Sejumlah ustadz yang berafiliasi pada aliran Wahabisme seringkali memberikan penjelasan bahwa Allah ada di Arasy, atau duduk di Arasy. Mereka menyangkal keberadaan sesuatu yang tidak bertempat sama sekali, sebagaimana pemahaman Ahlusunah wal-Jamaah. Pernyataan ustadz Wahabi itu tidak jarang memengaruhi pemahaman umat Islam awam, karena tampak lebih logis dan didukung dengan nash al-Quran. Bagaimana cara kita menanggapinya?

Pertama, tidak ada satupun ayat al-Quran atau hadis Nabi yang menjelaskan bahwa Allah bertempat di Arasy atau duduk di Arasy. Kesimpulan itu hanya merupakan pemahaman keliru dari para ustadz Wahabi terhadap makna suatu ayat al-Quran dan hadis. Ayat al-Quran dan hadis dimaksud tidak boleh dipahami sedemikian, sebab bertentangan dengan ayat al-Quran yang muhkamat, yang menjelaskan bahwa Allah tidak sama dengan suatu apapun. Salah satu sifat wajibnya Allah adalah Mukhalafatuhu lil-Hawadits (berbedanya Allah dengan makhluk), dan para ulama Ahlusunah wal-Jamaah mengatakan, “Segala apa yang terlintas dalam pikiranmu tentang Allah, maka Dia tidak seperti itu.”

Kedua, Allah ada tanpa ada permulaan, dan karena itu keberadaan Allah mendahului segala sesuatu yang selain-Nya, termasuk tempat, arah, dan waktu. Karena semua itu adalah makhluk atau ciptaan Allah. Allah sudah ada sebelum Allah menciptakan tempat, waktu, dan arah. Hal itu menunjukkan bahwa Allah tidak membutuhkan semua itu, yakni Allah bersifat Ghani Mutlaq (keberadaan-Nya tidak membutuhkan terhadap suatu apapun). Ketika Allah menciptakan tempat, waktu, dan arah, Allah tetap tidak membutuhkannya, karena semua itu adalah ciptaan (hawadits), dan Dzat yang Qadim (Allah) mustahil bersifat dengan sifat-sifat hawadits (makhluk).

Ketiga, para ustadz Wahabi berkata bahwa “kalau sesuatu dikatakan ada tapi tidak bertempat di manapun maka berarti sesuatu itu sebenarnya tidak ada”, karena mereka mengiaskan Khalik (Pencipta) dengan makhluk (ciptaan). Kias sedemikian jelas cacat secara ilmiah. Wahabi senantiasa berkeyakinan bahwa Tuhan memiliki bentuk fisik, dan karena itu mereka disebut Mujassimah dan Musyabbihah. Selama mereka mempersepsi Allah memiliki bentuk fisik dan bahwa Dia ada keserupaan dengan makhluk, mereka tidak bisa mencerna keberadaan Allah yang tanpa tempat dan tidak diliputi arah.

Keempat, akidah Wahabi tentang Allah berbeda dengan akidah Ahlusunah wal-Jamaah. Penelitian yang serius menunjukkan bahwa akidah mereka serupa dengan filsafat materialisme, yang meyakini setiap yang wujud pasti berupa materi, bahkan materi adalah sumber dari segala sesuatu. Konsep Tuhan versi Wahabi juga ada kesamaan dengan konsep Mazdakisme, yang meyakini Tuhan duduk di kursi-Nya di alam atas, sesuai keadaan Raja Khosrow di alam bawah.

Spread the love