Pernikahan adalah tali amanah untuk meraih berkah, karena itu masing-masing pasangan suami-istri memiliki kewajiban atas pasangannya; semuanya diikat dalam bingkai hak dan kewajiban. Ini adalah tata atur syariah untuk keberlangsungan rumah tangga, untuk menghindari hal yang paling ditakuti oleh pasutri, yaitu “perceraian”.
Dalam Islam, cerai adalah hak suami, sementara istri punya hak gugat melalui khulu’. Perceraian adalah jalan terakhir ketika biduk rumah tangga sudah tidak dapat dipertahankan. Ketika cerai sebagai hak suami, ucapan suami menjadi penentu talak yang tidak bisa dibuat main-main. Dari itu, menjaga lisan untuk tidak mengucap kata talak pada istri adalah hal yang harus dilakukan. Bagaimana jika seseorang mengaku jomblo, padahal dirinya sudah beristri?
Pengakuan jomblo ini sering dilakukan oleh seorang suami di mana setiap perempuan pasti menginginkan pria single menjadi pasangan hidupnya. Dengan begitu, ia akan memiliki suami seutuhnya.
yang ingin didekati, salah satu jurus ampuhnya adalah pengakuan “jomblo”. Jurus ini hampir menjadi pikatan utama bagi kaum perempuan, karena di benak setiap perekala ada tambatan baru. Saat ada wanita yang ingin didekati, salah satu jurus ampuhnya adalah pengakuan “jomblo”. Jurus ini hampir menjadi pikatan utama bagi kaum perempuan, karena di benak
mpuan pasti menginginkan pria single menjadi pasangan hidupnya. Dengan begitu, ia akan memiliki suami seutuhnya.
Bagaimana kemudian, soal pengakuan bohong suami tersebut? Apakah berarti telah menjatuhkan talak pada istrinya, yang di depan wanita lain tidak diakuinya? Untuk menjawab hal ini, perlu mengenal terlebih dahulu macammacam kata yang bisa digunakan oleh suami untuk menjatuhkan talak. Dalam fikih, khususnya Mazhab Syafi’i, kata talak (Shighat) terbagi menjadi dua: Sharih dan Kinayah.
Maksud dari shighat sharih adalah kata yang digunakan tidak mengandung makna lain kecuali cerai. Karena sudah jelas sebagai shighat thalaq, sharih tidak memerlukan niat. Saat dikatakan oleh suami, seketika talak terjadi. Kata sharih dalam talak berbahasa Arab terambil dari kata thalaq (cerai) sarah (lepas) dan firaq (pisah). Ketika seorang suami mengatakan, “Kamu saya cerai/talak”, secara langsung terjadi talak. Tidak perlu ada konfirmasi ulang, apakah bermaksud talak atau tidak, karena shighat sharih tidak bisa dbuat main-main.
Sedikit berbeda adalah shighat kinayah dalam talak. Artinya, ragam kata yang memiliki makna cerai atau lainnya disebut kinayah. Karena masih ambigu, butuh niat saat mengucapkan; apakah bertujuan cerai dengan ucapan suami? Ambil contoh penjelasan hal ini, ditulis oleh Syaikh Zakariya al-Anshari dalam Asna al-Mathalib (vol: III/269) berikut:
وَهُوَ صَرِيحٌ وَهُوَ مَا لَا يَحْتَمِلُ ظَاهِرُهُ غَيْرَ الطَّلَاقِ فَلَا يَحْتَاجُ إلَى نِيَّةٍ وَكِنَايَةٌ وَهِيَ مَا يَحْتَمِلُ الطَّلَاقَ وَغَيْرَهُ فَهِيَ تَحْتَاجُ إلَى نِيَّةٍ فَالصَّرِيحُ الطَّلَاقُ وَالسَّرَاحُ… وَالْفِرَاقُ…
“Talak itu ada yang sharih, maksudnya kata yang lahirnya tidak mengandung makna selain talak, sehingga tidak diperlukan niat. Ada yang berbentuk kinayah yaitu kata mengandung kemungkinan makna talak dan selainnya, sehingga masih membutuhkan niat. Kata sharih adalah Thalaq (cerai), Sarah (lepas) dan Firaq (pisah)…”
Dari pembagian jenis kata talak ini, ungkapan bohong dari seorang suami bahwa dirinya masih single di hadapan wanita idamannya adalah bersifat kinayah. Masih membutuhkan niat, apakah perkataan bohongnya adalah menjatuhkan cerai pada istrinya atau tidak. Jika tidak ada maksud menceraikan istrinya, maka tidak jatuh talak, demikian pula sebaliknya.
Apa maksud dua tujuan dari perkataan suami tersebut? Saat menyatakan demikian, bisa jadi si suami memang bermaksud menceraikan istrinya. Akan tetapi, bisa pula ia menyatakan demikian karena keluarganya yang demikian hancur; tidak ada kebahagiaan dalam rumah tangganya, sehingga ia bagaikan tak beristri alias jomblo.
Dalam hal ini, kitab al-Muhadzdzab, misalnya, disebutkan redaksi demikian:
وإن قال له رجل ألك زوجة فقال لا فإن لم ينو به الطلاق لم تطلق لانه ليس بصريح وإن نوى به الطلاق وقع انه يحتمل الطلاق
“Ketika ada seseorang bertanya pada suami, ‘Apakah kamu punya istri?’, lalu suami tersebut menjawab, ‘Tidak’, maka jika ia tidak niat talak sang istri tidak tertalak, karena hal itu bukan shighat sharih. Apabila ia saat mengatakan ‘Tidak’ itu niat talak, maka jadi talaknya karena hal itu berpotensi talak. (al-Muhadzdzab, II/ 82).
Hal ini adalah pandangan hukum yang dipilih oleh Syaikh al-Syairaziy yang kemudian ditashhih oleh imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’-nya, serta dinyatakan sebagai pandangan yang Ashah (lebih shahih) dan masyhur. Hal ini juga dijelaskan dalam Syarhul-Bahjah al-Wardiyah yang juga menjelaskan pandangan dari Imam Qadhi Husain yang juga dishahihkan oleh al-Ghazali yang menyatakan perkataan suami demikian adalah bentuk iqrar sharih atas talaknya.
Yang diikuti oleh al-Ushfuni dan Abdir Rahman al-Hijazi, bahwa pengakuan seorang suami tersebut merupakan thalaq kinayah, sehingga jika dia berniat di dalam hatinya untuk menceraikan istrinya (ketika dia mengaku bujang kepada teman ceweknya) maka jatuhlah talak terhadapnya, dan apabila tidak demikian maka thalaq tidak dihukumi jatuh terhadap istrinya.
Hanya kemudian, ada penyikapan berbeda dari Syaikh Khathib asy-Syarbini soal kebohongan suami tersebut dengan mengaku sebagai jomblo. Beliau berpendapat bahwa pengakuan seorang suami tersebut tidak berefek sama sekali pada perceraian, meskipun di dalam hatinya ada niat cerai. Pengakuan tersebut, menurutnya, tidak termasuk thalaq kinayah, apalagi sharih. Akan tetapi, hanya merupakan kebohongan belaka atas status dirinya.
Padangan ini, juga dikutip oleh Syaikh Zakariya al-Anshari dalam kitab Asna al-Mathalib-nya (vol: III/3:25) bahwa pengakuan jomblo tersebut tidak berefek pada talak; bukan kinayah apalagi sharih. Alasannya, karena pengakuan itu murni sebuah kebohongan. Berikut redaksi dalam kitab Asna al-Mathalib yang diambil dari nash asy-Syafi ’i dalam kitab al-Imla’:
لو قيل له ألك زوجة فقال لا لم تطلق ولو نوى لأنه كذب محض وهذا ما نقله الأصل عن نص الإملاء وقطع كثير من الأصحاب
“Jika dikatakan pada suami, ‘Apakah kamu punya istri?’ lalu ia menjawab tidak, maka sang istri tidak tertalak meskipun ada niat talak, karena hal itu murni sebuah kebohongan. Ini seperti apa yang dikutip Ashlur-Raudhah dari nash kitab al-Imla’. Ia juga memastikan bahwa itu merupakan pendapat segolongan Ashhab asy-Syafi ’i.”
Titik poinnya, kebohongan seorang suami dengan mengaku sebagai pria single memiliki implikasi hukum yang berbeda sikap di antara ulama. Al-Ashah menyatakan bahwa pengakuan itu adalah bentuk kinayah dari talak yang membutuhkan niat. Sementara pendapat yang lain bahwa itu murni kebohongan belaka yang tidak berimplikasi pada hukum cerai.
Akan tetapi, apa pun itu, kebohongan tetap sebuah kebohongan. Sebuah rumah tangga yang didasari dengan kebohongan tentu akan melahirkan kekecewaan yang kemudian berujung berantakan. Perceraian akhirnya menjadi pilihan pahit, manakala poligami yang dibungkus kebohongan terbakar api pertengkaran.
5