Dengan membawa misi perubahan dan pembebasan manusia dari segala bentuk perbudakan, Islam datang dengan membawa aturan-aturan, menata ulang masyarakat yang sempat dilingkupi kebodohan menjadi masyarkat madani, serta tidak diperbudak oleh sesama, harta, dan hawa nafsu mereka.

Namun dengan seabrek aturan Islam, terkadang membuat manusia lupa bahwa hakikat kebebasan adalah menghambakan diri dan mempersembahkan segalanya untuk Allah sehingga terbebas dari lainnya. Bahkan, sering kali terlintas dalam hati bahwa syariat Islam tak ubahnya sebuah belenggu yang mengekang, sehingga manusia seolah secuil kapas yang terombang-ambing oleh terpaan angin tanpa bisa memilih kemana akan jatuh.

Problematika teologis dan sosialis tersebut telah menarik cendekiawan Muslim asal Syuriah, Prof. Dr. Said Ramâdlan al-Bûthî untuk mengulas dan membuktikan secara ilmiah eksistensi kebebasan memilih seorang hamba di bawah kehendak Allah yang absolut yang kemudian dituangkan dalam sebuah karya dengan judul Huriyatul-insân fî Zhilli Ubûdiyatihi Lillâh.

Sebagai solusi dan dasar kajian Prof. Said, diungkapkan dalam pendahuluan bukunya ini, bahwa ‘Masalah (tersebut) dapat terselesaikan dengan pembahasan poisisi kehendak insani (al-irâdah al-insaniyah) di samping kehendak Allah (irâdatullah)’, sehingga tidak heran pemecah masalah dalam kitab tersebut lebih sering memakai pendekatan secara teologis.

Semisal pada hlm. 43, guna meluruskan keraguan masyarakat, apakah Islam memberi kuasa pada manusia untuk berangan atau tidak dan melakukan sesuatu atau tidak? Prof. Said banyak memaparkan teori-teori teologis perihal qada’, qadar, irâdah, dan ikhtiyar yang tersaji dalam bab mashîru huriyatil-insân tahta sulthânil-qadha’ al-ilâhî mulai hlm. 43 sampai hlm. 48.

Sebagaimana buku-buku beliau yang lain, dalam buku ini beliau juga sering kali menyederhanakan kerangka keilmuan yang rumit dengan contoh yang mudah dipahami. Ketika menyederhanakan materi ‘Eksistensi ikhtiyar seorang hamba di samping irâdah Allah (Iradah al ashli)’, misalnya (Hlm. 50), beliau menganalogikan irâdah al-ashli dengan kehendak orang tua yang memberi uang saku agar digunakan oleh anak sesuai yang ia pilih (ikhtiyâr). Dalam contoh ini. menurut beliau, ketika sang anak sudah memilih es bukan berarti ia memilih dengan kehendaknya secara murni, karena kehendak anak tersebut merupakan turunan (tasarri) dari kehendak orang tua. Sehingga menurut Prof. Said, kebebasan memilih (ikhtiyar) telah Allah anugerahkan pada manusia, namun ketika manusia berkehendak menjatuhkan pilihan sesungguhnya sudah sesuai dengan kehendak Allah (ikhtiyrâtuna mutafarra’ah munbatsiqah amma arâdahullah).

Adapun secara sajian materi, buku setebal 127 hlm ini terbagi menjadi lima judul besar. Pertama, ubûdiyatul-insân lilla, a hia haqîqatun am khayâlun dîniyun, hlm. 11-20. Kedua, huriyatul-insân a hia zâ’ifun am haqîqatun tsâbitatun, hlm. 21-40. Ketiga, mashîru huriyatil-insân tahta sulthanil-qadha’ al ilahi, Hlm. 43-58. Keempat, kaifa yumârisul-insân huriyatahu tahta ubûdiyatihi lillah, hlm. 59-79. Kelima, dengan judul musykilatul-huriyah wa mauqiful-Islâm minhâ beliau menutup sajian materi bukunya ini dengan pembahasan beragam masalah perihal kebebasan, seperti kebebasan dalam berpikir, berpartai dan berjihad di tengan sistem demokrasi yang kian hari semakin memanas.

Dan yang terakhir tentang kitab ini, akibat penyajian materi yang interaktif dengan panduan pertanyaan-pertanyaan yang kemudian beliau jawab sendiri, buku ini tidak recommended untuk pembaca yang tidak gemar membaca buku secara utuh dan berurutan sesuai bab. Demikian karena setiap bab dalam buku ini akan menyisakan sebuah kemusykilan yang akan dibahas pada bab berikutnya. Namun begitu, membaca secara acak bab-bab yang sudah diurutkan dalam buku ini akan berdampak pada pemahaman teologis yang keliru. Selamat membaca!

Abdul Hamid

Baca juga: Gencarnya Serangan Terhadap Syariat

Baca juga: Piagam Madinah Dan Ketegasan Rasulullah Dalam Toleransi

Baca juga: Kebebasan Di Haramain!!!

Spread the love