Berkomitmen untuk menikah adalah sesuatu hal yang rumit. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih pasangan, karena menikah adalah komitmen seumur hidup. Tentunya kita menginginkan pasangan yang benar-benar tepat untuk menyertai kita sampai penghujung usia.
Pernikahan itu juga berhubungan dengan rasa cinta. Cinta itu candu. Saat kita jatuh cinta, kita seakan lupa segalanya. Hampir mustahil bagi kita untuk menyadari apakah orang yang kita cinta itu memberi dorongan yang positif atau justru negatif buat kita. Inilah yang harus kamu pertimbangkan masak-masak ketika hendak membina rumahtangga.
Ada orang yang akan membimbingmu, mengkritikmu dengan cara yang membangun, serta membantumu belajar lebih banyak. Tapi ada juga orang yang suka mencela, membesar-besarkan kesalahan yang kamu lakukan, atau bahkan bertindak destruktif terhadap dirimu.
Dari itu masalah pernikahan mendapat perhatian yang sangat khusus dalam ajaran Islam. Sebelum menikah, seorang muslimah dianjurkan untuk memperhatikan kriteria dan kualitas calon suami yang akan menjadi pendamping hidupnya.
Memilih Calon Suami Umar bin Khatthab seperti dikutip dalam kitab Makârim al-Akhlaq, mengajarkan kaum wanita agar memperhatikan kriteria laki-laki calon suaminya. Menurut Umar, kriteria lakilaki secara umum terbagi ke dalam tiga golongan.
Pertama, laki-laki yang menjaga diri, lemah lembut, cepat berpikir, dan memiliki keputusan yang tepat. Kedua, laki-laki yang ketika dihadapkan pada satu masalah akan pergi pada orang yang ahli untuk meminta nasihat dan masukan. Dan ketiga, laki-laki yang selalu bingung, tidak pintar, dan enggan mendengarkan pendapat orang lain.
Tidak semua wanita bisa mendapatkan jodoh terbaik seperti dijelaskan Umar pada kriteria pertama. Karenanya, para ulama menjelaskan prinsip-prinsip utama menentukan calon suami sebelum mengarungi bahtera rumahtangga.
Suatu ketika Imam Hasan bin Ali ditanya oleh seseorang, Saya mempunyai seorang anak gadis. Menurut tuan, dengan siapakah sebaiknya ia saya nikahkan?
“Nikahkanlah dengan laki-laki yang bertakwa kepada Allah”, jawab Imam Hasan. “Kalau laki-laki itu mencintai anakmu, ia akan memuliakannya, dan kalau tidak mencintainya, ia tidak akan menganiayanya”, imbuh Imam Hasan.
Apa yang dikatakan oleh Imam Hasan itu merupakan pedoman bagi seorang wali dan seorang gadis untuk memilih calon suami yang tepat. Bahwa seorang suami haruslah sosok yang beriman kepada Allah dan berakhlak mulia.
Di samping itu, para ulama juga menguraikan konsep kufu’. Umumnya, kufu’ diartikan kesepadanan antara suami dan istri, baik status sosial, nasab, harta, ilmu, dan imannya. Akan tetapi sekelompok ulama berpandangan, unsur kufu’ yang terpenting adalah iman dan akhlak; bukan nasab, harta, dan lainnya. Hal itu didasarkan pada firman Allah,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersukusuku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS al-Hujurat [49]: 13).
Ayat itu menegaskan persamaan semua manusia. Tidak seorang pun yang lebih mulia dari yang lain kecuali karena ketakwaannya. Itu ditunjukkan dengan menjalankan kewajibankewajibannya kepada Allah dan kepada sesama manusia.
Dengan demikian, kata Ibrahim Muhammad al-Jamal dalam Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, laki-laki yang saleh, sekalipun ia bukan dari keturunan orang terpandang, boleh dipilih sebagai calon suami. Begitu pula dengan laki-laki miskin, ia boleh dipilih sebagai calon suami, sejauh ia pandai memelihara diri dari perbuatanperbuatan keji.
Sebaliknya, jika laki-laki itu tidak teguh menjalankan agamanya, ia tak pantas dijadikan suami oleh muslimah yang taat. Ibnu Rusyd, dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid, mengatakan, tidak ada perbedaan pendapat dalam Mazhab Maliki, bahwa jika ada gadis yang dipaksa orangtuanya untuk menikah dengan laki-laki pemabuk atau fasik, maka ia berhak menolak. Begitu pula jika ia akan dinikahkan dengan laki-laki yang hartanya diperoleh dengan cara-cara yang haram.
Pendapat Ibnu Rusyd itu diperkuat dengan kenyataan bahwa pemabuk cenderung kehilangan akal sehat dalam bertindak. Sehingga, sangat mungkin ia akan melakukan tindakan-tindakan kekerasan yang membahayakan keselamatan sang istri.
Lantas, bagaimanakah jika seorang wanita baru mengetahui kerusakan moral suaminya setelah menikah? Menurut Mazhab Hanafi, sang istri boleh mengadukan suaminya yang rusak moralnya kepada hakim. Jika si suami dipandang telah bertindak keterlaluan karena membahayakan si istri, maka hakim dapat memberikan hukuman yang setimpal, sebagai sarana pendidikan bagi si suami agar memperbaiki perilakunya. Meski demikian, menurut mazhab ini, si istri tetap belum boleh meminta cerai.
Sedangkan menurut Mazhab Maliki, bila seorang istri mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya hingga membahayakan keselamatannya, ia boleh mengadu ke hakim dan meminta cerai. Tetapi hakim boleh mengabulkan permintaan itu, hanya jika ia melihat si istri tidak mungkin bisa hidup lebih baik selama dalam ikatan perkawinan tersebut.
Itulah beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan bagi setiap wanita yang hendak menapaki tangga pernikahan. Sebaiknya, selain melakukan usaha untuk memilih pasangan, jangan lupa bahwa hasil akhir dari segala usaha ada di tangan Allah. Maka sepatutnya jangan meninggalkan doa kepada Allah agar dipilihkan calon pasangan yang baik. Salah satu doa yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan shalat Istikharah. Sebagaimana hadis dari Jabir, Rasulullah berkata,
… إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالْأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلْ, اللَّهُمَّ إنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ , وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ , وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ
“…Jika kalian merasa gelisah terhadap suatu perkara, maka shalatlah dua raka’at kemudian berdoalah: ‘Ya Allah aku beristikharah (meminta pilihan) dengan ilmuMu, aku memohon kekuatan dengan kekuasaan-Mu, dan aku memohon keutamaan-Mu’”.(HR. Bukhari).
Faiz Jawami’ Amzad/sidogiri