لَا يَعْظُمُ الذَّنْبُ عِنْدَكَ عُظْمَةً تَصُدُّكَ عَنْ حُسْنِ الظَّنِّ بِاللهِ فَإِنَّ مَنْ عَرَفَ رَبَّهُ اِسْتَصْغَرَ فِى جَنْبِ كَرَمِهِ ذَنْبُهُ

Tidaklah besar suatu dosa jika engkau lawan dengan berbaik sangka kepada Allah. Barangsiapa mengenal Tuhannya niscaya dosanya terbilang kecil di sisi kemuliaan-Nya.

Allah menurunkan syariat kepada umat manusia melalui para nabi. Syariat menentukan hukum-hukum yang wajib dipatuhi. Hukum adalah sekumpulan peraturan yang menetapkan suatu perbuatan dan melarang suatu perbuatan. Jika seorang telah melanggar salah satu dari hukum peraturan tersebut maka ia akan dikenakan sanksi atau mendapat tindakan dari undang-undang yang tertera dan tercatat di dalam peraturan itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum syari adalah hukum yang berkaitan dengan perintah dan larangan Allah terhadap manusia. Hukum syari tentu bidangnya lebih lengkap dan luas. Kelengkapan ini timbul karena hukum syari tidak dibuat oleh manusia dan tidak dipengaruhi oleh perbuatan manusia, murni dari Allah. Hukum ini dibuat dan ditentukan oleh syara’ atau agama. Maka tidak ada suatu apa pun dari kehidupan manusia yang tidak diatur oleh agama Islam.

Pembagian hukum syara’ ada enam bagian yaitu wajib, sunah, haram, makruh, mubah, dan khilaful-aula. Barang siapa yang meninggalkan perkara wajib dan mengerjakan larangan Allah maka dia dianggap berdosa. Syarat penerimaan dosa adalah kesadaran dan kerelaan hati dalam perbuatan tersebut. Perbuatan yang menyalahi hukum jika dibuat tanpa kesadaran dan dengan terpaksa maka tidak dianggap dosa. Dosa ditetapkan kepada pelanggaran syariat dan syariat pula diciptakan oleh Allah. Jadi pada hakikatnya dosa adalah ditentukan oleh Allah. Allah yang meletakkan hukum. Syariat boleh berubah, tetapi Allah yang wajib ditaati tidak berubah.

Baca Juga: Hati Pendosa Belum Pasti Mati

Banyak perkara yang diharamkan dalam syariat Nabi Musa dihalalkan dalam syariat Nabi Muhammad. Syariat nabi-nabi terdahulu tidak membatasi bilangan dalam menikah. Sedangkan dalam syariat Nabi Muhammad membatasi jumlah istri yang dinikahi. Jadi, intisari pahala dan dosa bukanlah sesuatu perbuatan itu, tetapi ketaatan dan kedurhakaan kepada Allah yang menjadi pahala dan dosa. Melakukan gerakan sembahyang jika tidak disertai dengan ketaatan kepada Allah tidak dinamakan bersembahyang. Setiap perbuatan bergantung pada niat. Perbuatan yang dilakukan oleh anggota zahir dan niat dilakukan oleh anggota batin yaitu hati rohani. Perbuatan hati itulah yang menentukan pahala atau dosa.

Semua jenis ibadah hanya diakui sebagai ibadah jika hati melakukannya karena Allah. Hati yang menentukan nilai perbuatan, bukan perbuatan yang menjadi penentu nilai. Oleh sebab itu perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum, tidak menjadi besar jika dibandingkan dengan perbuatan hati yang menafikan kesempurnaan Allah dan mengadakan sangkaan buruk terhadap-Nya. Perbuatan dosa yang dilakukan oleh anggota zahir hanya mengotorkan manusia itu sendiri, tetapi sangkaan buruk terhadap Allah mengaburkan kesempurnaan ketuhanan Allah. Ini jauh lebih besar dosannya. Sebab itu dosa yang paling besar dan tidak diampuni adalah syirik, yaitu meruntuhkan keesaan ketuhanan Allah.

Sedangkan lanjutan dari kalam hikmah tersebut membahas tentang makrifah. Kita mengetahui bahwa kewajiban manusia pertama kali adalah makrifah kepada Allah. Sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Ibnu Ruslan dalam kitab az-Zubadnya bahwa kewajiban pertama bagi manusia ialah makrifah atau mengenal Allah. Sebagaimana sitiran nadzam berikut:

“Kewajiban pertama bagi setiap manusia # ialah mengetahui Tuhannya dengan yakin.”

Begitu juga al-Habib Ali Zainal Abidin al-Alawi ketika ditanyakan perihal kewajiban pertama bagi manusia, beliau menjawab makrifah pada Allah. Setelah mengetahui bahwa makrifah merupakan kewajiban pertama bagi setiap manusia, maka kita perlu mengetahui apa itu makrifah; bagaimana ciri-ciri orang yang marifah; dan bagaimana cara kita makrifah pada Allah.

Baca Juga: Bagaimana Cara Terbaik Berlindung Kepada Allah?

Secara etimologi, kata “makrifah” searti dengan ilmu: yaitu mengetahui atau mengenal. Namun, Syaikhul Islam Ibrahim al-Baijuri dalam kitab Tahqîqul-Maqâm ‘Alâ Kifâyatil-Awwâm, menegaskan bahwa lafadz ilmu lebih umum dari pada makrifah.

Adapun alasan mengapa makrifah menjadi kewajiban pertama bagi manusia untuk diketahui, kita merujuk pada firman Allah dalam QS adz-Dzâriyât : 56 (artinya),

“Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk beribadah kepadaku.”

Dikarenakan manusia diciptakan untuk beribadah, maka harus tahu kepada siapa dia menyembah. Karena sangat tidak logis, apabila ada seorang hamba beribadah, tetapi tidak mengetahui pada Dzat yang ia sembah. Sama halnya dengan seorang budak yang melaksanakan perintah majikannya, tetapi dia tidak mengetahui siapa majikannya tersebut.

Ahli makrifat melihat kecilnya perbuatan dosa jika dibandingkan dengan pengakuan dirinya ada kuasa menciptakan sesuatu perbuatan. Bagi mereka, selagi mereka melihat dirinya melakukan amalan maka di situlah amalan mereka mengandung dosa. Perhatian kepada diri menghalangi perhatian kepada Allah. Orang arif mengembalikan segala perkara kepada Tuhan. Mereka melihat diri mereka tidak melakukan kejahatan karena Allah menjaga dan melindungi mereka dari kejahatan. Mereka melihat diri mereka melakukan kebaikan karena Allah mengaruniakan kebaikan itu kepada mereka. Tidak terlihat lagi dalam mata hati mereka sesuatu apa pun kecuali yang datang dari Allah, kepada Allah, dan beserta Allah.

Spread the love