Setiap bulan Rabiul Awal datang, pembahas publik kembali hangat dengan masalah Maulid Nabi. Jauh dari itu, masyarakat kurang membahas mengenai dampak dari pelaksanaan maulid, apakah memiliki pengaruh berarti bagi seorang Muslim atau Maulid Nabi hanya menjadi perayaan seremonial semata? KH. Abdurrahman Navis, Lc, M.HI, Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Huda, Surabaya, memberikan sedikit pandangannya mengenai hal itu. Berikut hasil wawancara N. Shalihin Damiri dari Sidogiri Media.
Mengaktualkan maulid itu seperti apa?
Kembali pada misi awal diadakannya peringatan maulid itu. Yang mengadakan itu adalah al-Malik al-Muzhaffar. Waktu itu mengadakan maulid setelah bermusyawarah dengan ulama untuk membangkitkan semangat keislaman yang waktu itu dijajah oleh tentara Salib dari Eropa. Sehingga yang diperkenalkan adalah tokoh-tokoh Kafir, sejarah Nabi gak pernah dibicarakan. Perjuangan Nabi tidak pernah dibicarakan sehingga banyak yang tidak tahu. Nah, ini kemudian menjadi kampanye untuk memperkenalkan sejarah Nabi.
Waktu itu sepakat untuk mengadakan peringatan Maulid Nabi. Nah, waktu itu memang peringatan besar-besaran untuk membangkitkan semangat. Dalam penjelasannya, al-Muzhaffar menghabiskan 100 unta, sekian ton gandum untuk sekian hari.
Acaranya memang ada baca shalawat, syair-syair, cerita para Nabi dan shahabat. Nah, itu ternyata bangkit umat Islam. Mereka jadi tahu, oh, ternyata Nabi kita begini dan begitu. Akhirnya umat Islam semangat. Ending-nya Sultan Shalahuddin al-Ayyubi menang perang melawan tentara Salib dan Masjid al-Aqsa bisa dikuasai.
Dari itu, melihat semangat dari awal itu, (maulid) bisa diaktualisasikan sesuai kondisinya. Artinya, kita memperingati Maulid Nabi, kalau di kalangan intelektual ya dengan seminar, diskusi sejarah Nabi dan hal-hal faktual lainnya. Itu di kalangan intelektual. Kalau di kalangan masyarakat awam, ya tidak mungkin kita mengadakan seminar itu. Maka bentuknya shalawatan, marhabanan dan kendurian. Ya, diaplikasikan sesuai kondisinya.
Baca Juga: Maulid Adalah Keniscayaan
Maulid bisa mengubah seseorang, tidak?
Tidak bisa disimpulkan begitu. Apakah ada orang bisa berubah gara-gara Maulid Nabi, itu perlu penelitian. Jadi, tidak bisa kita menyimpulkan langsung bahwa masyarakat di sini yang dulunya jelek, tiba-tiba bisa baik karena Maulid Nabi.
Perlu penelitian lagi, tetapi misi awal (menanamkan cinta Nabi) sudah berhasil dengan perayaan Maulid Nabi. Nah, di masyarakat awam cinta Nabi itu dengan Maulid Nabi, dengan shalawatan, pengajian dan pembacaan sejarah Nabi. Kemudian jika diukur bahwa setelah pengajian bisa langsung jelek atau baik, ya, perlu penelitian. Iya atau tidaknya perlu diteliti lagi.
Yang paling tampak itu, mereka sadar bahwa kita harus cinta Nabi dan itu (perayaan maulid) termasuk dakwah cinta Nabi. Kalau di perkantoran, itu termasuk penting karena selama setahun mereka jarang mendapatkan siraman rohani. Adanya peringatan Maulid Nabi yang diisi dengan ceramah tentang Nabi, bagi orang kantor itu penting.
Tentu ada plus minusnya
Ada. Di antaranya ada yang menganggap maulid itu wajib, ada yang dijadwal. Kalau tidak mau melaksanakan maulid maka dicoret dari umat Nabi Muhammad (tertawa). Sehingga kalau tidak maulidan dianggap sudah tidak Islam. Itu yang terjadi.
Yang kedua, mereka itu memaksakan diri. Sampai ngutang, gadaikan sawah, jual becaknya. Sementara nilai-nilai kecintaan pada Nabi tidak masuk.
Sudah melaksanakan maulid, merasa sebagai umat, selesai itu, ya tetap tidak shalat. Bukan masalah Maulid Nabi-nya, tetapi pelaksanaannya.
Ada juga yang (keliru) dalam pelaksanaannya. Shalawat itu kan menambah khusyuk dan cinta pada Nabi, tetapi kadang-kadang tak ada bedanya dengan dangdutan. Ada dangdutan, saweran juga. Itu saya pikir mengurangi kesakralan Maulid Nabi. Maulid Nabi itu kan bukan sekadar tontonan, tapi tuntunan.
Baca Juga: Meresapi Makna Keajaiban Maulid
Jadi semacam telah terjadi pergeseran pelaksanaan. Makanya ada yang menolak sama sekali, ada juga yang mewajibkan. Kalau yang menolak, peringatan maulid disamakan dengan natal, mengultuskan Nabi. Yang mewajibkan, ya, seperti yang tadi itu, sampai mencatat dan memaksa masyarakat untuk melakukan. Itu yang perlu diperbaiki.
Makanya menurut saya, bagi yang mampu melaksanakan maulid, ya silakan. Bagi yang tidak mampu ya sudah. Minimal ikut maulidan di mushala saja. Saya selalu bilang, maulid itu tidak wajib. Kalau mampu, ya silakan melaksanakan. Kalau tidak (mampu), ya ikut maulidan di masjid saja. Kalau sangat tidak mampu, kita datang ke acara maulid itu sudah sangat baik. Jangan memaksakan diri.
Pesan jenengan
Maulid itu perlu diadakan sebagai bukti kecintaan kita pada Nabi. Kata Nabi, orang yang mencintai sesuatu akan sering menyebutnya. Maka peringatan maulid itu upaya menyebut Nabi. Perlu kita amalkan. Namun perlu kita luruskan perayaan yang menyimpang, di antaranya: pemaksaan diri, shalawatnya seperti dangdutan dan lain sebagianya. Kita berharap maulid punya aktualisasi, dari yang tidak baik menuju pada kebaikan.