مَنْ أَشْرَقَتْ بِدَايَتُهُ أَشْرَقَتْ نِهَايَتُهُ
“Siapa yang bersinar di awal, akan bersinar pula di akhir”
Dalam hikmah sebelumnya telah dijelaskan bahwa titik balik menuju husnul khatimah adalah dengan kembali kepada Allah di awal mula. Dan kembali kepada Allah tidak saja diwujudkan dengan ketaatan secara dzahir, namun lebih kepada keintiman hamba dalam mengadu, berteduh dan mengungsi kepada Allah sejak permulaan. Kalam hikmah ini sejatinya merupakan lanjutan dari hikmah sebelumnya. Berikut sekelumit ulasannya.
Perlu digaris bawahi bahwa husnul khatimah dalam setiap urusan tergadai oleh bagus tidaknya permulaan. Permulaan yang gemilang di sini maksudnya adalah tarbiyah yang mesti ditempuh oleh seorang hamba. Yakni pendidikan akidah dan pendidikan penjernihan hati. Pendidikan ini merupakan fase penting dalam pembentukan karakter pribadi yang selalu kembali kepada Allah di setiap memulai aktivitas.
Jika fase penanaman benih karakter ini berhasil dilalui dengan baik, dipastikan setiap usaha yang dilakukan dipenuhi dengan orientasi menuju Tuhan. Bahkan di dalam membangun interaksi sosial dengan sesama ia tak akan lepas dari perasaan selalu diawasi, selalu dikontrol dan dikendalikan oleh Allah. Dan hal ini merupakan nilai akhlak yang luhur. Adakah kehidupan lebih gemilang dari keadaan menapaki jalan Tuhan di setiap usaha dan selalu merasa diawasi oleh Tuhan di kala berinteraksi dengan sesama? Dua cahaya ini adalah kegemilangan hakiki yang siapapun berhasil menerapkannya maka ada jaminan kesuksesan akan diraih di akhir laga.
Dan lagi yang perlu diperhatikan bahwa konsep pemikiran seperti yang dituturkan Ibnu Athaillah dalam hikmah ini bisa juga diberlakukan dalam tatanan kemasyarakatan. Bahwa tanda kesuksesan amal yang ditengarai oleh bagaimana sikap seseorang di awal permulaan tidak hanya bisa diterapkan dalam kehidupan personal namun juga bisa diamalkan dalam kehidupan masyarakat yang majemuk. Masyarakat Muslim misalnya, tidak akan mampu mencapai kegemilangan melainkan apabila setiap individu di dalamnya terdidik dengan pendidikan dasar yang menyasar akidah dan penjernihan hati sesuai tuntunan al-Qur’an dan Hadis. Di mana pendidikan ini akan mendorong empunya untuk bersamasama mengawali kegiatan dengan kembali kepada Allah demi mencapai kesuksesan bersama.
Jika kemudian ada yang bertanya? Bagaimana dengan peradaban Eropa yang dihujani berbagai kenikmatan dan mencapai kemajuan ilmiah dan peradaban justru di saat masyarakatnya tidak begitu gandrung dengan agama, bahkan tidak sama sekali mengenal Tuhannya. Di sana gereja lebih hanya sebagai bangunan tua yang kehilangan sakralitas, sebatas pemandangan yang mungkin dewasa ini hanya indah untuk dijadikan spot pengambilan gambar belaka. Maka untuk menjawab pertanyaan ini adalah dengan menanyakan kembali, benarkah keragaman nikmat serta kemajuan di berbagai lini yang sedang mereka rasakan adalah babak akhir dari perjalanan kehidupan mereka? Padahal kita tahu bahwa di sisi lain mereka juga tertimpa badai bencana yang begitu dahsyat; degradasi moral, kenakalan remaja, narkoba adalah sebagian kecil dari musibah-musibah itu.
***
Jika seseorang telah membiasakan cara pandang dan pola pikir seperti apa yang dikatakan dalam hikmah ini, maka kemanfaatan yang bisa diraih adalah ia selalu menjaga adab di kala berhadapan dengan siapapun. Di samping itu orang dengan tipe ini cenderung menjaga perasaan orang lain baik dalam bersikap maupun dalam bertutur kata. Maka jika bertemu dengan orang yang secara dzahir tampak menyalahi perintah, secara kasat terlihat menabrak aturan dan terlena dalam buai kenikmatan maka sebisa mungkin ia akan memberi nasihat, mengingatkan bahkan beramar ma’ruf dan nahi munkar. Kendati demikian ia tidak mudah bergumam dalam hati bahwa ia termasuk golongan orang yang tidak dikehendaki baik oleh Allah, golongan ahli celaka dan calon penghuni neraka. Mengapa? Karena orang ini sadar bahwa apa yang terjadi pada apa yang ia lihat saat ini belum tentu selamanya akan menetapi keadaan yang sama. Artinya, bukan tidak mungkin orang yang nampak di mata manusia begitu hina dan durja namun tidak satupun yang tahu bagaimana episode akhir dari kehidupannya. Bukankah amat sangat mudah bagi Allah untuk mengubah keadaannya menjadi manusia baik-baik? Betapa mudah bagi Allah untuk mensalehkan hatinya lalu menggerakkannya untuk bertaubat sehingga di akhir cerita ia tergolong ahli surga?
Begitu juga jika ia bertemu dengan orang yang secara dzahir tampak istikamah menjalankan perintah, selalu berhias dengan ciri-ciri orang saleh, ia akan selalu berprasangka baik. Ia memegang teguh prinsip; “kita memvonis dengan apa yang tampak, Allah yang maha tahu rahasia-rahasia yang tersembunyi.” Oleh sebab itu kita tidak bisa memastikan bahwa ia akan terus baik hingga akhir hayatnya. Kita tidak bisa menggiring opini masyarakat untuk menilai orang tersebut pasti mati dalam keadaan husnul khotimah. Karena nyatanya kita tidak pernah tahu apa yang tersembunyi di balik jubah putihnya, apa yang tersimpan di balik hamparan surbannya. Satu hal yang harus dilakukan adalah selalu berprasangka baik kepada siapapun. Bahwa selama masih tersimpan iman dan Islam di hati seseorang, maka jalan mengakhiri hidup dengan baik jauh lebih terbuka lebar dari pada mereka yang tidak ada iman di hatinya.
Dengan singkat bisa disebutkan: memahami dengan baik kandungan hikmah ini dapat menjadikan seseorang lebih mawas diri, lebih berhati-hati dan tidak serampangan menjatuhkan vonis pada orang lain. Berprasangka baik kepada siapapun; kepada orang yang tampak taat secara dzahir ia ber-husnudzan sesuai prinsip Nahnu Nahkumu bi Dzawâhir. Dan kepada orang yang terlihat secara lahir gemar maksiat ia ber-husnudzan bahwa mungkin saja ada ikatan batin yang samar antara dia dengan Allah, yang justru ikatan batin inilah pada gilirannya mampu mengeluarkannya dari jeratan maksiat dan memperoleh sebaik-baiknya taubat. Wallahu a’lam.