yang Allah bebankan kepada kita.” (hal. 177). Sebelumnya penulis menegasakan untuk senantiasa mendorong ijtihad dari pada taklid ketika umat dihadapkan pada persoalan yang belum pernah dialami umat sebelumnya. (hal. 16).
Kendati demikian, di samping keterbukaan penulis untuk memberi kesempatan untuk berijtihad, ia menolak apa yang disebut dengan ‘tirani dan egoisme ijtihad’. Bagi penulis adalah tidak diterima jika setiap gagasan yang muncul memiliki kans yang sama untuk diwujudkan dalam bingkai ijtihad. Dengan mengutip pemikiran asy-Syathibi (w. 790 H) bahwa berkenaan dengan inferioritas intelektual, aturan-aturan yang dirumuskan mujtahid sangat mengikat bagi muqallid, sebagaimana mengikatnya al-Quran dan Hadis bagi mujtahid sendiri (hal. 73). Penulis melanjutkan, sangat tidak diharapkan seseorang mengabaikan aturan serta saran dari arsitek saat ia ingin membangun sebuah bangunan dengan gaya tertentu. Juga tidak diindahkan jika seseorang mengabaikan resep dokter untuk mengobati penyakit yang dideritanya. Tak bisa dibayangkan jika setiap orang ‘berijtihad’ menentukan obat sendiri untuk menyembuhkan sakitnya. Tentu malpraktek tidak bisa dihindari. Ini untuk urusan yang tidak ada sangkut pautnya dengan hal keagamaan. Maka lebih parah lagi jika ‘malpraktek’ ini justru terjadi dalam urusan agama.
Ketika penulis membandingkan hal istinbâthul-ahkâm dengan diagnosis kedokteran, secara tidak langsung penulis memberi tahu bahwa kita dewasa ini hidup di era di zaman di mana spesialisasi menjadi hal yang sangat penting: Tidak berdosakah seorang ayah yang tidak peduli pada resep dan saran dokter atas penyakit yang menimpa buah hatinya, bahkan justru lebih mempercayai teks buku kesehatan ala ‘mbah google’, tanpa mengkonsultsikannya dengan para ahli?
Sebagaimana karya-karyanya yang lain, penulis selalu berhasil membongkar konstruksi pemikiran pembaca dan menyajikan keterbukaan untuk pemahaman yang sebelumnya tertutup rapat. Selamat membaca!