Bagaimanapun, sejarah Islam tidak akan pernah lepas dengan pembahasan politik. Karena Rasulullah sendiri menjadikan politik sebagai sarana dakwah untuk menyebarkan Islam rahmatan lil Alamin. Sejarah mencatat, bahwa Rasulullah 47 kali memimpin pasukan untuk berperang, dan 35 kali mengirim pasukan dalam rangka penaklukan. Namun demikian, sejarah juga mencatat bahwa manusia mulia yang paling depan menghunuskan pedang ini tidak pernah membunuh lawannya.

Karenanya, banyak santri yang berpandangan bahwa politik adalah hal yang tidak tabu untuk dimasuki. Tidak sedikit dari mereka hadir mewarnai berbagai pesta demokrasi. Baik sebagai calon, pengurus partai, tim pemenangan, atau sekadar pengamat awam yang tidak pernah letih membicarakan. Begitulah realitanya.

Tapi yang perlu dipahami, bahwa politik tidak harus politik praktis dengan beragam positif negatifnya. Politik lebih luas dari hal itu. Bahkan banyak tokoh panutan yang tegas mengatakan, ‘Saya berpolitik dengan tidak berpolitik (praktis).’ Dan memang banyak ulama kita yang memilih tidak terjun ke dunia politik praktis sebagai B bagian dari politik mereka.

Pertanyaannya, bila seorang santri terpaksa terjun ke dalam politik praktis, apa yang harus mereka lakukan? Di sini saya menampilkan sebuah obrolan antah berantah, entah fiksi atau fakta. Suatu ketika, seorang santri ngobrol dengan temannya yang juga santri. Katakanlah namanya Rahmat. “Kang, Pilkada sekarang dapat fulus berapa Kang?” tanya Rahmat sambil tertawa. “Banyak Kang, saya dapat 100 ribu,” Mustaqim menjawab. Mendengar jawaban Mustaqim, Rahmat tertawa sambil mengejek, “Kalau cuma 100 ribu ya kecil, saya loh dapat 2 juta.”

Mendengar obrolan Rahmat dan Mustaqim, Fahim yang baru datang langsung menimpali, “Kang Rahmat, 100 ribu itu sudah sangat besar, karena Mustaqim datang membawa nama pribadi. Sedangkan kamu, 2 juta itu jauh sangat kecil, karena kamu membawa nama Kiai dan pesantrenmu. Masak iya nama Kiai dan pesantren cuma dihargai 2 juta. 2 triliun sekalipun belum sebanding Kang. Meski sebenarnya, berapapun nilainya itu sama-sama kurang baik. Hehehe…”

Obrolan singkat ini setidaknya memberikan gambaran bagaimana seorang santri berpolitik praktis, tidak seharusnya menerobos nilai-nilai etika yang telah dipupuk oleh para masyayikh. Santri harus bisa memahami dan tepat memposisikan diri dia hadir sebagai siapa dan untuk apa? Jangan sampai seorang santri membawa kebesaran nama almamater hanya untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Bahkan, membawa nama almamater ke dalam politik praktis untuk kepentingan almamaternya pun tetap berbahaya. Karena menyeret sebuah institusi, instansi ataupun lembaga ke ranah politik praktis sejatinya adalah menyeret institusi, instansi ataupun lembaga tersebut ke zona merah. Karena pertarungan politik praktis sangat tidak praktis. Banyak kemenangan yang terkadang harus diraih dengan kehancuran.

Haus kekuasaan sering membuat lupa, apakah cara ini sudah layak dengan etika santri. Logika yang dipakai pun terkadang sangat terbatas. Bila saya melakukan ini, kemungkinan besar saya menang. Mereka tidak sampai memikirkan hal-hal terburuk terhadap keberlanjutan almamater mereka. Seandainya pola pikir mereka dibuka lebih jauh, tentu mereka akan lebih peka. Seandainya saya melakukan ini, lalu saya menang, apa yang akan terjadi pada almamater dan Kiai saya? Dan seandainya saya melakukan ini, lalu saya kalah, apa yang akan terjadi pada almamater dan Kiai saya? Begitulah seharusnya. Berbagai kemungkinan diperhitungkan.

Baca juga: Fenomena Kiai Nyelenneh

Maka kepekaan dan kesadaran untuk menjaga yang sudah ada dan jelas peruntukannya ini, jauh lebih penting dari pada mengorbankan hal yang belum nyata keberadaannya. Jangan sampai, gara-gara kecerobohan kita, almamater malah mendapatkan keburukannya. Maka harapan berkah dan manfaat dari mana apabila kebaikan almamater kita balas dengan keburukan.

M. Muhsin Bahri/sidogiri

Spread the love