Amar makruf nahi mungkar adalah ajaran sahih yang harus diterapkan oleh segenap Muslim. Setidaknya, hal tersebut tercermin dari hadis riwayat Imam Muslim yang cukup populer, bahwa seseorang yang melihat kemungkaran, maka dia berkewajiban mencegah atau menghilangkannya dengan tangan (perbuatan). Bila tidak mampu, maka dengan lisan (ucapan). Bila tidak mampu, maka dengan hati. Dan, ini adalah iman yang paling rendah (adh’aful-îmân).
Bagi setiap Muslim ada dua tugas yang harus sama-sama dilakukan dan tidak saling menafikan. Tugas pertama adalah memperbaiki diri sendiri; sedangkan tugas kedua adalah memperbaiki orang lain (amar makruf nahi mungkar). Tugas memperbaiki diri sendiri memang jauh lebih penting dan lebih mendasar daripada tugas memperbaiki orang lain, namun bukan berarti seseorang dilarang melakukan upaya memperbaiki orang lain jika ia belum memperbaiki diri sendiri. Dan hal inilah yang belakangan menghambat seseorang untuk melakukan amar makruf nahi mungkar dengan beralasan “belum pantas”; sebagian kita merasa was-was menerapkan amar makruf nahi mungkar karena merasa diri masih belum baik.
Memang ada beberapa dalil yang mengecam orang yang melakukan amar makruf nahi mungkar jika dia sendiri tidak melaksanakan. Mengenai hal itu perlu diketahui, bahwa kecaman tersebut ditujukan kepada perbuatan buruknya, bukan kepada amar makruf nahi mungkarnya. Tidak ada ulama yang menyatakan bahwa orang yang akan mencegah kemungkaran, harus terlebih dahulu bersih dari kemungkaran. Dalam Ihya ‘Ulumiddîn Imam al-Ghazali memberi gambaran bahwa orang jahat sekalipun tetap memiliki tanggungjawab untuk melakukan nahi mungkar, kendatipun kemungkaran yang ia lakukan jauh lebih besar dibanding kemungkaran orang yang hendak ia tegur. Said bin Jubair mengatakan, “Kalau yang bisa melakukan amar ma’ruf nahi mungkar hanyalah orang yang tidak pernah melakukan kesalahan, maka tidak akan ada orang yang menyuruh pada kebaikan (atau melarang keburukan).”
Baca juga: Inspirasi Melawan nafsu
Namun demikian, alangkah baiknya jika subjek amar makruf nahi mungkar terlebih dahulu memperbaiki diri sendiri sebelum memperbaiki orang lain. “Lidah perilaku jauh lebih mengena daripada lidah mulut,” begitu ditegaskan dalam kalam hikmah Arab. Dalam bahasa Ibnu Hazm, seseorang itu wajib melakukan amar makruf, sekaligus amal makruf. Orang yang bisa memenuhi keduanya, dia berada dalam posisi ideal. Sedangkan orang yang mengajarkan kebaikan, tapi tidak mengamalkannya, maka dia mendapat nilai positif dalam hal pengajarannya, dan mendapat nilai negatif dalam hal kelalaiannya terhadap amal.
Hal yang paling mendasar dalam amaliah amar makruf nahi mungkar adalah ketulusan dan kekuatan hati. Faktor hati memiliki peluang yang teramat penting untuk membuka pintu masuk ke dalam hati. Syekh Abdul Qadir al-Jilani menyatakan, “Janganlah engkau menolak kemungkaran dengan nafsumu, tapi ingkarilah dengan imanmu. Imanlah yang mengingkari, lalu keyakinan yang membuat kemungkaran itu hilang atau pergi.”
Dalam kitab Lathâ’iful-Ma’ârif Syekh Ibnu Rajab menyebutkan, “Sebuah nasehat tidak akan pernah memberikan manfaat kecuali kalau benar-benar keluar dari hati. Karena, sesuatu yang keluar dari hati akan masuk ke dalam hati. Sedangkan sesuatu yang keluar dari mulut akan masuk melalui telinga lalu keluar dari telinga yang lain.” Yang dimaksud hati di sini, setidaknya, ada dua hal, yaitu ketulusan tujuan dan kesucian hati dari berbagai sifat tercela. Setiap manusia merasakan bahwa kondisi hati sangat berpengaruh terhadap kondisi tubuh, sebagaimana kondisi tubuh juga dapat berpengaruh terhadap perasaan hati. Kesucian hati menyebabkan sebuah kata-kata memiliki sentuhan yang tajam. Dan, secara psikologis, manusia memang cenderung membuka pintu hatinya untuk kata atau sikap yang muncul dari orang yang dia yakini baik.
Amar makruf nahi mungkar yang paling ideal adalah apa yang dilakukan oleh para nabi. Mereka maksum dari dosa dan keburukan lahir-batin. Mereka telah memberikan keteladanan yang benar-benar sempurna. Mereka menggunakan strategi dakwah yang luar biasa. Mereka tidak pernah sekalipun berkhianat, atau melanggar apa yang mereka sampaikan kepada umatnya. Tapi ternyata, umat mereka masih banyak yang membangkang, bahkan sebagian besar.
Maka, dalam amar makruf nahi mungkar haruslah senantiasa ditanamkan bahwa yang kita lakukan hanyalah perantara untuk mendapatkan hidayah Allah. Apapun reaksi dari objek dakwah tidak akan mempengaruhi semangat dakwah yang dijalani. Itulah rahasia yang menyebabkan Nabi Nuh bertahan sampai 900 tahun menerima penganiayaan kaumnya, sampai Allah sendiri yang menyatakan bahwa waktu mereka sudah berakhir.
M. Romzi Khalik/sidogiri
Baca juga: Perayaan Natal untuk Siapa?