Pada tahun 600 hijriyah, hidup seorang tokoh dari kalangan saudagar kaya yang dermawan bernama Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim asy-Syaibani al-Jazari, mendapat gelar kehormatan Atsir. Asy-Syaibani menunjukkan bahwa beliau berasal dari Suku Syaiban dan al-Jazari dinisbatkan kepada kampung halamannya, Jazirah Ibnu Umar, tak jauh dari Kota Mosul, Irak. Disebut Jazirah Ibnu Umar sebagai bentuk apresiasi kepada Hasan bin Umar bin al-Khatthab at-Taghlibi yang telah berjasa membangun dan memaksimalkan aliran sungai Tigris dan Eufrat di daerah tersebut sehingga terkenal sebagai daerah yang sangat subur.
Karena ada suatu hal, pada tahun 565 H/1170 M Muhammad bin Abdul Karim asy-Syaibani al-Jazari sekeluarga pindah ke Kota Mosul, Irak. Beliau memiliki tiga putra yang alim yang di kemudian hari menjadi tokoh-tokoh panutan dan ulama kaliber dunia. Di antara tiga bersaudara tersebut bernama Mubarak bin Muhammad bin Abdul Karim asy-Syaibani al-Jazari atau yang dikenal dengan Ibnu Atsir, mendapat gelar Majduddin dan Abu as-Sa’adat sebagai pengakuan keahlian beliau di bidang Hadis dan bahasa. Beliau lahir pada tahun 544 H/1150 M dan wafat pada akhir bulan Dzulhijjah 606 H/1210 M di Mosul, Irak.
Dalam usia produktifnya, Ibnu Atsir menderita niqris (sejenis penyakit tulang yang menyebabkan kaki dan tangannya lumpuh), sehingga aktfitas hariannya hanya dihabiskan di rumah. Meskipun begitu, beliau semakin produktif berkarya. Dengan dibantu oleh murid-muridnya, beliau berhasil menyelesaikan penulisan beberapa kitab yang di antaranya adalah An-Nihâyah fi Gharîbil-Hadits wal-Atsar, Jami’ul-Ushul fi Ahaditsir-Rasul, al-Inshaf fil-Jam’i bainal-Kasyfi wal-Kasysyaf, asy-Syafi fi Syarh Musnad asy-Syafi’i, ar-Rasail, al-Mukhtar fi Manaqibil-Akhyar, dan lain sebagainya. Karya beliau An-Nihayah fi Gharibil-Hadits wal-Atsar merupakan salah satu rujukan utama cabang ilmu gharibul-hadits.
Sejak dini, beliau memasuki dunia ilmu dengan penuh semangat. Ini sesuai pengakuan beliau dalam pengantar Kitab Jami’ul-Ushul fi Ahaditsir-Rasul, “Sejak memasuki masa remaja dan dalam usia belia, aku sangat tertarik belajar ilmu agama, duduk bersama ulama dan berupaya sebisa mungkin menyerupai dan meniru mereka. Itu adalah kenikmatan dan rahmat Allah kepadaku lantaran menjadikan hal-hal tersebut sanggup mengambil hatiku. Maka, aku mengerahkan seluruh daya untuk memperoleh berbagai macam ilmu yang dapat aku raih dengan taufik-Nya sehingga dalam diriku ada kemampuan menguasai sisi-sisi yang tersembunyi dan mengetahui aspek keilmuan yang sulit. Tidak kusisakan upayaku sedikit pun (untuk urusan itu). Allah-lah yang memberiku pertolongan untuk dapat mencari ilmu dengan baik dan meraih tujuan mulia.”
Seiring dengan perjalanan waktu, kemampuan ilmiah beliau pun mencapai tingkat kematangan. Beliau menguasai berbagai macam Ilmu, mulai Bahasa Arab, Tafsir, Hadis hingga Fikih adalah deretan pengetahuan beliau yang menonjol. Karya-karya ilmiah di bidang-bidang yang telah disebutkan menjadi bukti nyata akan kepakaran beliau di dalamnya. Tak ketinggalan, ulama yang juga akrab dengan panggilan Abu Sa’adat Majduddin ini juga dikenal sebagai seorang penyair ulung. Akan tetapi, dari seluruh aspek keahliannya itu, kedalamannya dalam ilmu hadits, terutama yang berkaitan dengan ilmu gharibul-hadits yang paling menonjol. Namanya pun sering dikaitkan dengannya lantaran telah melahirkan karya yang tak tertandingi di bidangnya.
Seperti telah disinggung di atas, beliau mengidap penyakit niqris yang akhirnya melumpuhkan fungsi anggota geraknya, dua tangan dan kakinya. Dampaknya, beliau pun tidak bisa lagi menulis sendiri. Untuk aktifitas yang memerlukan gerak banyak, beliau harus ditandu. Karena itu, beliau lebih sering berada dalam rumah.
Kendatipun mengalami hidup dalam keterbatasan secara fisik, hal itu tidak mengahalangi beliau untuk mewariskan ilmu bagi umat. Bahkan ternyata, kitab-kitab karangan beliau, kebanyakan tersusun saat beliau tak berdaya menghadapi penyakit yang dideritanya.
Penulisan tersebut dibantu oleh santri-santri beliau dengan cara didekte.
Karena kealiman, wawasan keagamaan yang luas dan produktifnya dalam berkarya terutama Kitab An-Nihayah fi Gharibil-Hadits wal-Atsar tak sedikit ulama yang menyanjungnya. Ilmu gharibul-hadis sangat sulit sekali, tak jarang ulama mengakui kesulitannya.
Konon, Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya tentang satu kata sulit yang terdapat dalam sebuah hadits. Beliau menjawab, “Tanyakanlah itu kepada orang-orang yang menguasainya. Aku tidak suka berbicara tentang perkataan Rasulullah dengan dasar prasangka semata yang bisa mengakibatkan aku melakukan kesalahan.”
Ungkapan Imam Ahmad ini sedikit banyak menandakan pentingnya penguasaan satu disiplin ilmu dalam dunia ilmu hadits yang disebut dengan ilmu gharibul-hadits, yang nantinya menjadi titik keunggulan Ibnu Atsir dan karyanya.
Terkait ini, Ibnu Shalah mengatakan bahwa ilmu gharibul-hadits ialah satu ungkapan untuk menerangkan teks yang belum jelas maknanya, susah dipahami, lantaran jarang pakai orang”. Jadi yang masuk kategori kata gharib (kata-kata asing) adalah kata yang sudah termarjinalkan pemakaiannya, sulit dipahami, tidak terbiasa didengar oleh telinga. Gampangnya, tidak viral.
An-Nihayah fi Gharibil-Haditsi wal Atsar itulah nama kitab susunan Ibnu Atsir dalam masalah ini. Sebagaimana namanya, An-Nihayah (puncak), kitab ini kandungannya kaya, sangat mencukupi dan memadai untuk menjadi jembatan memahami kata-kata sulit yang terdapat dalam hadis, sebab telah mengkompromikan dengan kitab-kitab sebelumnya plus tambahan dari beliau sendiri. Selain itu, melalui kitab ini, akan mudah dicari kata sulit yang diinginkan dan dengan cara yang mudah, tidak seperti karya-karya ulama sebelumnya dalam bidang yang sama yang masih menyisakan kesulitan dalam mencari kata perkata. Tak pelak, kitab ini dijadikan sebagai pegangan utama dalam bidang ilmu gharib.
Tentang kitab ini, Imam Jalaluddin As-Suyuthi berkata, “Kitabnya adalah kitab terbaik dalam pembahasan gharibul-hadits, paling lengkap dan paling terkenal, serta paling sering dipakai.”[]
Afifuddin/sidogiri
Baca juga: Allah Sang Pencipta Alam Raya