Sudah umum di tengan masyarakat kita, pendanaan masjid dikumpulkan melalui partisipasi masyarakat dengan bentuk sumbangan. Penarikannya cukup beragam, mulai dari penarikan di jalan-jalan, pengedaran kotak amal, hingga pengajuan proposal. Dalam penarikan sumbangan juga cukup beragam, tapi rata-rata untuk pembangunan masjid. Untuk kotak amal jariyah yang biasanya ada di serambi masjid, biasanya untuk kemaslatan masjid.
Kemudian, setelah dana terkumpul, pengurus masjid akan mempergunakannya untuk kepentingan masjid. Ada yang memang untuk fisik bangunan masjid, jika saat itu sedang dilakukan pembangunan, atau untuk acara-acara di masjid, semisal maulidan, isra’ mikraj dan hari-hari besar Islam lainnya.
Penyelenggaraan acara peringatan seperti di atas umum di tengah masyarakat, khususnya di perkotaan. Acara semacam maulidan, nuzulul-Quran dan bahkan khitan massal diselenggarakan di masjid. Pendanannya dari uang kas masjid, baik untuk konsumsi, akomodasi hingga bisyarah muballigh yang diundang. Sekarang bagaimana pandangan fikih dengan penyelenggaraan acara seperti itu?
Sebelum membahas hal tersebut, perlu menilik pembagian dana masjid. Ada tiga kelompok dana masjid, sesuai peruntukannya. Pertama, Dana pembangungan (‘imarah). Dana pembangunan
didapat dari sumbangan, sedekah atau pemberian, penghasilan dari benda wakaf yang semuanya memang untuk pembangunan. Penggunaanya, dana pembangunan harus digunakan untuk fisik masjid (‘ainul-waqfi), seperti tembok, pengecatan, genteng dan lain sebagainya yang terangkai dalam fisik masjid.
Kedua, dana maslahah. Dana yang tidak dalam bentuk fisik masjid, melainkan hal yang berkaitan untuk kemaslahatan masjid. Dana maslahah didapat dari sumbangan, penghasilan dari harta wakaf, pengembangan usaha, dan penjualan harga masjid (milkul-masjid) yang semuanya memang diperuntukkan maslahah masjid. Penggunaannya, bisa dilarikan ke bentuk fisik (‘Imarah) dan bentuk lain yang bersifat maslahah untuk pengembangan masjid, seperti gaji muadzin dan imam, serta pembayaran rekening listrik.
Ketiga, dana umum (muthlak). Dana yang diterima melalui pendapatan seperti di atas, tetapi tidak ada penentuan untuk kedua bagian di atas, baik ‘imarah maupun maslahah. Penggunaannya bisa untuk kedua tujuan di atas; fisik bangunan atau maslahah.
Dengan demikian, penggunaan dana imarah memiliki ketentuan hukum yang spesifik. Ketika sudah ada penentuan bahwa dana tersebut untuk pembangunan, baik melalui sumbangan atau pewakafan, penggunaannya harus dilarikan pada bentuk fisik bangunan. Tidak boleh untuk maslahah. Dana pembangunan tidak boleh digunakan untuk membayar rekening masjid, bisyarah muadzdzin dan imam.
Sebaliknya, dana maslahah bisa digunakan untuk pembangunan karena ‘imarah memiliki tujuan asli dari fungsi masjid. Sumbangan bersifat maslahah, bisa digunakan untuk fisik bangunan masjid atau untuk keperluan lain yang berkaitan dengan kemaslatan masjid. Hal yang senada juga ketika sumbangan diterima dalam bentuk muthlak. Lebih jelasnya, berikut ta’bir dalam Hasyiah al-Qulyubi (II/108):
)فروع) عمارة المسجد هو البناء والترميم والتجصيص والسلالم والسورى والمكانس والبواري للتظليل أو لمنع صب الماء لتدفعه لنحو شارع والمشاحى وأجرة القيم ومصالحه تشمل ذلك وماء لمؤذن وإمام ودهن للسراج وقنادل لذلك
“Dana imarah masjid adalah untuk pembangunan, perbaikan/reparasi, pengapuran, pembuatan tangga, pemagaran keliling, penyapuan, talang untuk mengiup atau untuk mencegah tumpahan air yang bisa mengena orang yang lewat atau yang berjalan, dan upah tukang, sedangkan dana maslahah masjid mencakup hal tersebut, air untuk muadzin dan imam, dan minyak untuk lampu dan lentera.
Lebih jauh al-Qulyubi juga menjelaskan mekanisme penggunaan dana-dana tersebut:
ولا يجوز صرف ما وقف لشيء من ذلك على غيره منه ولا يجوز سراج لا نفع فيه ولو عموما وجوز ابن عبد السلام احتراما له ودفع الوخشة بالظلمة. اهـ.
“Tidak boleh penggunaan benda wakaf tidak sesuai dengan peruntukannya. Juga tidak boleh dana masjid untuk pemasangan lampu yang tidak memiliki manfaat pada masjid, meski bersifat umum, (tapi), Izzudin ibnu ‘Abdis Salam memperbolehkannya dengan tujuan memuliakan masjid dan agar tidak terlihat seram disebabkan gelap.”
Artinya, dana masjid dipergunakan sesuai dengan peruntutakannya. Peruntukan tersebut bisa diketahui saat permintaan dan penerimaan sumbangan. Penyumbang bertujuan untuk apa terkait dengan dana yang diserahkan; untuk pembangunan fisik masjid atau untuk kemaslatahan?
Pada biasanya, untuk pendanaan acara seperti itu diambil dari dua sumber; dana sumbangan khusus untuk acara tersebut dan diambil dari dana masjid. Artinya, menjelang acara ada penarikan sumbangan terhadap masyarakat untuk acara tersebut atau diambilkan dari dana masjid yang dinilai banyak, atau dibagi dua.
Untuk pendanaan yang diambil dari masyarakat untuk acara tersebut, tidak menjadi persoalan, karena sejatinya bukan milik masjid, melainkan dana untuk penyelenggaraan acara. Asalkan sesuai dengan peruntukan yang ditentukan oleh penyumbang, tidak menjadi masalah. Akan tetapi, bagaimana jika diambil dari dana masjid, seperti yang terkumpul dari kotak amal atau kaleng yang dijalankan?
Melihat dari acaranya, sudah bisa dinilai klasifikasinya yang bersifat maslahah, bukan ‘imarah. Dengan demikian, dana yang dipergunakan jangan sampai diambil dari dana sumbangan imarah atau pembangunan. Hanya kemudian, untuk memasukkan acara dimaksud sebagai bentuk maslahah yang kembali pada masjid butuh pertimbangan lebih jauh. Untuk itu, nazhir harus betul-betul mempertimbangkan bahwa kegiatan tersebut mengandung maslahah yang di antaranya mendatangkan banyak orang yang shalat.
Pertimbangan lainnya adalah ketersediaan dana masjid, apakah sudah melebihi kebutuhan masjid yang lebih penting (al-aham). Artinya, dari fisik masjid hingga maslahah lainnya apakah sudah terpenuhi? Penggunaan dana masjid untuk kegiatan itu juga sewajarnya. Untuk hal ini, al-‘Allamah Salim bin Sa’id pernah ditanyakan soal penggunaan masjid untuk kegiatan semacam itu. Jawaban tertuang dalam Fath al-Ilah al-Mannan (I/150151) sebagai berikut:
الحمد لله والله الموافق للصواب، الموقوف على مصالح المسجد كما في مسئلة السؤال يجوز الصرف منه في البناء والتجصيص المحكم، وفي أجرة القيم والمؤذن والإمام والحصر والدهن، وكذا فيما يرغب المصلين فيه من نحو قهوة وبخور يقدم من ذلك الأهم فالأهم، وعليه فيجوز الصرف في مسئلة السؤال لما ذكره السائل، إذا فضل ذلك عن عمارته ولم يكن ثم ما هو أهم منه من المصالح.
Poin dari redaksi di atas adalah penyamaan hukum penyuguhan kopi untuk jamaah agar senang berjamaah di masjid tersebut dengan mempertimbangkan al-aham fal-aham. Mana yang lebih penting, itulah yang harus didahulukan. Termasuk juga mempertimbangkan keberadaan dana maslahah sudah melebihi kebutuhan imarah dan yang lebih penting dari beragam maslahah yang dimiliki masjid. Dalam kitab Bughiyatul-Mustarsyidin juga disampaikan demikian:
قال في بغية المسترشدين نقلا عن العلامة الحبيب عبد الله بن حسين بلفقيه، ويجوز بل يندب للقيم أن يفعل ما يعتاد للمسجد من قهوة ودخون وغيرهما مما يرغب نحو المصلين، وإن لم يعتد قبل ذلك إذا زاد على عمارته إهــــ وفي فتاوي باسودان، ما وقف للمصالح تدخل فيه العمارة وغيرها مما يدعو إلى الجماعة كالقهوة والدخون، اهـــ وفي مختصر فتاوى بامخزمة، الموقوف لمصالح المسجد يجب فيه تقديم الأهم فالأهم. اهــــــ
Pada intinya, penggunaan dana dari uang yang terkumpul untuk acara ceremony, seperti mauludan dan rajabiyah dikembalikan kepada orang yang memberikan dana. Bila pemberiannya tersebut di-ta’yin, ditentukan secara jelas untuk acara tersebut, maka dipergunakan sesuai peruntukannya. Jika diambil dari kotak amal atau kaleng, maka penyelenggaraan harus mempertimbangan maslahah, kelebihan dana untuk fisik masjid dan kepentingan lainnya, dan dalam bentuk wajar.
Untuk itu, sebaiknya, untuk pagelaran efen-efen keislaman semacam maulid dan perayaan hari besar Islam, dananya diambil secara independen, bukan dari kas masjid. Masyarakat digalang sumbangan khusus untuk acara dimaksud. Dengan hal seperti ini, dinilai lebih aman karena untuk penggunaan dana masjid harus dilakukan secara hati-hati sesuai dengan ketentuan di atas. Wallahua’lam.
Baca juga: Inspirasi Amar Makruf Nahi Mungkar
Baca juga: Mengubah Fisik Musholla Jadi Masjid
Baca juga: Memelihara Burung Berkicau