وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Dan tidaklah Aku mengutusmu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS al-Anbiya’ [21]: 107)
Imam at-Taftazani menyatakan bahwa Rasulullah menjadi rahmat bagi orang mukmin maupun kafir, dalam arti beliau datang dengan membawa jalan yang benar dan petunjuk keselamatan bagi mereka. Hanya saja, orang kafir tidak mau mengikuti petunjuk itu.
Asy-Syaikh al-Akbar Ibnu Arabi, pemuka sufi yang dikenal dengan gagasan kasih sayang, menyatakan:
إِنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ قَدْ أَبْطَنَ مَوَاضِعَ رَحْمَتِهِ فِيْ عَذَابِهِ وَنِقْمَتِهِ كَالمَرِيْضِ الَّذِيْ جَعَلَ فِيْ عَذَابِهِ بِالمَرَضِ رَحْمَتَهُ بِهِ فِيْمَا يُكَفَّرُ عَنْهُ مِنَ الذُّنُوْبِ فَهَذِهِ رَحْمَةٌ فِيْ نِقْمَةٍ
“Sesungguhnya Allah menyembunyikan rahmat di balik siksa. Misalnya, orang sakit, Allah meletakkan kasih sayang di balik siksa sakit tersebut, berupa penghapusan dosa-dosa. Ini adalah rahmat dalam siksa.”
Beliau melanjutkan, orang yang mendapatkan hukuman dari agama seperti dihukum mati atau dihukum cambuk, maka yang sedang terjadi adalah siksa, tapi yang tersembunyi adalah rahmat. Karena dengan hukuman tersebut, dia akan terbebas dari tuntutan hukuman di akhirat kelak.
Kalau misalnya ada orang bertanya: bagaimana bisa pengutusan Rasulullah Muhammad menjadi rahmat, padahal salah satu isi syariat beliau adalah perintah berperang dan penghalalan ghanimah? Imam ar-Razi membeberkan beberapa jawaban, di antaranya:
Pertama, Rasulullah menggunakan pedang untuk para penentang yang angkuh. Perbandingannya adalah: Allah Maha Pengasih, tapi suatu ketika Allah Maha Penyiksa terhadap orang-orang yang durhaka. Kedua, umat-umat terdahulu ketika durhaka turunlah azab. Tapi, umat yang mendustakan Rasulullah, azabnya tidak diturunkan di dunia, tapi baru diberikan setelah mereka mati. Ketiga, Rasulullah lebih mengedepankan cara-cara lembut. Abu Hurairah meriwayatkan, Rasulullah pernah diminta oleh shahabat untuk berdoa agar diturunkan azab kepada orang-orang musyrik. Maka, Rasulullah bersabda, “Aku diutus sebagai rahmat, bukan sebagai azab.”
Islam yang Santun
Bahwa Rasulullah berdakwah dengan santun dan ramah, hal itu merupakan fakta sejarah yang tidak bisa dipungkiri oleh siapapun. Namun, juga merupakan fakta sejarah yang tidak bisa dibantah, bahwa beliau juga mengangkat pedang melawan orang-orang kafir; menetapkan hukuman potong tangan untuk pencuri dan hukuman rajam untuk pezina. Sikap-sikap keras itu harus dilakukan karena posisi Rasulullah bukan hanya sebagai tuntunan spiritual umat Islam, tapi juga sebagai pemimpin pemerintahan dan pemimpin di segala bidang kehidupan. Islam tidak hanya mengatur urusan ibadah, tapi juga urusan sosial, politik, ekonomi dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, sikap-sikap keras kadangkala harus dilakukan, bukan sebagai cara menanam benih, tapi sebagai solusi membasmi hama. Dengan catatan, bahwa sikap keras itu dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kewenangan seperti pemerintah, bukan oleh sembarang orang. Hal itu agar tidak menimbulkan konflik sosial yang berkepanjangan.
Dalam menyikapi sikap lembut dan sikap keras, di dalam tubuh umat Islam muncul dua kubu yang sama-sama ekstrem. Masing-masing dari kedua kubu itu hanya mau memegang ayat atau dalil yang sesuai dengan seleranya. Mereka tidak mau tahu dengan ayat atau dalil lain yang tidak sesuai dengan selera. Itulah yang sesungguhnya menjadi sebab runcingnya perbedaan pandangan di antara kedua kubu. Perbedaan sikap yang aslinya hanyalah ikhtilaf tanawwu’ (perbedaan jenis pilihan) berubah menjadi ikhtilaf at-tadhâdh (perbedaan kontrodiktif); perbedaan sikap yang awalnya hanyalah berbeda konteks berubah menjadi berbeda esensi.
Dalam al-Quran ada banyak ayat yang mengindikasikan sikap lembut dalam menyebarkan agama Islam. Dalam al-Quran juga ada banyak ayat yang mengindikasikan sikap keras dalam menyikapi penyimpangan dan pelanggaran. Semua itu jangan sampai diposisikan sebagai sesuatu yang kontradiktif, tapi sebagai sebagai sesuatu yang berbeda konteks.
Islam bersikap sangat lembut dalam kondisi normal, namun bisa juga bersikap keras dalam kondisi ada gangguan dan penyimpangan. Kedua sikap ini tidak bisa dihindarkan dalam menghadapi realitas kehidupan. Lembut saja memang sesuatu yang sangat indah, namun tidak realistis dalam membangun kehidupan yang kondusif. Keras saja jelas merupakan suatu yang buruk karena bertentangan dengan fitrah manusia. Maka, yang ideal adalah selalu bersikap lembut kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu yang diperlukan sikap keras. Inilah tuntunan yang diteladankan oleh Rasulullah sepanjang sejarah dakwahnya.
Kesalahan dalam memposisikan dalil mengakibatkan semakin runcingnya kesalahpahaman antar satu gerakan dengan gerakan lain di tubuh umat Islam; juga kesalahpahaman antar satu ormas Islam dengan ormas Islam yang lainnya.
Tidak jarang, ayat-ayat yang lembut dijadikan sebagai kedok oleh orang-orang yang tidak memiliki kepedulian apapun terhadap agama, sehingga dijadikan dalil liberalisme, pluralisme dan semacamnya. Mereka lembut pada saat seharusnya bersikap keras, tentu bukan karena menjadikan kelembutan itu sebagai strategi, tapi karena tidak peduli atau karena khawatir ada kepentingan pragmatisnya yang terganggu.
Tidak jarang pula, ayat-ayat yang ‘keras’ dijadikan sebagai kedok oleh orang-orang ekstrem, sehingga dijadikan dalil terorisme, anarkisme dan semacamnya. Mereka memilih jalan hidup yang mirip dengan kelompok Khawarij di masa Sayidina Ali dan Dinasti Umayyah. Mereka hidup secara eksklusif, enggan mendialogkan nilainilai keislaman dengan realitas. Mereka menganggap semua orang di luar kelompoknya sebagai bid’ah, kafir dan syirik. Mereka pasti gagal membangun peradaban karena belum apa-apa sudah terdepak dari medan.
Maka, ayat yang lembut dan ayat yang keras harus diletakkan secara proporsional. Di satu sisi, isi dari rahmat itu adalah tujuan hati, dan di sisi lain adalah cara. Tujuan kasih sayang itu bersifat mutlak, yaitu tercapainya kebaikan. Sedangkan cara dari kasih sayang bersifat kondisional dan memiliki banyak tahapan. Idealnya, kebaikan itu dilakukan karena kesadaran. Namun, jika kondisi ideal ini tidak bisa tercapai, maka kebaikan yang dipaksakan jelas lebih baik daripada keburukan yang dibiarkan. Meninggalkan keburukan karena rasa takut jauh lebih baik daripada melakukan keburukan dengan rasa bangga.
Jika kita belum bisa membawa masyarakat untuk melakukan kewajiban dan meninggalkan larangan karena kesadaran, maka opsi berikutnya adalah membuat mereka melakukan kewajiban dan meninggalkan larangan karena takut, malu dan semacamnya. Orang yang melakukan kebaikan karena terpaksa atau meninggalkan keburukan karena takut, memiliki peluang yang lebih besar untuk insyaf dibandingkan orang yang meninggalkan kebaikan dan melakukan keburukan dengan leluasa, apalagi dengan rasa bangga. Karena itulah, kadangkala cara keras (sesuai wewenangnya) merupakan salah satu tahap yang harus dilakukan sebagai pengejawantahan dari rasa kasih sayang.
Ahmad Dairobi/sidogiri
Baca juga: Rasulullah yang Rahmatan Lil alamin
Baca juga: Jangan Gadaikan Akidah Dengan Dalil Rahmatan Lil Alamin