ISLAM adalah sebuah tatanan dan aturan. Mengatur perilaku manusia dan menegakkan urusan keumatan adalah inti dari ajarannya. Karena tak ubahnya undang-undang, maka Islam mengatur bagaimana seorang hamba memahami inti ajaran yang termaktub dalam al-Quran dan Hadis. Pemahaman ini tentu memunculkan keberagaman. Ada yang cenderung ekstrem kanan, ada yang cenderung ekstrem kiri. Maka buku ini mengetengahkan pemahaman versi salaf dan menawarkan bukan hanya sekedar konsep namun juga menampilkan sedikit sampel penerapannya.
Contoh perselisihan pemahaman telah terjadi sejak masa shahabat. Semisal mengenai permasalahan hadis riwayat Imam Bukhari yang artinya: janganlah seseorang melakukan shalat Ashar kecuali di Bani Quraidzhah”. Atau dalam hadis riwayat Bukhari yang lain, ketika ada seseorang dengan lugu mengira bahwa tayammum (bersuci dengan debu) dipraktikkan dengan cara bergulung di atas tanah, namun didapati yang lain melakukan tayammum dengan praktik yang sesuai. Lalu keduanya berselisish dan mendatangi Rasulullah. Rasulullah mengapresiasi apa yang dilakukan keduanya. Namun, Rasulullah menegur cara yang dilakukan Shahabat yang pertama. Rasulullah lantas tidak memerintahnya mengulangi shalat, karena yang demikian merupakan hasil sebuah ijtihad.
Memahami teks-teks al-Quran maupun Hadis memang erat kaitannya dengan ijtihad seseorang. Namun demikian perbedaan ijtihad tentu harus dilakukan dengan norma serta aturan yang melatar-belakangi. Sekira tidak ada kesan ifrâth (melampaui batas) dan tafrîth (serampangan). Dan bagaimana kita menyikapi kesalahpahaman awam dalam menerapkan ajaran Islam tanpa ada kecaman. Karena semakin tebal pengetahuan dan pemahaman sesesorang tentang agama maka cara pandang dan sikapnya semakin luas dan tidak mudah menyalahkan.
Penulis mengutip perkataan Syekh Hasan Yamani yang berkata: “Semakin bertambah kefakihan dan nalar seseorang, semakin sedikit keingkarannya pada orang lain.” Syekh Hasan al-Masyath juga pernah mencecar seseorang dengan bejibun pertanyaan setelah mengetahui orang tersebut mengritik cara ibadah orang awam. Mestinya sebelum kritik dilayangkan perlu diketahui dulu apa afiliasi mazhabnya. Bagaimana dalilnya. Bagaimana pula dalil di mazhab lain dst. Bahkan Syekh Muhammad Nur Saif menyatakan bahwa kebanyakan permasalahan yang menimpa umat dipicu oleh juru amar makruf nahi munkar yang bukan ahlinya.
Dari rentetan di atas, menampilkan sikap tegas bahwa sudah seharusnya bersikap dewasa menghadapi perbedaan. Senyampang perbedaan itu bermuara pada hal-hal furu’ dan bukan pondasi dalam agama, maka sikap yang mesti dikedepankan adalah bukan caian, cercaan apalagi mengoranglainkan.
Di antara pemahaman yang diluruskan dalam buku ini adalah penyematan kata Sayid kepada makhluk. Dalam Hadis Musnad Ahmad dipaparkan bahwa Rasulullah enggan untuk dielu-elukan dengan panggilan Sayid. Rasulullah menyatakan bahwa yang berhak dan pantas disebut dengan sebutan itu hanyalah Allah I. Namun keengganan ini tidak kemudian menelurkan konsekuensi hukum pelarangan menyebut sayid kepada selain al-Khâliq. Jika ditelusuri lebih jauh, al-Quran di banyak kesempatan justru kerap menggunakan kata sayid untuk penyebutan nama tertentu. Semisal QS Âli Imrân; 39, Yusuf: 25, dan al-Ahzâb: 67. (Hal. 153)
Dalam buku ini juga dipaparkan bahwa Rasulullah sama sekali tidak butuh pada pujian. Cukuplah bagi Nabi Muhammad pujian dari Allah yang diabadikan dalam Qs. Al-Qalam: 4 yang artinya: “Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung.” Madah kepada Rasulullah ibarat menuangakan air pada gelas dan Rasulullah sebagai gelasnya. Gelas itu telah penuh dengan air. Luberan air yang tertuang akan dinikmati oleh para penyanjung itu sendiri. Mempuisikan sanjungan kepada Rasulullah dengan berbagai bentuk kasidah dan lainnya tidak lebih baik dari pada membaca keteladanan laku lampah beliau melalui membaca syamailnya. Selamat membaca!