Bagi umat manusia, baik di Barat maupun di Timur secara umum, maupun di dunia Islam secara khusus, pernikahan merupakan sesuatu yang sangat penting dan bahkan sakral. Pernikahan adalah momen dan peristiwa yang sangat istimewa dalam hidup, karena menandai beralihnya perjalanan dan cerita kehidupan yang baru bagi setiap orang.
Bahkan lebih dari sekadar soal kisah kehidupan seseorang, dalam pernikahan terdapat aspek-aspek yang berhubungan erat dengan agama dan sosial sekaligus; pernikahan memiliki implikasi yang sangat signifikan dalam pandangan agama serta memiliki peran dan dampak serius dalam kehidupan sosial. Itulah sebabnya kenapa baik agama maupun negara sama-sama menetapkan aturan dan norma-norma terkait pernikahan ini.
Namun dalam tulisan singkat ini, kita tidak akan membahas aturan-aturan dan norma-norma agama soal pernikahan, karena kiranya semua itu sudah jelas. Namun, yang akan kita bahas adalah perkembangan aturan pernikahan yang ditetapkan oleh pemerintah baru-baru ini, serta efek apa saja yang bisa ditimbulkannya, bagaimana pandangan agama terhadapnya, lalu bagaimana semestinya kita menyikapinya.
Sebagaimana diketahui, saat ini pemerintah telah melakukan revisi UU Perkawinan tentang usia pernikahan perempuan dan laki-laki. Sehingga yang sebelumnya usia minimal perempuan boleh menikah adalah 16 tahun sedangkan usia laki-laki 19 tahun, kini diubah dan telah dinaikkan menjadi sama-sama 19 tahun.
Begitu pula, mulai tahun 2020 ada aturan baru terkait syarat menikah, yaitu sertifikasi pernikahan. Menurut berbagai sumber, program sertifikasi pernikahan ini dicanangkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK). Dalam melaksanakan program ini, Kemenko PMK akan menggandeng Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Nah, beberapa kebijakan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut perlu kita cermati secara serius, karena sebagaimana layaknya sebuah kebijakan, ia pasti memberikan dampak yang luas dan signifikan. Tentu, kita mesti mengapresiasi jika dampaknya adalah positif. Akan tetapi sebaliknya, kita perlu memberikan koreksi jika ternyata akibatnya malah negatif.
Baca Juga: Agar Pernikahan Lebih Berarti
Dari satu sisi, kedua aturan tersebut, baik meningkatkan batas minimal usia pernikahan maupun sertifikasi pernikahan, bisa dinilai telah mempersulit proses pernikahan dan tampak seperti menutup ruang bagi pernikahan dini. Sementara masyarakat khawatir hambatan itu justru mempersubur tradisi pacaran yang dampak negatifnya sangat besar bagi anak muda.
Memang tidak bisa dimungkiri bahwa bangsa kita secara umum mengalami degradasi nilai-nilai akhlak yang sangat parah, di samping jauhnya mereka dari ajaran dan aturan-aturan agama Islam. Jika pintu masuk ke dalam pernikahan yang merupakan solusi itu justru dipersulit, maka kita patut khawatir kerusakan sosial dan hancurnya nilai-nilai akhlak akan semakin parah.
Namun di sisi lain, hari ini kita juga menghadapi problem lain yang tak kalah serius terkait dengan pernikahan ini, antara lain adalah tingginya angka perceraian, yang berakibat fatal pada kedua pasangan suami-istri serta masa depan anak-anak mereka; kondisi alam yang rentan sehingga pasangan suami-istri memerlukan pemahaman yang benar tentang reproduksi dan berbagai penyakit yang berkaitan dengan hubungan suami-istri; kompleksitas urusan rumah-tangga, ekonomi, sosial, dan lain sebagainya yang mesti dipahami oleh setiap orang yang hendak menikah.
Dengan memperhatikan dua sisi persoalan di atas, di sini kita seperti terjebak dalam simalakama. Itu sebabnya, lampu hijau dari hukum Islam yang memperkenankan siapapun menikah pada usia dini, tampak kurang rasional bagi sebagian orang, karena terhalang oleh problem lain. Karena itu, setelah memahami latar belakang persoalan, kita perlu mencari titik temu yang bisa kita tarik dari dua pandangan berbeda ini, agar kita tidak terjebak dalam perdebatan dan kontroversi yang tidak produktif.
Baca Juga: Menikahi Perempuan Hamil
Titik temu itu, sekurang-kurangnya, adalah sebagai berikut: pertama, kita tidak semestinya bersikukuh bahwa lampu hijau pernikahan dini dari agama itu sebagai sesuatu yang tak bisa ditawar, atau menganggapnya sebagai suatu kewajiban, sehingga jika pemerintah menentukan batas minimal usia menikah, kita menganggap seakan-akan itu adalah kebijakan yang bertentangan dengan syariat. Padahal menikah itu sendiri hukum asalnya bukan suatu kewajiban.
Sementara kita tahu, pemerintah menetapkan batas minimal menikah itu dengan berbagai pertimbangan, antara lain menurut para dokter, perempuan yang terlalu muda rahimnya belum siap bagi terjadinya proses reproduksi, sehingga jika dipaksakan, ini akan rentan dan bahkan berbahaya bagi ibu dan bayinya sekaligus. Padahal kita tahu, dalam menentukan suatu hukum yang terkait dengan penyakit, obat, dan kesehatan, pendapat dokter merupakan rujukan untuk menetapkan hukum syariat. Di samping, menurut hukum Islam, ketetapan pemerintah itu mengikat, sepanjang tidak bertentangan dengan syariat.
Kedua, dari sisi yang berbeda, pemerintah juga tidak semestinya meminimalisir dampak perceraian, kerusakan rumah tangga, dan kenakalan remaja, hanya dengan cara sederhana seperti sertifikasi dan pembatasan usia pernikahan. Sebab sebenarnya berbagai problem sosial kemasyarakatan itu tidak dimulai dari pernikahan, melainkan dari pondasi yang lebih dalam lagi, seperti pendidikan dan kerangka sosial yang terjadi di masyarakat.
Karena itu, penulis beropini bahwa semestinya peraturan yang ada itu tidak diberlakukan sebagai standard paten yang tak bisa ditawar-tawar lagi, sebab bagaimanapun tidak semua yang usianya di bawah 19 tahun berarti tidak siap menikah, dan tidak semua yang usianya di atas 29 tahun berarti siap menikah. Karena itu peluang untuk negosiasi dan toleransi terhadap peraturan itu harus tetap terbuka, kendati harus melewati jalur pengadilan, sebagaimana yang telah berlaku selama ini.
Moh. Achyat Ahmad/sidogiri