Ada sebuah ungkapan “Jika Anda melihatnya pohon begitu lebat, janganlah begitu terpukau pada hijaunya dedauanan”. Karena di balik itu semua ada akar yang menancapkan di bawah bumi yang bertugas menyerap asupan gisi. Begitupun sebuah pesantren yang tak goyah dari prinsip awalnya. Tak tergerus modernisasi perkembangan zaman, maka lihatlah darimana asal muasal pesantren tersebut.
Sebagaimana Pondok Pesantren Modern Darusalam Gontor yang sejak berdirinya terus mengalami perkembangan pesat layaknya dedaunan yang selalu rimbun memberikan ketedudahan. Sudahlah tentu karena ada akar yang menancap kuat. Selidik punya selidik ternyata sekitar 3 Kilometer dari Universitas Darum Salam Gontor ke arah selatan terdapat situs tua yang berdiri sejak Abad 18 yang lalu. Tepatnya di Dusun Gendol RT 1 RW 2, Desa Tegalsari, Kec. Kab. Ponorogo, Jatim.
Di tempat yang dikenal sebagai kawasan gontor lama ini terdapat sebuah situs yang terbagi menjadi 3 bagian: Masjid Tegalsari atau Masjid Kiai Ageng Besari, Komplek Makam Kiai Ageng Hasan Besari dan Dalem Gede yang dulunya merupakan pusat pemerintahan kerajaan kecil.
Sekilas, Masjid Tegalsari memiliki wajah seperti Masjid Demak dengan atap bersusun tiga. Tetapi usianya lebih muda ketimbang masjid peninggalan Raden Patah dan Walisongo itu. Jika Masjid Demak dibangun pada tahun 1.466 M., Masjid Tegalsari dibangun pada tahun 1.742 M.
Masjid berornamen khas bangunan Jawa lama ini berdiri dengan ditopang beberapa tiang penyangga terbuat dari kayu Jati. Antara satu tiang dengan tiang lainnya terhubung dengan kayu, tanpa paku. Di dalam interior terdapat empat buah saka guru, 12 sakarawa, dan 24 saka pinggir penyangga atap yang menbentuk tajug tumpang riga. Dari 36 tiang yang berada di ruang utama ini ada 22 tiang berbentuk silinderbulat dan 14 berbentuk segi empat.
Menambah keunikan dari Masjid Tegalsari ini atapnya berbentuk sirap yang terbuat dari kayu jati berukuran 50 X 25 X 25 cm. Yang disusun secara sorot sehingga tanpak menbentuk atap tajug peniung atau payung agung. Sementara masjid kuno ini secara keseluhan terbuat dari tanah liat. Namun aneh menurut sejaah yang bekembang di penduduk setempat, disebutkan tidak rusak meskipun berkali-kali diberondong peluru pada zaman penjajahan Belanda.
Dari luar masjid ini kurang begitu tampak sebagai masjid yang kuno, karena sudah banyak perubahan dengan penambahan teras dan serambi. Hanya saja di sisi muka masjid masih terdapat batu pijak peninggalan kebudayaan Majapahit yang menjadi menjadi bagian benda Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur.
Seandainya tidak menjadi bagian Situs Cagar Budaya, Maka masjid ini hanya dikira sebagai tempat ibadah biasa. Tetapi, masjid ini ternyata merupakan saksi atas kegigihan tokoh Nusantara dalam menimba ilmu agama. Beberapa tokoh itu antara lain Raja Surakarta Sunan Pakubuwono II, tokoh pergerakan Hadji Oemar Said (HOS) Cokroaminoto dan Pujangga Keraton Raden Ngabehi Ronggo Warsito. Bahkan di masjid ini tersimpan kitab yang berumur antara 150-170 tahun yang ditulis oleh Ronggo Warsito. Dalam catatan sejarah pada saat pemugaran, pernah diresmikan oleh Presiden RI Ke 2 HM. Soeharto pada 2 Maret 1978 M.
Dari masjid ini pula, sebuah pesantren yang terkenal di Indonesia, Gontor, berdiri. Para pendiri Pondok Modern Darusalam Gontor merupakan keturunan dari Kyai Ageng Muhammad Besari. “Setelah Kyai Ageng Hasan Bashari wafat, beliau digantikan oleh putra ketujuh beliau yang bernama Kyai Hasan Yahya. Seterusnya Kyai Hasan Yahya digantikan oleh Kyai Bagus Hasan Bashari II yang kemudian digantikan oleh Kyai Hasan Anom, dan dari generasi ke generasi,” Ungkap KH Ahmad Hidayatullah Zarkasyi MA saat ditemui pada 13 Ramadhan kemarin.
Pada pertengahan abad ke-19, masa Kyai Hasan Khalifah, terdapat seorang santri yang sangat menonjol dalam berbagai bidang. Bernama R.M. Sulaiman Djamaluddin, keturunan Keraton Cirebon. Kyai Hasan Khalifah kemudian menikahkan putri bungsunya Oemijatin dengan santri tersebut. Kemudian mereka diberi tugas mendirikan pesantren baru untuk meneruskan Pondok Tegalsari, yang di kemudian hari pesantren baru ini dikenal dengan Pondok Gontor Lama.
Baca juga: Gua Akbar, Dari Markas Berandal, Menjadi Markas Ulama
Pada saat itu, Gontor masih merupakan kawasan hutan yang belum banyak didatangi orang. Bahkan hutan ini dikenal sebagai tempat persembunyian para perampok, penjahat, penyamun bahkan pemabuk. Bahkan banyak sumber yang mengatakan kata Gontor merupakan kependekan dari “Enggon Kotor“ tempat yang kotor.
Dengan bekal awal 40 santri, Pondok Gontor yang didirikan oleh Kiai Sulaiman Jamaluddin ini terus berkembang, sampai pada masa pimpinan Kiai Anom Besari. Ketika Kiai Anom Besari wafat, Pondok diteruskan oleh Kiai Santoso Anom Besari. Tiga dari tujuh putra-putri Kiai Santoso Anom Besari menuntut ilmu ke berbagai lembaga pendidikan dan pesantren, dan kemudian kembali ke Gontor untuk meningkatkan mutu pendidikan di Pondok Gontor. Mereka adalah; KH. Ahmad Sahal (1901-1977). KH. Zainuddin Fanani (1908-1967) dan KH. Imam Zarkasyi (1910-1985) yang kemudia dikenal dengan sebutan Trimurti.
Pada tanggal 12 Oktober 1958 bertepatan dengan 28 Rabi’ul Awwal 1378, Trimurti mewakafkan Pondok Modern Darusalam Gontor kepada Umat Islam. Sehingga namanya terus semerbak, jasanya tak lekang sepanjang sejarah.[]
Muh Kurdi Arifin
Baca juga: Santri Selalu Siap Jiwa Dan Raganya
Baca juga: Benang Kusut Polemik Cadar