Baghdad merupakan pusat pemerintahan dan peradaban pada masa Bani Abbasiyah. Ibu kota negara pada awalnya adalah al-Hasyimiyah dekat kufah. Namun, pada masa khalifah al-Mansyur ibu kota negara dipindahkan ke kota yang baru didirikannya yaitu kota Baghdad yang terletak di dekat ibu kota Persia, Ctesipon, pada tahun 762 M.
Sejak awal berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam. Sebagai pusat intelektual, di Baghdad terdapat beberapa pusat aktivitas pengembangan ilmu. Di antaranya adalah Baitul Hikmah, yaitu lembaga ilmu pengetahuan yang menjadi pusat pengkajian berbagai ilmu.
Selain itu Baghdad juga sebagai pusat penterjemahan buku-buku dari berbagai cabang ilmu ke dalam bahasa Arab.
Baca juga: Sejarah Islam di Sisilia
Kemunduran dan pengkhianatan
Pada masa al-Mutawakkil, orang-orang Turki berhasil mengisi pos-pos penting pemerintahan dan mulai saat itu legitimasi Bani Abbas sudah sangat lemah. Di sisi lain kerajan-kerajaan kecil mulai memisahkan diri dari dinasti Abassiyah.
Saat dinasti Abbasiyah terus melemah, dari arah timur muncul kekuatan baru yaitu pasukan Tartar yang berhasil menaklukkan bangsa-bangsa sekitarnya dengan sekejap, sampai Pada tahun 565 H/1258 M, tentara Mongol yang berkekuatan sekitar 200.000 orang sudah tiba di Baghdad. Khalifah Al-Musta’shim, khalifah terakhir di Baghdad kaget, tak berdaya dan tidak mampu membendung tentara Hulagu Khan.
Pada saat yang kritis tersebut, wazir khilafah Abbasiyah, Ibnu Alqami-seorang Syi’ah Rafidhah yang haus akan kekuasaan-mengambil kesempatan dengan menipu khalifah. la mengatakan kepada khalifah, “Saya telah menemui mereka untuk perjanjian damai. Hulagu Khan ingin mengawinkan anak perempuannya dengan Abu Bakr Ibn Mu’tashim, putera khalifah. Dengan demikian, Hulagu Khan akan menjamin posisimu. la tidak menginginkan sesuatu kecuali kepatuhan, sebagaimana kakek-kakekmu terhadap para Sultan Seljuk”.
Khalifah menerima usul itu, la keluar bersama 700 tokoh dengan membawa mutiara, permata dan hadiah-hadiah berharga lainnya untuk diserahkan kepada Hulagu Khan. Hadiah-hadiah itu dibagi-bagikan Hulagu kepada para panglimanya. Tetapi, sambutan Hulagu Khan sungguh di luar dugaan khalifah. Apa yang dikatakan sang wazir tidak terbukti. Begitu mendekati kediaman Hulagu, mereka dihadang dan hanya 17 orang yang diizinkan masuk. Sementara sisanya dibunuh tanpa tersisa.
Sedangkan khalifah sendiri sementara masih dibiarkan hidup dan dipersilahkan kembali ke Istananya, tapi dengan status sebagai tahanan rumah. Kesempatan menikmati hidup sesaat ini lebih karena pertimbangan materi, dimana Khalifah dipaksa untuk memberikan semua kekayaan pribadi dan negara kepada Hulagu. Namun kelompok Syiah Rafidhan berhasil memprovokasi Hulagu untuk menghabisi nyawa Khalifah-Seperti yang dijelaskan Ibnu Katsir. Alasannya kalau dibiarkan, satu atau dua tahun ke depan Khalifah dipastikan akan memberontak. Maka Hulagu Khan dia memerintahkan untuk memasukkan Al-Mu’tasim ke dalam karpet yang kemudian diinjak kuda-kuda pasukan Mongol sampai mati. Konon yang memberikan isyarat untuk membunuh adalah Ibnu al-Alqami dan Nashirudin Ath-Thusi.
Dengan pembunuhan yang kejam ini berakhirlah kekuasaan Abbasiyah di Baghdad. Kota Baghdad beserta dangan kekayaan intelektual dan budayanya diratakan dengan tanah, sebagaimana kota-kota lain yang dilalui tentara Mongol, dan Hulagu sendiri meneruskan invasinya ke Syria dan Mesir.
Hal ini bukan saja mengakhiri kekuasaan khilafah Bani Abbasiyah di sana, tetapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap dibumihanguskan oleh Hulaghu Khan dan tak pernah bisa bangkit kembali.
M. Fauzan Imron/Sidogiri