Kijing makam secara literaturnya adalah batu penutup makam yang menyatu dengan batu nisan makam. Biasanya kijing makam dibuat seukuran dengan makam serta dibangun di atasnya, dan terbuat dari pualam, tegel, atau semen. Kebanyakan masyarakat membuatnya dari semen, sebab lebih kokoh bertahun-tahun. Sayangnya, mengijing makam sudah menjadi tradisi masyarakat akar rumput Nusantara yang sulit untuk dihilangkan ketika salah satu kerabat atau keluarga telah meninggal dunia, utamanya di daerah Madura dan Jawa. Tradisi ini dilakukan dengan berbagai alasan, mulai alasan untuk menghiasi makam, agar makam kokoh dan tidak serem untuk diziarahi. Karena sudah mentradisi, maka tak heran sering kita lihat banyak makam yang dikijing oleh ahli warisnya, baik di tanah milik sendiri, pemakaman umum, atau di tanah yang diwakafkan untuk pemakaman umum.
Dalam edisi kali ini, kami membahas bagaimana hukum mengijing makam yang legal dan ilegal menurut kajian Fikihnya. Sebab, tidak semua tradisi yang mengakar subur itu benar dan legal menurut syariat. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW melarang untuk tajshîsh (memplester) dan membangun makam. Imam Muslim RA meriwayatkan demikian:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ, زَادَ وَأَنْ يَقْعُدَ عَلَيْهِ التُّرْمُذِيُّ وَأًنْ يُكْتَبَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُوْطَأَ عَلَيْهِ, وَقَالَ حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ
“Rasulullah SAW melarang menggamping (memplester) kuburan dan membangunya. Imam at-Turmudzi RA menambahkan, “(Rasulullah SAW melarang) untuk duduk dia atas kuburan, menulis (nisan), dan menginjak kuburan.” (HR. Muslim RA).
Dari penjelasan hadis di atas, Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malîbâri dalam Fathul-Mu’innya menjelaskan bahwa membangun di atas atau di bagian dalam dan sekeliling makam dihukumi makruh. Kemudian beliau melanjutkan:
وَمَحَلُّ كَرَاهَةِ الْبِنَاءِ، إِذَا كَانَ بِمِلْكِهِ
“Hukum kemaruhan (membangun makam) tersebut bilamana dibangun di tanah milik sendiri.”
Baca Juga: Serambi Masjid Dalam Kaitan Wanita Haid
Kemakruhan membangun tidak membedakan bentuk apapun yang dibangun; baik membangun kubah, rumah, masjid, atau kijing dan yang lain. Dan hukum makruh tersebut bilamana dilakukan dengan tanpa ada hajat, semisal khawatir makam akan digali, digali hewan buas, atau tergerus banjir. Ketika ada hajat, maka tidak dimakruhkan, bahkan wajib hukumnya membangun makam ketika dikhawatirkan terjadi.
Lantas, bagaimana hukumnya mengijing makam di pemakaman umum dan tanah wakaf? Ulama telah sepakat menghukumi haram sebagaimana Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’nya. Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairimi berkomentar demikian:
وَلَوْ بَنَى عَلَيْهِ فِيْ مَقْبَرَةٍ مُسَبَّلَةٍ وَهِيَ الَّتِيْ جَرَتْ عَادَةُ أَهْلِ الْبَلَدِ بِالَّدَفْنِ فِيْهَا حَرُمَ وَهُدِّمَ
“Apabila membangun (mengijing) makam di pemakaman musabbalah; yakni tanah yang biasa dijadikan pemakaman oleh masyarakat, maka haram hukumnya dan wajib dihancurkan.”
Jelas, tradisi mengijing makam di pemakaman umun dan wakaf yang banyak terjadi di masyarakat hukumnya haram dan wajib ditinggalkan, dalam catatan ketika tidak didasari beberapa alasan di atas. Hukum haram tersebut disebabkan mengijing makam dapat menghalangi orang-orang yang ingin mengubur kembali di makam yang dibangun tersebut ketika jenazahnya sudah hancur. Selanjutnya yang berkewajiban untuk menghancurkan kijing makam adalah aparat atau pemerintah setempat. Syekh Abu Bakar Syathâ ad-Dimyâthi dalam I’anatuth-thâlibîn menyebutkan demikian:
وَالْهَادِمُ لَهُ اَلْحَاكِمُ أي يَجِبُ عَلىَ الْحَاكِمِ هَدْمُهُ دُوْنَ الْآَحَادِ
“Yang berkewajiban mengahncurkan (kijing makam tersebut) adalah hakim, tidak bagi perorangan.”
Beda halnya pendapat dari Imam Ibnu Hajar al-Haitami RA, beliau bertutur:
وَقَالَ ابْنُ حَجَرٍ: وَيَنْبَغِيْ أَنَّ لِكُلِّ أَحَدٍ هَدْمُ ذَلِكَ، مَا لَمْ يَخْشَ مِنْهُ مَفْسَدَةً، فَيَتَعَيَّنُ الرَّفْعُ لِلْاِمَام
” Seyogyanya bagi setiap perorangan diperbolehkan untuk menghancurkan kijing makam tersebut, selagi tidak dikhawatirkan terjadinya mafsadah lain. Ketika demikian, maka hanya berkewajiban melaporkan ke imam.”
Baca Juga: Kegiatan Keagamaan Di Tahun Baru Islam
Ada beberapa kondisi diperbolehkan, bahkan diwajibkan untuk mengijing makam sekalipun di pemakaman umum atau wakaf. Di antaranya ketika makam dikhawatirkan digali seseorang, longsor, atau digali hewan buas, sebagaimana yang telah disinggung di atas. Dan kijing makam hanya boleh dibuat dengan sekiranya dapat menolak kekhawatiran di atas, tidak lebih.
Dalam beberapa permasalahan pasti ada mustatsnayat atau pengecualianya. Begitu pula dengan mengijing makam, ada permasalahan yang diperolehkan sekalipun di pemakaman umum atau wakaf. Bahwa mengijing atau membangun makam menjadi perdebatan di kalangan Syafi’iyah. Syekh Umar al-Jâwi dalam Tuhfatul-Habib memaparkan berikut ini:
وَعِبَارَةُ الرَّحْمَانِيْ : نَعَمْ قُبُوْرُ الصَّالِحِيْنَ يَجُوْزُ بِنَاؤُهَا وَلَوْ بِقُبَّةِ الْأَحْيَاءِ لِلزِّيَارَةِ وَالتَّبَرُّكِ
“Makam-makam orang-orang salih diperbolehkan untuk dibangun sekalipun dengan kubah orang-orang hidupbertujuan untuk diziarahi dan ditabruki.”
Sekaligus pendapat barusan juga didukung dan difatwakan oleh Imam al-Halabi sekalipun di pemakaman umum. Bahkan Syekh az-Zayâdi salah satu wali masyhur memerintahkan untuk membangun makam-makam orang salih. Beda halnya dengan pendapat yang difatwakan oleh Syekh ‘Izzuddin bin Abdissalam yang cenderung tidak memperbolehkan. Pendapat ini perkuat dengan pendapat Syaikhinâ as-Syaubari guru mulia ulama Nusantara di atas.
Sebagai penutup, dari beberapa kelasifikasi hukum di atas sudah jelas kijing makam yang illegal dan illegal menurut kajian Fikihnya. Kemudian Syekh Umar al-Jâwi menuturkan, bila ditemukan kuburan yang sudah dalam keadaan dibangun dan tidak diketahui kepastian makam tersebut, maka tidak diperkenankan untuk merusaknya. Sebab, kemungkinan hal tersebut dilakukan untuk menjaga makam dari kekhawatiran di atas. kecuali bila diketahui mengijing makam tersebut pada saat pemakaman dengan tanpa alasan-alasan yang melegalkan. Wallahu a’lam bis-shawâb.
M. Baihaqi/sidogiri