Berbeda dalam menyikapi sesuatu merupakan keniscayaan dalam hidup. Bahkan, itulah yang menyebabkan hidup menjadi hidup dan terus berkembang. Hidup akan terasa hampa tanpa adanya perbedaan dalam menyikapi hidup. Hidup akan statis bila perbedaan dicegal dan ditutup.
Dari perbeaan cara menyikapi sesuatu dalam hidup ini debat muncul dan terus berlangsung. Seakan-akan debat merupakan corong dalam mempertemukan perbedaan dalam hidup, baik perbedaan yang memungkinkan dikompromikan atau perbedaan yang bersifat kontradiktif. Yang jelas, debat adalah salah satu jalan tengah dari perbedaan.
Sangat penting di sini kami tawarkan sebuah buku yang menguraikan debat agar debat itu berjalan secara proporsional. Buku itu adalah al-Jidâl wa al-Mirâ’ karya Muhammad Shalih al-Minajjat. Karena tidak dapat dipungkiri, bahwa konotasi debat itu memang cenderung negatif dan jarang akan menuai ending yang baik.
Baca Juga: Pilihan Tepat Buat Pemula
Buku setebal 64 hlm ini menyimpulkan bahwa debat itu sudah merupakan watak manusia yang sulit untuk dihilangkan. Oleh karena itu, jangan sampai dalam melakukan debat semata-mata memaksakan pendapat sendiri. Dalam berdebat kita harus mengedepankan tujuan mencari kebenaran. Bukan yang lain.
Untuk memperjelas masalah ini, buku yang ditulis Muhammad Shalih al-Minajjat ini menyuguhkan beberapa kisah para ulama. Di antara cerita itu, ada seorang ulama yang berdebat namun malah menginginkan pendapat lawan debatnya yang dijadikan kesimpulan. Adalah Imam asy-Syafii yang berdebat dengan salah seorang alim. Dalam debat itu berakhir dengan pendapat yang tidak bisa dikompromikan. Maka, kesimpulan masalahnya pun harus dua. Ajaibnya, ternyata masing-masing dari keduanya menginginkan pendapat lawan debatnya sebagai kesimpulan akhir.
Yang seperti demikian itu sudah biasa di kalangan ulama salaf. Dalam kitab Tarîkh Damasq disebutkan, bahwa dalam berdebat Imam asy-Syafii tidak pernah memaksakan pendapatnya sebagai akhir kesimpulan. Imam asy-Syafii berkata:
مَا نَاظَرْتُ أَحَدًا قَطُّ إِلَّا عَلَى النَّصِيْحَةِ وَمَا نَاظَرْتُ أَحَدًا فَأَحْبَبْتُ أَنْ يُخْطِئَ
” Aku tidak pernah mendebat seseorang kecuali semata-mata menyebar kebaikan. Aku tidak pernah mendebat seseorang lalu aku menginginkan orang itu salah”
Kata-kata ini menunjukkan, bahwa debat yang dilakukan oleh Imam asy-Syafii itu semata-mata hanya ingin mencari kebenaran, baik kebenaran itu bermula dari dia sendiri atau dari orang lain. Tidak lebih!
Baca Juga: Ancaman Nyata Gerakan Anti-Madzhab
Dalam buku al-Jidâl wa al-Mirâ’ ini juga diuraikan kriteria debat yang dilegitimasi dalam agama dan yang tidak. Latar belakang perdebatan juga diurai dalam buku ini. di antaranya: menganggap dirinya hebat, tertipu dengan diri sendiri dan sifat sombong yang tertanam dalam dadanya.
Guna melengkapi sajiannya, dalam buku yang ditulis oleh Muhammad Shalih al-Minajjat ini juga jelaskan bahaya debat yang mengedepankan ego pribadi. Di antaranya, sulit menerima kebaikan dan beramal baik. Dalam hal ini, buku ini mengutip al-Auza’i, “Ketika Allah menghendaki kejelekan pada suatu kaum maka Allah menjadikan mereka cenderung pada perdebatan tapi tidak suka beramal.”.
Nilai plus dari buku ini setidaknya adalah, dalam setiap pembahasannya buku ini mampu mengaitkan dengan sebuah ayat dan menyajikan kesimpulannya dengan sangat apik dan sederhana. Sehingga, para pembaca pun dengan sangat mudah memahami dan menyimpulkan. Terlebih lagi, cara penyampaian buku sangat mudah tanpa harus mengerutkan dahi.
Pada intinya, buku setebal 64 hlm ini sangat menganjurkan para pembaca untuk tidak terlibat dalam sebuah perdebatan. Karena walau bagaimanapun, menurut buku ini, debat itu kurang baik dan sering menjebak seseorang pada debat kusir yang akan menyisakan ketidak-akuran dan permusuhan. Dalam hal ini, buku setebal 64 hlm ini mengitip hadis berikut:
مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوْا عَلَيْهِ إِلَّا أُوْتُوْا الجَدَلَ
” Tidaklah sesat suatu kaum setelah mendapat petunjuk kecuali mereka cenderung berdebat” (HR. At-Tirmidzi)
Achmad Sudaisi/sidogiri