Suatu yang nyaman seringkali kurang aman -sebagaimana suatu yang mudah seringkali kurang berkah. Karena itulah, meskipun zaman modern sudah menyediakan segala macam sarana pengetahuan dengan mudah, lengkap, praktis, cepat dan valid, namun ia tak pernah bisa melahirkan generasi yang setara dengan Imam asy-Syafii, Imam al-Bukhari, Imam Ahmad bin Hanbal dan ulama-ulama salaf yang lain.

Li kulli sya’in âfât, hampir semua hal memiliki sisi gelap. Dan, sisi gelap kemajuan teknologi adalah semakin rapuhnya ketangguhan manusia. Sisi gelap dari kemudahan hidup adalah jiwa-jiwa yang manja. Karena itulah, orang-orang yang hebat seringkali lahir dari jiwa-jiwa yang berhasil menaklukkan kesengsaraan dan tak patah sedikitpun oleh tantangan kesulitan.

Coba kita renungkan kisah-kisah berikut ini:

Kisah pertama: Pada masa kecilnya, Imam asy-Syafii yang yatim sempat merasa malu untuk ikut mengaji bersama dengan teman-teman sebayanya. Hal itu karena ibu beliau tidak memiliki apa-apa untuk diberikan kepada guru ngajinya. Maka, Imam asy-Syafi’i memilih untuk menyimak keterangan yang disampaikan oleh sang guru, dari luar tempat mengaji. Namun, sekali saja beliau mendengarkan keterangan sang guru, maka beliau langsung menghafalnya. Konon, beliau juga sering mencatat keterangan dari para gurunya di tulang-tulang ternak, karena tidak memiliki biaya untuk membeli kertas. Sehingga, ada banyak tumpukan tulang belulang di rumah beliau kala itu.

Baca Juga: Lilin Kecil Untuk Anak Kita

Kisah ini menggambarkan betapa besarnya kesulitan yang dialami oleh Imam asy-Syafii dalam belajar di masa kecilnya; dan betapa besarnya minat beliau terhadap ilmu agama. Minat yang mencapai puncak itulah yang menyebabkan beliau tak surut oleh tantangan apapun. Minat itu pula yang menjadi salah satu penyebab beliau bisa menghafal segenap materi pelajaran dengan super cepat dan super lekat. Sebab, sebuah data tidak akan mudah lekang dari ingatan jika data itu benar-benar penting menurut pikiran sekaligus perasaan. Kita sulit mengingat sesuatu yang tidak kita anggap penting. Sebaliknya, kita akan terus mengingat sesuatu yang kita anggap penting, asalkan anggapan penting tersebut bukan hanya dalam nalar pikiran, tapi dalam perasaan hati dan jiwa yang paling mendalam.

Kisah kedua: Imam Hasan al-Bashri mendapat riwayat hadis bahwa Ka’ab bin Ujrah pernah diizinkan untuk mencukur rambutnya saat ihram karena penyakit yang beliau derita di kepalanya, dengan konsekuensi harus membayar dam (denda). Maka, Imam Hasan segera berangkat dari Bashrah ke Kufah untuk menemui Sahabat Kaab bin Ujrah. Imam Hasan rela menempuh perjalanan yang sangat jauh tersebut, hanya untuk menanyakan mengenai denda yang dibayarkan oleh Kaab. “Apa denda yang engkau bayarkan ketika mencukur rambut saat ihram?” Kaab bin Ujrah menjawab, “Seekor kambing.”.

Kisah ini menggambarkan betapa besarnya penghargaan para ulama salaf di masa lalu terhadap ilmu agama. Sampai-sampai ia rela menempuh perjalanan yang sangat jauh demi menanyakan satu persoalan keagamaan, meskipun persoalan tersebut bukan sesuatu yang mendesak baginya.

Kisah ketiga: Abu at-Thayyib al-Mutanabbi, salah satu pujangga terhebat dalam sejarah Islam. Konon, pada masa remajanya, al-Mutanabbi sering sekali datang ke toko-toko kitab. Dia miskin, tidak memiliki uang untuk membeli kitab. Namun, hal itu tidak menyurutkan keinginan dan mematahkan semangatnya untuk membaca dan mempelajari berbagai kitab. Oleh karena itu, setiap kali datang ke toko kitab, al-Mutanabbi berpura-pura ingin membeli, seraya melihat-lihat isi kitab tersebut. Di sela-sela itulah al-Mutanabbi mencuri baca, hingga akhirnya dia menjadi ahli bahasa dan sastra yang tiada duanya pada masa itu.

Bandingkan kisah-kisah di atas dengan ‘nasib’ kita di masa sekarang, saat kitab, sarana konsultasi keagamaan, dan media-media pengajian melimpah ruah. Kita bisa mendapatkan semuanya dengan serba mudah, gratis, tanpa harus menempuh jarak yang jauh, tanpa mengeluarkan biaya yang besar, dan tanpa lelah sedikitpun. Dengan kemudaan dan kelengkapan fasilitas seperti ini, apakah kita menjadi lebih hebat dari ulama-ulama di masa lampau!? Sungguh mengenaskan!.

Baca Juga: Back To Ta’limul Muta’llim

Maka, persoalannya bukan lagi soal sarana, tapi kesungguhan. Kita perlu mengingat, bahwa Allah seringkali mengurangi, atau bahkan mencabut spiritualitas-rohani pada saat melimpahnya kelengkapan materi. Mentalitas manusia seringkali cenderung menurun pada saat fasilitas semakin meningkat. Makanan semakin lezat, tapi rasa nikmat semakin berkurang. Kesejahteraan semakin tinggi, tapi perasaan cukup semakin rendah. Sarana semakin lengkap, tapi kemauan semakin menipis. Masjid semakin banyak, tapi yang berjamaah semakin sedikit.

Kita tidak mungkin memutar waktu ke masa lalu, namun masa lalu tidak boleh kita lupakan. Masa lalu menyimpan pelajaran hidup yang tak ternilai harganya untuk masa sekarang.

Kita tidak usah mengganti lampu listrik dengan lentera minyak jarak; mengganti komputer dengan tulang-belulang; mengganti mobil dengan unta; atau mengganti smartphone dengan tumpukan kertas-kertas surat. Yang perlu kita tiru dari sejarah masa lalu bukanlah sarana materinya, tapi semangat, kesungguhan dan kemantapan mentalitasnya. Kita hanya perlu belajar untuk tidak terbuai oleh kemudahan; untuk tidak terpaku pada kecanggihan sarana. Jika tidak, maka naluri dan otak manusia akan semakin beku karena jarang dipakai, sebab potensi kecerdasan dan kreativitas mereka sudah banyak digantikan oleh mesin.

Bagaimanapun, fenomena modernitas dalam kehidupan ini harus kita sikapi dengan bijak, termasuk kecanggihan teknologi informasi. Dari satu sisi, kita menyadari bahwa media digital dan online merupakan keniscayaan masa yang sudah seharusnya kita manfaatkan untuk dakwah dan pendidikan. Dan, di sisi yang lain, kita juga harus ingat bahwa suatu yang instan biasanya tidak mapan dan tidak aman. Oleh karena itu, mari kita manfaatkan sarana digital-online untuk menyebarkan dan memperoleh kebaikan, dalam posisinya sebagai sarana sekunder, bukan primer. Sedangkan tumpuan utama kita tetaplah berdakwah dan mengaji di dunia yang nyata agar umat manusia tidak berevolusi menjadi ‘suku maya’.

Ahmad Dairobi/sidogiri

Spread the love