Buku Shahîh al-Bukhârî merupakan buku kedua yang terbukti validitas dan otentisitasnya setelah al-Quran. Di dalamnya yang memuat hadis-hadis Rasulullah dengan proses yang sangat ketat sudah teruji keorisinilannya oleh banyak kalangan. Dan, itu sebenarnya sudah merupakan rahasia umum.
Ada cerita unik terkait buku yang satu ini. Suatu ketika penulis buku ini, Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Bukhari pernah diuji oleh banyak ulama. Al-Bukhari disodorkan seratus hadis dengan mata rantai yang sudah acak. Setelah itu, al-Bukhari disuruh untuk mengembalikan acakan mata rantai hadis tersebut sesuai dengan yang semula yang benar. Aneh bin ajaib, dengan mudah beliau mengoreksi dan menempatkan mata rantai pada hadis aslinya dengan waktu yang relatif singkat.
Dari cerita simpel ini cukup kiranya untuk dijadikan bukti bahwa penulis buku Shahîh al-Bukhârî sudah tidak diragukan lagi kekuatan hafalan dan ketelitiannya. Waktu itu yang terbilang sangat sulit sekali fasilitas untuk sekadar mencatat apa yang sudah didapat bukan halangan sama sekali bagi beliau.
Sistematika penulisan dalam buku Shahîh al-Bukhârî tidak jauh berbeda dengan buku hadis yang lain. Yaitu, mengelompokkan hadis seperti dalam bab-bab fikih dan seputar iman. Semisal, hadis tentang wudhu disatukan dalam satu bab wudhu dan begitu seterusnya. Dan tentu, pembawa hadisnya juga dicantumkan di awal hadis yang dimuat di dalamnya tanpa pemberian status, apakah hadis itu shahih atau tidak. Demikian itu karena hadis-hadis yang terdapat di dalamnya sudah berstatus shahih, sebagaimana vonis yang dikemukakan oleh al-Hafidz Ibn Hajar dalam pendahuluan bukunya yang bertajuk, Fathul-Bârî fî Syarh Shahîh al-Bukhâri.
Baca juga: Al-Ghazali dan Tantangan Pemikiran Para Filsuf
Meski begitu, ada saja yang masih mempertanyakan buku Shahîh al-Bukhârî ini. Di antara alasan yang dikemukakan oleh yang merasa janggal itu, tidak sedikit di dalamnya mencantumkan hadis-hadis yang menyudutkan wanita. Kata mereka, untuk sekaliber buku paling teruji kedua keasliannya setelah al-Quran sangat tidak cocok memuat hadis-hadis seperti itu.
Perlu diketengahkan di sini, bahwa buku Shahîh al-Bukhârî ini merupakan kumpulan sabda-sabda Rasulullah yang sudah melalui standard yang dimiliki al-Bukhari dalam menyeleksi hadis untuk kemudian diafiliasikan kepada Rasulullah. Ketika pembawa hadis tersebut sudah memenuhi kriteria yang dikantongi oleh al-Bukhari maka akan dimasukkan dalam bukunya ini.
Memang, dalam memuat sebuah hadis beliau juga mempertimbangkan muatan hadis yang hendak dimasukkan dalam bukunya. Tetapi, standard beliau dalam masalah ini hanya berbatas, apakah muatan hadis tersebut bertentangan dengan syariah Islam atau tidak. Selebihnya dari itu, untuk memahami kandungan hadis yang dimuat di dalamnya membutuhkan referensi lain yang mengupas muatan hadisnya.
Adapun di antara referensi yang mengupas muatan hadis yang ada di dalam buku Shahîh al-Bukhârî adalah Fathul-Bârî fî Syarh Shahîh al-Bukhârî karya al-Hafidz Ibn Hajar al-Haitami. Dengan membuka buku ini, maka kita akan memahami muatan hadis yang termaktub dalam Shahîh al-Bukhârî. Bahkan, pembawa hadis terkadang juga dibahas, apakah kredibel atau tidak.
Ibn Baththal juga berpartisipasi dalam memberikan uraian terkait dengan hadis yang dimuat dalam Shahîh al-Bukhârî. Buku beliau adalah Syarh Shahîh al-Bukhârî lî-Ibn Baththâl. Buku yang satu ini tidak jauh berbeda dengan buku sebelumnya, hanya saja dalam buku ini juga membredeli perawi yang membawa hadis dengan cukup luas. Sehingga, umpama pembawa hadis tersebut ada sedikit masalah, dengan membaca buku ini kita akan tahu apa masalah itu.
Tidak kalah apik dalam memperjelas hadis-hadis yang dimuat dalam buku Shahîh al-Bukhârî adalah buku ‘Umdatul-Qârî Syarh Shahîh al-Bukhârî karya Badruddin al-‘Ainî al-Hanafî. Bedanya dengan dua buku yang sebelumnya adalah, buku ‘Umdatul-Qârî Syarh Shahîh al-Bukhârî ini lebih fokus membeber terkait kandungan hadis yang dimuat dalam buku Shahîh al-Bukhârî. Selamat membaca!
Peresensi: Achmad Sudaisi
Baca juga; Perbedaan Ilmu Kalam Dan Ilmu Filsafat