Berikut hal-hal penting yang perlu diperhatikan ketika membaca Al-Quran yang telah disarikan dari kitab Ihya ‘Ulumiddîn karya Imam al-Gazali dan berbagai referensi lainnya. Semoga bermanfaat. Amin.
Kondisi Pembaca
Seseorang yang akan membaca Al-Quran hendaknya mengupayakan hal-hal berikut: 1) dalam kondisi suci; bersih dari hadas dan najis 2) dalam keadaan santun dan tenang, baik dalam kondisi duduk atau berdiri 3) menghadap kiblat 4) menundukkan kepala 5) tidak duduk dengan cara melipatkan kedua tapak kaki di bawah paha (mutarabi’), tidak duduk secara bertekan (muttaki’) dan tidak duduk secara sombong 5) duduk seperti ketika duduk di hadapan guru (sopan).
Adapun kondisi yang paling baik dalam membaca Al-Quran adalah pada saat berdiri dalam keadaan shalat di masjid. Allah berfirman:
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Allah SWT dalam ayat di atas memuji beberapa kondisi, akan tetapi lebih mendahulukan berdiri dalam zikir kepada Allah, kemudian duduk, kemudian sambil berbaring.
Kadar Bacaan
Bagi qurra’ (pembaca AlQuran) terdapat berbagai macam kebiasaan dalam memperbanyak atau menyingkatkan bacaan. Sebagian mereka, ada yang mengkhatamkan Al-Quran sehari semalam satu kali, ada pula yang dua kali. Ada pula yang khatam satu bulan satu kali, satu tahun satu kali, dan sebagainya. Ada pula yang tidak khatam-khatam. Dalam hal ini perlu kiranya mengacu pada riwayat berikut:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فِي أَقَلَّ مِنْ ثَلَاثٍ لَمْ يَفْقَهْهُ .مسند أحمد) 11/ 91 (
“Barang siapa membaca Al-Quran kurang dari tiga hari, niscaya ia tiada memahami akan Al-Quran itu.”
Sebab, jika menghatamkan Al-Quran kurang dari tiga hari, maka rentan mencegah bagusnya tilawah (tartil) dan tadabbur akan maknannya.
Tentang pengkhataman, ulama membuat empat model sebagai acuan: 1) khatam dalam sehari semalam, model ini dihukumi makruh oleh segolongan ulama 2) khatam pada tiap bulan (sehari satu juz), model ini terlihat terlalu lamban sebagaimana model pertama yang terlalu cepat. 3) khatam seminggu sekali 4) khatam dua s/d tingga minggu sekali. Dua model terakhir ini, dianggap sebagai model yang sederhana dan baik untuk diterapkan.
Dalam hal ini al-Ghazali menyatakan: “Uraian (klasifikasi) mengenai kadar bacaan adalah jikalau pembaca dari golongan orang-orang yang kuat beribadah dan menempuh amalan raga, maka tidaklah wajar kurang dari dua khataman dalam seminggu. Jika pembaca dari golongan yang menempuh amalan hati dan berbagai macam pemikiran atau dari orang-orang yang menghabiskan waktu dengan mengembangkan ilmu pengetahuan, maka tidak masalah ia menyingkatkan khataman dalam seminggu sekali. Dan kalau ia tergolong orang yang paham maksud dan makna Al-Quran, maka cukup baginya khatam dalam sebulan sekali, karena tingginya intensitas hajat dalam mengulangi dan meneliti (isi dan kandungan Al-Quran).”
Perasaan Pembaca
Ketika membaca Al-Quran disunahkan menangis. Menangis merupakan sifat orang-orang arif dan syiar hamba-hamba Allah I yang shaleh.
Allah berfirman:
وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا
“Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.” (QS. Al Isra’: 109)
Rasulullah bersabda:
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ وَابْكُوا ، فَإِنْ لَمْ تَبْكُوا فَتَبَاكَوْا . مسند البزار – (1 / 217(
“Bacalah Al Quran dan menangislah. Jika kamu tidak menangis, maka usahakanlah supaya menangis.”
Shalih al-Marri meriwayatkan: “Aku bermimpi membaca Al-Quran di hadapan Nabi r. Lalu beliau bersabda: “Bagiku hai Shalih bacaan ini, tetapi mana tangisnya?”
Imam al-Ghazali menyatakan: “Bahwa jalan untuk mengupayakan tangisan adalah dengan mendatangkan kegundahan hati. Dari kegundahan hati itu, timbulah tangis. Sedangkan untuk mendatangkan kegundahan hati, ialah memperhatikan akan apa yang ada dalam Al-Quran; tentang berita menakutkan, janji azab karena durhaka (wa’id), dan segala macam janji yang ditetapkan. Kemudian memperhatikan keteledoran tentang segala perintah dan larangan-Nya. Maka dengan itu akan memungkinkan hati gundah dan menangis. Jikalau tidak datang kegundahan hati dan tangisan, sebagaimana datangnya pada orangorang yang berhati suci-bersih, maka hendaklah menangis karena ketiadaan kegundahan hati dan tangisan tersebut. Dan yang demikian itu, adalah bahaya yang paling besar.”
(Lihat: Ihya ‘Ulumiddîn, 1/347, atTibyãn fi Adâbi Hamalatil-Qurân, 88)
M Romzi Khalik/sidogiri