Musuh-musuh Islam, sejak zaman dahulu, merasa tidak tenang hidupnya jika mereka tidak menyerang Islam dari berbagai aspeknya. Mereka tidak mau hanya sebatas kuat, tanpa membikin Islam menjadi lemah. Mereka tidak mau sebatas kelihatan baik dan maju, tanpa membikin Islam tampak buruk dan mundur. Akhirnya pandangan hidup mereka disebarkan ke dunia Islam, dan umat Islam pun gaduh karenanya.
Dalam hal ini, cara yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam adalah dengan membuat konsep yang mengerdilkan peran agama, sehingga agama Islam yang universal kemudian menjadi lokal, bahkan sangat privasi, sehingga tak punya peran apapun di tengah-tengah kehidupan umat manusia. Kansep itu disebut dengan sekularisme; suatu pandangan yang berpendapat bahwa agama tak boleh mengatur persoalan duniawi umat manusia.
Karena itulah, yang mereka usung ke permukaan bukan nilai-nilai agama, melainkan nilai-nilai hak asasi manusia, demokrasi, toleransi, emansipasi, pluralisme, dan semacamnya. Memang benar bahwa nilai-nilai itu juga terkandung dalam agama Islam, tapi sayang sekali yang mereka kehendaki adalah yang berkesuaian dengan apa yang dipahami dan dipraktikkan oleh dunia Barat, bukan yang lain. Karena itu meski toleransi, hak asasi, keadilan, dan yang semacamnya itu ada dalam Islam, mereka tetap saja menolaknya, karena bukan itu yang mereka kehendaki.
Baru-baru ini, ketua umum suatu partai dengan lantang menolak diterapkannya undang-undang syariah di daerah-daerah di Indonesia. Padahal, keberadaan perda-perda syariah itu tentu hanya berlaku bagi umat Islam, dan bukan yang lain. Jadi misalnya ada suatu daerah yang menetapkan undang-undang setiap wanita balig harus menutup aurat, maka itu hanya khusus umat Islam, bukan yang lain, dan itu bersenyawa dengan konstitusi negara kita. Lalu di mana letak intoleransinya?
Tak lama setelah itu, ketua umum partai itu kembali berteriak lantang dengan menolak poligami dengan alasan intoleransi dan karena merugikan perempuan dan menelantarkan anak-anak. Padahal pernyataan itu hanya omong kosong belaka dan tak didukung oleh data apapun. Karena undang-undang di negeri ini sudah sejak lama mengesahkan poligami, mengaturnya sedemikian rupa, dan tak menimbulkan masalah yang berarti. Malah jika kita merujuk pada data yang resmi, perceraian di Indonesia yang disebabkan poligami termasuk yang paling sedikit. Sedang yang paling banyak adalah perceraian yang disebabkan ekonomi, karena pertengkaran, karena suami atau istrinya dipenjara, dan lain-lain.
Anehnya, pada waktu yang bersamaan, orang-orang yang ada di barisan partai itu sama sekali tidak bersuara terhadap fenomena lokalisasi dan pekerja seks komersial, bahkan cenderung melegalkan, padahal itu jelas menistakan perempuan serta membahayakan masa depan anak-anak dan bangsa ini. Mereka juga yang senantiasa mendukung para pelaku dan pendukung LGBT atas nama hak asasi manusia, sering pasang badan dan mendukung aliran sesat atas nama kebebasan berkeyakinan, dan segala hal atau tindakan lainnya yang bertentangan dengan syariat.
Moh. Achyat Ahmad/sidogiri
Baca juga: Teladan Nabi Muhammad Menyatukan Bangsa-Bangsa Madinah