Hari-hari kita belakangan ini banyak dihiasi dengan bunga-bunga api perpolitikan Nasional yang meletup-letup di sana-sini, dan tak jarang memercikkan bara. Memang, sejak 2014 yang lalu, iklim perpolitikan kita seperti bergulir dengan cara yang tidak semestinya, dan karena itu kita menyaksikan banyak hal yang ganjil dan tak wajar.
Di antara ketidakwajaran itu, adalah fakta bahwa kini anak bangsa seperti terjebak ke dalam polarisasi perseteruan politis yang tak berkesudahan. Sesuatu yang agaknya belum terjadi sebelumnya di negeri ini. Lumrahnya, setelah pesta demokrasi Pilpres usai dan sudah ditentukan pemenangnya, misalnya, masing-masing kubu mestinya menyudahi perdebatan tentang siapa yang paling layak menjadi Presiden, karena memang rakyat sudah menyalurkan suara mereka.
Tapi pada periode ini, perseteruan terus terjadi sepanjang waktu, dari sejak usianya Pilpres hingga menjelang Pilpres periode berikutnya. Bahkan, hal yang sama tampaknya juga terjadi dalam konteks Pilgub di Ibu Kota. Kita melihat bagaimana para pendukung Gubernur yang telah lengser masih saja membicarakan isu-isu yang tidak relevan, terkait dengan Gubernur yang telah lengser itu. Kondisi semacam ini tentu tidak menarik dan tidak sehat, tapi bagaimanapun, itulah yang terjadi hari ini.
Tampaknya, semua itu terjadi sejak kita memasuki era sosial media, di mana dari situ kita jadi lumrah mendengar istilah “pencitraan”. Setidaknya, hal itu mulai tampak dalam strategi kampanye Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang konon banyak meng-copy pencitraan Presiden Obama yang menyasar sosial media, yang menuai sukses di Amerika. Maka pada kontestasi-kontestasi politik berikutnya, pembentukan tim siber oleh masing-masing kubu adalah kebutuhan mutlak yang tak terelakkan. Tim siber dari masing-masing kubu akan bekerja dari balik layar, termasuk meski membikin kita bertengkar, karena mungkin untuk itu pula mereka dibayar.
Jadi, dengan demikian kini kita harus segera menyadari bahwa iklim perpolitikan kita tak pernah lagi sama dengan yang dihadapi oleh generasi terdahulu. Pada masa lalu, ketegangan antar-kubu, kendati mungkin juga menyebar hingga ke akar rumput, namun boleh jadi ia hanya panas di obrolan-obrolan warung kopi, dan tensinya tak akan menjalar kemana-mana. Tapi hari ini, kita benar-benar menghadapi realita politis yang sama sekali berbeda. Jika kita tidak bisa mengelola konflik politik di sosial media dengan baik, maka dampak buruknya sungguh sangat mengerikan.
Baca juga: Etika pol itik?
Konflik politik ini bisa menjalar kemana-mana, dan siap membikin setiap inci dari lini kehidupan kita terpecah belah menjadi musuh-musuh yang saling berhadap-hadapan setiap saat. Dari situ, kita akan menghadapi fakta hilangnya soliditas dan keutuhan dalam organisasi kita, dalam lembaga pendidikan kita, dalam dunia sosial-kemasyarakatan kita, dan lain sebagainya. Sebab masing-masing kita, yang mungkin tanpa kita sadari, sudah terlalu ‘nyaman’ berseteru dengan siapapun di dunia maya yang berseberangan dengan kecenderungan politis kita. Maka terbentuklah dialektika politik yang tak sehat, tidak konstruktif, yang tentunya akan lebih banyak menimbun mudarat ketimbang menyumbangkan manfaat.
Moh. Achyat Ahmad/sidogiri