Di antara pemikiran kelompok liberal yang paling khas adalah menilai persoalan-persoalan keagamaan dengan akal kita. Karena menurut mereka beragama itu harus rasional, dan agama itu juga hadir untuk memudahkan urusan umat manusia. Bukan untuk membikin urusan jadi ribet. Karena itu sebagian mereka mengatakan, “Jika MUI mengeluarkan suatu fatwa, maka Anda cukup mencernanya dengan akal Anda. Jika menurut akal Anda fatwa itu bagus dan memudahkan, maka ikuti. Jika menurut akal Anda itu justru bikin ribet, maka tinggalkan fatwa itu.” Bagaimana kita menanggapi ide semacam itu?

Jawaban

Dengan membaca secara cermat pada deskripsi pemikiran liberal di atas, maka setidaknya kita dapati beberapa kesalahan mendasar. Pertama, mereka keliru dalam memposisikan akal dalam agama. Karena tampak jika mereka menjadikan akal sebagai sumber kebenaran yang bisa mengeliminasi ajaran dan hukum agama. Ide seperti ini jelas tidak benar dalam pandangan Islam. Karena dalam Islam memang tidak ada pertentangan antara akal dan agama, akan tetapi akal berfungsi untuk memahami ajaran agama, dan untuk menemukan petunjuk yang dimaksud oleh agama. Bukan malah difungsikan untuk membuat hukum sendiri, atau menolak apa yang sudah ditetapkan oleh agama secara nash qath’i.

Baca Juga: Menegenal Liberalisme: Berawal Dari Sejarah Yang Salah

Kekeliruan kedua, pemikiran liberal di atas menyerahkan penilaian baik dan tidak baik, layak dan tidak layak, kepada akal masing-masing orang. Padahal kita tahu akal setiap orang sangat beragam, baik tingkat kecerdasannya maupun tingkat pemahamannya terhadap syariat. Bahkan mayoritas orang justru tergolong awam dalam urusan agama, lalu bagaimana bisa mereka dipersilakan untuk memikirkan hukum apa yang layak dan yang tidak untuk mereka ikuti? Ide ini sudah pasti merusak tatanan agama secara fundamental. Sebab dalam agama, seharusnya orang awam itu bertaklid kepada para ulama dalam urusan agama, bukan malah memikirkan sendiri hukum-hukum dalam urusan agama.

Benar, dalam masalah keimanan, yakni untuk tahu kepada Allah, mereka sebaiknya menggunakan akalnya sendiri untuk sampai pada keyakinan yang sudah pasti itu. Tujuannya agar keyakinan mereka menjadi kuat dan tak mudah goyah oleh berbagai syubhat atau pemikiran sesat. Adapun dalam masalah-masalah hukum, persoalannya berbeda, karena dalil-dalil dalam persoalan Fikih ini kebanyakan bersifat zhanni, yang hanya bisa dijangkau dan digali oleh orang-orang tertentu, seperti para mujtahid dan para ahli Fikih level di bawahnya. Sedangkan orang awam hanya diminta untuk merujuk kepada mereka yang sudah ahli dalam hal ini.

Baca Juga: Islam Liberal Di Balik Dolar Washington

Ketiga, mereka keliru dalam mempersepsikan kemudahan dalam beragama. Mereka mengira maksud dari mudah itu adalah menjalani ajaran agama secara suka-suka, atau sesuka hati dan sesuai dengan kehendak pribadi. Padahal jika demikian, maka justru yang terjadi adalah kekacauan dan bukan keteraturan. Padahal agama adalah seperangkat aturan. Jika masing-masing boleh menentukan aturan sesuai dengan apa yang mereka inginkan, maka itu sama dengan tidak adanya aturan.

Maksud dari agama yang memudahkan ialah, bahwa agama Islam ini hadir dengan sejumlah dispensasi. Misalnya shalat itu wajib dalam keadaan bagaimanapun, kapan dan di manapun. Namun, orang yang tak mampu berdiri, maka dia boleh shalat dengan duduk, jika tidak bisa duduk, maka bisa sambil rebahan, dan begitu seterusnya. Di samping itu, kemudahan dalam agama juga mewujud dalam perbedaan pendapat di kalangan ulama, sehingga setiap orang bisa memilih pendapat yang lebih sesuai keadaan mereka.

Spread the love