Seorang kakek bersama cucunya duduk di pinggir sungai. Sang kakek ingin memberikan pencerahan hidup pada cucunya dalam memaknai alam, hingga mengarah pada manfaat air yang menjadi sumber kehidupan bagi alam raya ini. Sang kakek berkata, “Cucuku, air adalah butir-butir kehidupan alam ini. Berkat air, semuanya menjadi hidup. Tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan hingga kita sebagai manusia menjadi hidup. Tanpa air kita semua akan mati.” Sang cucu hanya mengangguk sambil melongo, tanda mengerti yang sedikit dipaksakan.
Pada saat bersamaan, seekor ikan kecil mendengar percakapan mereka dari balik daun yang jatuh di pinggir sungai. Mendengarnya, menjadikan pikiran ikan kecil itu gelisah dan ingin segera tahu apa dan siapa yang dimaksud air sebagai sumber kehidupan itu? Naluri makhluk hidup ketika berkaitan dengan kehidupan menjadi suatu hal yang terus mengganggu. Ia pun berenang ke hulu sampai hilir sambil bertanya pada ikan lain yang ia jumpai.
“Tahukan kalian air itu apa, dan di mana tempatnya? Aku telah mendengar percakapan manusia yang menyebut bahwa air adalah sumber kehidupan, dan tanpa air kehidupan akan mati.”
Ternyata semua ikan yang ia temui semuanya sepakat tidak tahu. Justru pertanyaan dari ikan kecil itu juga membuat mereka penasaran. Ikan kecil itu terus dalam kegelisahan dan terus berenang menanyakan kepada ikan yang ia temui, hingga di hulu sungai ia bertemu dengan ikan sepuh yang dinilai paling berpengalaman. Kepada ikan sepuh, ia mengajukan pertanyaan yang sama, apa dan di mana air itu?
Dengan bijak, ikan sepuh itu pun menjawab, “Kamu tidak usah gelisah anakku. Memang benar, tanpa air kita semua akan mati, tapi kamu tidak perlu khawatir. Air itu telah mengelilingimu, sehingga kamu bahkan tidak menyadari kehadirannya.”
***
Pada kehidupan sehari-hari, kadang kita mengalami kondisi seperti yang dialami oleh ikan kecil dalam cerita di atas. Kita selalu mencari ke sana-kemari hanya untuk suatu yang sebenarnya ada di sekitar kita. Kita sudah mendapatkannya dan bahkan melekat pada diri kita sampai-sampai kita tidak menyadarinya. Kita terus saja mencari tanpa menyadari bahwa semua sudah kita dapat.
Masalah kenikmatan, misalnya, kita terus mencari apa yang disebut dengan nikmat, padahal kita telah mendapatkannya. Nafas yang terus berhembus, penglihatan yang tak terganggu serta organ-organ tubuh yang berfungsi sedemikian sistematis merupakan kenikmatan yang kadang tidak kita sadari. Sering kita berpikir bahwa kehidupan dan kenikmatan itu ada di tumpukan uang dan kemewahan rumah dan mobil, justru semuanya menjadi tak ternilai saat organ-organ itu sedikit saja terganggu.
Hanya kemudian, kita terus berupaya mencari rasa nikmat itu, tanpa menyadari nikmat-nikmat yang telah menyatu pada tubuh. Pada akhirnya, syukur yang menjadi tuntutan bagi penerima nikmat sering kita abaikan. Ungkapan alhamdulillah lebih sering kita ungkapkan manakala dapat rejeki nomplok daripada berfungsinya kembali penglihatan dan alat indra lainnya setelah tidur. Tidak pada kemampuan bekerja keras, justru saat upah diterima baru ungkapan alhamdulillah meluncur.
Hal itu karena demikian dekatnya semua nikmat itu dengan kita, sehingga sering tidak kita sadari. Justru kita menyadarinya saat kenikmatan itu mulai ada tanda-tanda akan hilang dan lepas. Saat sakit, baru kita menyadarinya betapa semuanya tidak ternilai dan tidak sebanding dengan apa yang kita kejar selama ini.
Termasuk juga, orang-orang sekitar kita yang sebenarnya cinta dan begitu sayang pada kita. Kita tidak pernah menyadari kasih sayang mereka, sehingga masih mencari cinta dan sayang dari luar keluarga. Karena mungkin terlalu dekat, sehingga tidak disadari dan semuanya baru terasa ketika sudah kehilangan. Kita baru merasakan bagaimana kasih sayang orangtua dan istri/suami sangat dibutuhkan saat mereka tiada.
Ilustrasi yang sama, ketika kita dalam kondisi tertentu, sering apa yang kita cari dalam kebingungan justru berada di genggaman. Kunci mobil, misalnya, kadang kita cari ke sana kemari, atau bahkan melibatkan banyak orang, padahal saat itu kunci mobil tersebut ada di gemgaman kita. Kita tidak menyadarinya karena kondisi pikiran yang teralihkan oleh yang lain sehingga tidak tenang dan tidak menyadari apa yang ada di sekitar.
Artinya, semua bermuara pada kualitas pikir kita yang bisa jadi terganggu. Dari itulah dalam al-Quran sering mengingatkan manusia untuk selalu meningkatkan kualitas pikir dengan melakukan tafakkur dan ta’aqqul ketika berkaitan dengan ayatayat kebesaran Allah di sekitar manusia. Dalam surah Yunus [10] ayat 24, misalnya, Allah memberi perumpamaan kehidupan dunia sebagaimana air hujan yang Allah turunkan dari langit kemudian menyatu dengan bumi dan menjadi penyebab tumbuhnya bahan makanan manusia dan hewan-hewan. Hal serupa juga disampaikan dalam ayat an-Nahl [16] ayat 10—11. Semuanya berkaitan dengan kehidupan sekitar manusia yang bisa ditangkap dengan kualitas indra pikir dan rasa.
Kata yatafakkarun pada semisal ayat-ayat tersebut sebenarnya ingin menggugah pikiran dan membangkitkan kepekaan indera dan emosi pembacanya. Sebuah seruan untuk melihat dan memikirkan fenomena alam sekitar, atau bahkan pada tubuh kita. Hanya saja, seringkali kita tidak menyadari semuanya, karena mungkin terlalu dekat dan bahkan menyatu dalam tubuh kita.
Bahkan kemudian, ada yang memandang ayat-ayat tafakkur tersebut dari sudut fenomena kosmologi dan biologi, sehingga memotivasi kita untuk sering mengkaji ilmu biologi, psikologi, kedokteran dan kejiwaan. Pemahaman seperti itu sah-sah saja, terlebih kemudian memandang masalah keagamaan yang harus selaras dengan pembuktian ilmiah, khususnya berkaitan dengan ayat kauniyah. Dengan pembuktian ilmiah, secara kuat mendobrak kebekuan pikir yang memang seharusnya dilakukan oleh kaum muslimin pada fenomena alam sekitar.
Akan tetapi, secara sederhana ayat-ayat tafakkur bisa diterapkan untuk mengenal Allah melalui tanda-tanda yang disematkan pada diri dan alam sekitar yang kemudian menumbuhkan rasa iman dalam hati. Dengan men-tafakkur-i berbagai benda dan makhluk sekitar, rasa iman itu tumbuh kuat dan semakin yakin bahwa Dzat Yang Maha Pencipta yang telah menciptakan semua itu, sehingga kualitas ibadah kepadaNya semakin meningkat.
Itu adalah pemahaman sederhana dalam meningkatkan kualitas ibadah kita. Ketika iman sudah kuat, upaya untuk khusyuk dalam ibadah mesti didapat, sehingga tidak diperlukan teori-teori shalat khusyuk yang dikembangkan dalam pelatihanpelatihan. Terkadang memang membutuhkan guru bijak yang menunjukkan pada apa yang memang harus dimengerti sebagai ikan kecil dalam kisah di atas.
Artinya, kunci dari kesadaran tersebut adalah pada peningkatkan kualitas tafakkur kita. Kita tidak menyadarinya, bukan karena tidak pernah merasakan, tapi karena kita tidak pernah memikirkannya. Tidak memiliki kepekaan pikir dan rasa, meski semuanya sangat dekat dengan kita. Semuanya akan terasa ketika telah masuk dalam rongga pikir dan rasa yang kemudian meresap dalam relung hati. Semoga kita diberikan kepekaan rasa dan pikir oleh Dzat yang Mahakuasa. Amin.
M. Masyhuri Mochtar/sidogiri