Kehidupan umat manusia merupakan sejarah pertentangan terus-menerus antara inspirasi malaikat dan godaan setan; kemelut antara cahaya dan kegelapan. Pertentangan itu—baik dalam diri manusia ataupun alam semesta—terus berlangsung sejak eksistensi makhluk diciptakan oleh Allah hingga kelak dimusnahkan pada hari kiamat. Setiap makhluk (manusia) merasakan stimulus ke arah baik dan buruk pada waktu yang bersamaan. Stimulus ke arah kebaikan berasal dari inspirasi malaikat atau jiwa manusia yang bersih, sedangkan stimulus ke arah kejahatan berasal dari bisikan setan yang bersembunyi di balik jiwa kebinatangan manusia. Hal itulah yang kemudian menjadikan manusia bisa mencapai posisi yang paling tinggi (mulia) atau terbuang ke tempat yang paling rendah (hina) bergantung kecenderungan yang ia lakukan; manusia shâlih bisa berada di tingkatan yang lebih mulia daripada malaikat, begitu juga manusia thâlih bisa pula berada di tempat yang lebih hina daripada setan.

Adakah kita dalam jalan cahaya ataukah jurang kegelapan? Kullun muyassarun limâ khuliqa lahû! Termasuk dalam premis di atas adalah realitas sihir vis a vis mukjizat ataupun karamah. Sihir menjadi simbol ‘setan’ dan mewakili aspek buruk manusia, sedangkan mukjizat ataupun karamah menjadi simbol ‘malaikat’ dan mewakili aspek kebaikan manusia. Secara eksistensial, sihir, mukjizat, dan karamah adalah energi yang sama-sama berada di luar batas jangkauan nalar manusia. Bedanya, sihir merupakan kemampuan mistik yang bisa dikuasai melalui proses belajar atau latihan yang dilakukan oleh orang fasik dan kufur. Lain halnya dengan mukjizat yang merupakan energi dari Allah yang diberikan kepada hamba-Nya tanpa proses belajar sebagai bukti kenabian sekaligus penakluk para penentang dakwah. Sedangkan karamah adalah energi spesial yang dimiliki oleh seorang hamba yang saleh tanpa melalui proses belajar ataupun amalan tertentu— biasanya dimiliki oleh para wali (Lihat, Bughyatul-Mustarsyidîn, hlm. 298-299).

Para pengkaji berbeda pendapat dalam menilai hakikat sihir. Apakah orang yang terkena sihir benar-benar merasakan pengaruh negatifnya? Ataukah sihir hanya sebatas tipu muslihat semata? Abu Ja’far dari kalangan Syâfi’iyah, Abu Bakar ar-Razi dari Hanafiyah, dan Ibnu Hazm dari kalangan Zhâhiriyah menyatakan bahwa sihir adalah sesuatu yang membingungkan dan tidak memiliki hakikat apapun. (Lihat, Fathul-Bârî Syarhu Shahîhil-Bukhârî, jilid X, hlm. 274). Imam al-Qurthubi dalam al-Jâmi’ li Ahkâmil-Quran menukil bahwa Imam al-Ghaznawi al-Hanafi menyebutkan dalam karyanya yang berjudul ‘Uyûnul-Ma’ânî, bahwa sihir menurut kalangan Muktazilah adalah tipuan belaka yang tidak ada asal-usulnya. Sedangkan menurut Imam asy-Syafi’i dan mayoritas pengikut beliau, sihir adalah bisikan setan dan penyakit. Imam asy-Syafi’i juga menyampaikan bahwa sihir itu memang ada dan memiliki hakikat, dan Allah Maha Menciptakan segala sesuatu sesuai kehendak-Nya. (Lihat, al-Jâmi’ li Ahkâmil-Quran, jilid II, hlm. 274; Tafsîrul-Quran al-‘Azhîm, jilid I, hlm. 322). Sejarah mencatat beberapa kejadian— baik pada zaman Rasulullah ataupun rasul-rasul sebelumnya—yang menunjukkan secara real bahwa sihir memiliki hakikat dan menimbulkan dampak tertentu. Semisal pada tahun 6 H. Rasulullah pernah terusik akibat disihir oleh Lubaid bin al-A’sham dari kalangan Yahudi. Lantas Allah menurunkan surah al-Falaq dan an-Nâs (al-Mu’awwidzatain) sebagai obat bagi Rasulullah. Fakta ini setidaknya bisa menunjukkan bahwa sihir memiliki hakikat dan pengaruh terhadap objek yang terkena sihir. Namun tidak dipungkiri, bahwa ada jenis-jenis sihir yang tidak memiliki hakikat, yaitu sihir yang hanya sebatas pengelabuan mata, tipu muslihat, sulap, dan yang lainnya. Boleh jadi, jenis-jenis sihir yang sedemikian inilah yang dimaksudkan oleh kalangan pengkaji yang mengatakan bahwa sihir tidaklah memiliki hakikat. Dasar dari sihir jenis tersebut (tipu muslihat) adalah bahwa pandangan mata bisa dikecohkan karena terfokus pada objek tertentu tanpa memperhatikan yang lainnya.

Pada masa rasul sebelum Nabi Muhammad, keberadaan sihir sering menjadi rival tandingan dari mukjizat yang dimiliki oleh seorang rasul. Sebagai contoh adalah kisah Nabi Musa. Pada mulanya beliau dianggap sebagai tukang sihir karena memiliki kemampuan yang tidak lumrah. Keadaan berubah ketika para master sihir Fir’aun kalah dalam adu kesaktian dengan Nabi Musa. Master sihir Fir’aun takluk dan menyadari bahwa kemampuan Nabi Musa bukanlah tipuan sihir sebagaimana yang mereka lakukan, melainkan energi eksklusif yang diberikan oleh Allah yang disebut dengan mukjizat.

Setelah Nabi Musa wafat, doktrin-doktrin kependetaan para master sihi Fir’aun terus menjadi inspirasi dan menjadi pondasi kepercayaan kaum Bani Israil dan merusak keimanan mereka sendiri. Doktrin tersebut dikenal dengan sebutan Kabbalah. Kabbalah merupakan sistem esoterik yang berlandaskan pada praktik sihir. Yang menarik, Kabbalah memberikan penuturan yang sangat berbeda tentang penciptaan daripada yang dituturkan oleh Taurat, yakni penceritaan materialis yang berdasarkan kepada gagasan Mesir Kuno tentang keberadaan kekal sebuah materi.

Dengan mengadopsi doktrin-doktrin materialis-esoterik dari bangsa Mesir Kuno yang berlandaskan ilmu sihir ini, bangsa Yahudi mengabaikan larangan Taurat tentang hal itu. Mereka mengambil ritual sihir dari bangsa pagan lain dan seterusnya. Kabbalah menjadi doktrin mistis di dalam agama Yahudi, meskipun bertentangan dengan Taurat.

Kembali ke laptop! Ibnu Katsir menukil pendapat Abu Abdillah ar-Razi mengenai macam-macam sihir yang pernah dipraktikkan dan dapat berdampak cukup signifi kan terhadap objek yang terkena sihir, yaitu: 1) Sihir yang menggunakan bantuan arwah ardhiyah (arwah bumi), yakni para jin. Hubungan jiwa manusia dengan para arwah bumi lebih mudah terkoneksi dibanding hubungan mereka dengan arwah langit, karena keduanya mempunyai kesesuaian dan kedekatan.

Mereka yang melakukan percobaan dan pengalaman menyatakan bahwa hubungan dengan para arwah bumi ini dapat ditempuh dengan perbuatan-perbuatan yang cukup mudah, di antaranya berupa mantera, kemenyan, dan pengasingan diri. Inilah yang disebut dengan al-‘azâim (jampi-jampi) dan ‘amalut-taskhîr (tindakan menundukkan jin); 2) Sihir yang menggunakan bantuan obat-obatan khusus, baik yang berupa obat yang diminum maupun yang dioleskan; 3) Sihir dengan cara membaca bacaan khusus atau melakukan ritual tertentu yang dapat berdampak pada penundukan hati objek yang terkena sihir atau mengadu domba satu pihak dengan pihak lain. (Lihat, Tafsîrul-Quran al-‘Azhîm jilid I hlm. 318-322)

Selain itu, masih banyak lagi jenis-jenis sihir yang pada zaman dahulu dipraktekkan dan masih berkembang hingga saat ini semisal kekebalan, jimat-jimat, dan menggambarkan sesuatu yang bukan aslinya. Sedangkan bentuk “sihir” yang paling mutakhir saat ini dan banyak memakan korban adalah sihir dunia maya, hehe…

M Romzi Khalik/sidogiri

Baca juga: Keresahan Islam Jamaah

Baca juga: Nasionalisme Sebagai Kolega Agama

Baca juga: Hadapi Perkembangan,Identitas Sosial BIsa Berubah Tapi Prinsip Tetap

Spread the love