Sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup bersama orang lain. Tentu hal ini mengharuskan adanya komunikasi. Baik itu komunikasi antar individu, maupun antar kelompok. Baik itu komunikasi dengan lisan ataupun tulisan. Dalam berkomunikasi, ada beberapa dasar yang bisa diterapkan agar komunikasi bisa terjalin dengan baik.
Jujur
Kepercayaan adalah harta termahal. Tingkat kepercayaan yang diperoleh seseorang berbanding lurus dengan tingkat kejujurannya. Semakin tinggi kejujuran, semakin tinggi pula kepercayaan yang diperoleh. Meskipun kebohongan masih dapat ditutupi, namun seseorang yang memiliki kredibilitas dan integritas senantiasa bersikap dan berkata jujur.
Nama besar Nabi Muhammad SAW sudah terbangun secara meyakinkan sejak sebelum masa kenabian. Hal ini tak lain adalah buah dari kejujuran yang senantiasa diterapkan dalam segala keadaan. Sampai-sampai Rasulullah mendapat citra positif sebagai “al-Amîn”, orang yang terpercaya. Kejujuran beliau membuktikan akan besarnya komitmen beliau terhadap kebenaran. “Katakan yang benar, walaupun terasa pahit.” (HR. Ibnu Hiban)
Bicara Seperlunya
Tujuan inti dari komunikasi adalah menyampaikan pesan ke orang lain. Tentu yang menjadi titik tekan disini adalah sampainya pesan tersebut dengan sebaik mungkin. Dengan artian, pendengarnya mampu menangkap maksud yang ingin disampaikan tanpa adanya salah paham.
Baca Juga: Pentingnya Komunakasi Anak Dengan Orang Tua
Untuk mencapai tujuan tersebut, salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah keefektifan dalam berkomunikasi. Sederhananya, tidak perlu mengeluarkan dua kalimat jika dengan satu kalimat saja sudah cukup. Nabi Muhammad pernah mengingatkan tentang masalah ini dalam salah satu hadis yang diriwayatkan dari Sahabat Jabir. Rasulullah bersabda, “…Dan sesungguhnya orang yang paling aku benci di antara kalian dan paling jauh dariku pada hari kiamat nanti adalah orang yang banyak bicara, berlebih-lebihan dalam ucapan, dan mutafaihiqun.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kami telah mengetahui orang yang banyak bicara dan berlebih-lebihan dalam ucapan. Tapi apa yang dinamakan mutafaihiqun?” Nabi menjawab, “Orang yang sombong.” (HR. Tirmidzi).
Menjawab dengan Santun
Salah satu kecenderungan manusia adalah membalas perbuatan yang diterimanya dari orang lain. Entah itu perbuatan baik atau buruk. Dalam berkomunikasi juga begitu. Jika lawan bicaranya kasar, ia akan menjawabnya dengan kasar. Jika lawan bicaranya santun, ia pun akan menjawab dengan santun.
Berbeda dengan sikap Rasulullah. Dalam menghadapi berbagai macam sikap lawan bicaranya, Rasulullah menunjukkan kecerdasan emosional yang beliau miliki. Artinya Rasulullah tidak mudah terpengaruh oleh sikap yang ditunjukkan oleh lawan bicaranya. Beliau tetap santun, memberikan jawaban sebaik mungkin, dan menghargai lawan bicara yang memang bertanya dengan sungguh-sungguh.
Baca juga: Inspirasi Memilih Teman
Sikap semacam ini tercermin dari hadis yang diriwayatkan Sahabat Jabir bin Abdullah. Diceritakan, ada seorang badui menemui Nabi dan bertanya, “Ya Rasulullah, pakaian yang kelak digunakan di surga apakah kami sendiri yang menenunnya dengan tangan?” beberapa sahabat yang berada di sana menertawakan pertanyaan tersebut. Mendengar hal itu, Rasulullah pun berkata kepada mereka, “Apa yang menyebabkan kalian tertawa? Apakah kalian tertawa karena orang yang tidak tahu bertanya kepada orang yang tahu?” setelah itu Rasulullah menjawab pertanyaan orang badui tadi, “Tidak dengan cara ditenun, wahai badui, tetapi pakaian surga berasal dari buah-buahan surga yang terbelah.” (HR.Thabrani)
Gunakan Analogi
Tingkat kecerdasan setiap orang belum tentu sama. Dengan demikian untuk menjalin komunikasi yang baik dan efektif perlu adanya analogi atau kiasan. Terlebih jika hal yang dibicarakan adalah sesuatu yang abstrak, tentu analogi sangat diperlukan sebagai jembatan agar lebih mudah memahaminya. Al-Quran dan hadis banyak menyertakan analogi dalam menjelaskan sesuatu yang abstrak. Misalnya dalam surat al-Jumu’ah ayat 5, “Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” Wallahu a’lam
Ahmad Sabiq Ni’am/Sidogiri