Tatkala Raden Arya Dandang Wacana membabat tanah yang masih berupa hutan bambu dengan nama “Hutan Papringan”, tiba-tiba muncul sebuah keajaiban yaitu memancurnya air di sekitar lokasi, yang dalam istilah Jawa “me-(tu) (ban)-yune”. Peristiwa itu oleh Raden Arya Dandang Wacana digunakan sebagai tonggak sejarah dalam meresmikan tanah tersebut dengan nama “Tuban”.
Di samping menyandang gelar “Kota Seribu Gua”, kota Tuban juga mempunyai slogan “AKBAR” (Aman, Kreatif, Bersih, Asri, dan Rapi). Tentunya, gelar dan slogan tersebut sangat erat kaitannya dengan keberadaan gua yang menjadi obyek destinasi religi kali ini, yaitu Gua Akbar. Berdasarkan kisah yang telah populer, gua yang dipugar pada tahun 1996 ini memiliki nilai religius karena pernah disinggahi oleh Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, dan beberapa wali yang lain.
Petualangan ke lokasi Gua Akbar mudah ditempuh. Posisinya yang terletak sekitar 100 meter di belakang Pasar Baru kabupaten Tuban Jatim, membuat para pengunjung tidak perlu susah-payah menemukannya. Di tepi jalan raya Semarang-Surabaya, sudah ada jasa transportasi berupa angkot dan becak yang selalu siap mengantar.
Karena lokasinya yang berdekatan dengan parkir bus wisata ziarah makam Sunan Bonang, maka para peziarah makam Sunan Bonang biasanya menjadikan Gua Akbar satu paket dengan ziarah makam Sunan Bonang. Untuk menikmati wisata gua yang eksotis dan unik ini, tidak perlu merogoh saku terlalu dalam. Cukup dengan membayar karcis seharga Rp.5000 per orang (2015) sudah bisa menyaksikan berbagai keunikan di dalamnya.
Setelah membayar karcis, para pengunjung bisa langsung memasuki gerbang sambil tolah-toleh menikmati beberapa relief yang di antaranya mengisahkan tentang Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Ronggolawe, dan seorang prajurit wanita, putri Demang Wangsapati, Sri Huning mustika Tuban. Di sekitar mulut gua, nampak tempat peristirahatan berupa kursi-kursi dan meja yang sudah sangat tua. Di dalam gua juga sudah disediakan jalur dari paving block yang dibatasi dengan besi aluminium. Dilengkapi dengan lampulampu warna-warni di berbagai tempat, yang meskipun kurang terang namun cukup membuat suasana nyaman dan sedikit mengurangi rasa takut.
Sepanjang menyusuri gua, melewati beberapa lorong dan relung gua yang sangat panjang, lebar, dan besar, dengan cahaya remang-remang sehingga masih terasa menyeramkan, kami berdua (Ali Wafa Yasin dan Kurdi Arifin) dari Sidogiri Media sempat merasa ketarketir untuk meneruskan petualangan sampai akhir. Sepertinya, kedatangan kami tidak tepat karena wisata Gua Akbar akan tutup sekitar 50 menit lagi, sehingga suasananya saat itu sangat sepi dari para pengunjung. Pada akhirnya, kami berusaha menenangkan diri dengan membaca ayat, shalawat, zikir, sambil sesekali ceprat-cepret mengabadikan diri.
Di dalam gua tersebut, terdapat sebuah relung tersembunyi yang bernama “Pasepen Kori Sinandi”. Relung itu terletak di balik bebatuan tua dengan diameter 50 cm yang tentunya hanya dapat dimasuki dengan cara membungkuk. Tanpa petunjuk dari seorang pemandu, para pengunjung akan kesulitan menemukannya. Menurut kisah yang beredar di masyarakat, pada masa lampau relung tersebut pernah menjadi markas persembunyian para berandal Lokajaya yang dipimpin oleh Raden Syahid (Sunan Kalijaga) sebelum berguru kepada Sunan Bonang dan akhirnya menerima pangkat kewalian.
Meskipun pernah menjadi markas berandal, akan tetapi ketika Pangeran Dalem menjadi bupati Tuban, beliau memprakarsai pembangunan Masjid Agung dan Benteng Pertahanan (Benteng Kumbakarno) yang berlokasi di Gua Akbar. Sejak itulah, Gua Akbar sering menjadi tempat perundingan para ulama dan pemerintah. Bahkan, di dalam gua itu terdapat “Paseban Para Wali”, sebuah ruangan besar dan luas, mirip ruang pertemuan, yang konon pernah menjadi tempat diskusi beberapa orang di antara Walisongo.
Di ujung lorong, sebelum keluar dari Gua Akbar, juga ada mushalla yang disiapkan untuk para pangunjung yang hendak menunaikan shalat. Di dekat mushalla itu, terdapat dua buah batu, di sisi kiri pintu keluar gua. Jika agak diperhatikan, kedua patung ini mirip dengan bentuk singa. Konon, kedua singa ini dipercaya sebagai penjaga Gua Akbar.
Menurut penelitian arkeologi, Gua Akbar diperkirakan sudah berusia lebih dari 20 juta tahun. Ditemukannya fosil binatang laut seperti kerang di batu-batu dan dinding gua itu menguatkan posisi Gua Akbar sebagai gua fosil. Dalam segi eksotisme sudah jelas Gua Akbar merupakan gua alam yang alami terbentuk oleh alam atas kuasa Allah. Di dalamnya terdapat stalaktit (batangan kapur yang terdapat pada langit-langit gua dengan ujung meruncing ke bawah) dan stalagmit (susunan batu kapur berbentuk kerucut berdiri tegak di lantai gua) yang masih aktif meneteskan air.
Mengenai latar belakang nama Gua Akbar sendiri, terdapat dua versi. Menurut satu versi, nama Akbar muncul karena rasa takjub Sunan Bonang saat menyaksikan gua tersebut hingga mengucapkan “Allahu Akbar”. Setelah diterima sebagai murid, Sunan Kalijaga mengajak gurunya itu (Sunan Bonang) untuk mengunjungi tempat persembunyiannya selama merampok sebagai “Berandal Lokawijaya” yaitu Gua Akbar. Namun, dalam versi lain, nama Akbar muncul disebabkan oleh adanya sebuah pohon bernama Abar yang tumbuh di dekat pintu masuk Gua Akbar sehingga masyarakat setempat pada zaman dahulu kala menyebutnya dengan Gua Abar atau Gua Ngabar.
Ali Wafa Yasin/sidogiri