Beberapa waktu terakhir term Islam moderat kembali menjadi perbincangan. Hal ini dipicu sebab adanya sejumlah perilaku umat Muslim yang dianggap intoleran. Umat Muslim dituding terlalu kaku dalam memahami ajaran Islam sehingga tidak moderat terhadap agama lain. Umat Muslim juga dituntut belajar dengan tradisi moderat yang ada di Barat? Bagaimana sebenarnya memahami Islam moderat dengan benar? Berikut pandangan Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, MA, M.Phil saat diwawancarai oleh Ahmad Rizqon dari Sidogri Media.
Islam moderat menurut ustaz?
Kata moderat itu bukan berasal dari Islam. Islam mempunyai terminologi sendiri tentang sikap moderat, yaitu wasathiyah. Artinya pun juga berbeda. Perbedaannya saya sadari ketika saya diminta presentasi mengenai Islam moderat di Tokyo. Pada waktu itu saya bertemu dengan seorang peneliti dari Rand Corporation dari Amerika Serikat bernama Angel Rabasa. Saya tanya pada dia, apa yang Anda maksud moderat? Dia menjawab, moderat ialah orang yang bisa menerima humanisme, demokrasi, feminisme, pluralisme dan hal-hal yang berasal dari luar Islam. Dari pendapat Rabasa itu saya sadar bahwa ternyata istilah moderat yang kita maksud itu bukan yang dia maksud.
Sekarang adalah zaman di mana umat Islam sedang berebut istilah. Yaitu situasi di mana umat Islam dipaksa menerima terminologi-terminologi baru, istilah baru, stigma baru yang datang dari luar Islam. Selain istilah moderat, kita juga dipaksa menerima stigma radikal sehingga menempel menjadi “Islam Radikal”. Kriteria radikal pun juga tidak jelas, dan hanya untuk mendeteksi siapa-siapa yang tidak moderat. Maka istilah moderat dan radikal menjadi dua kata yang bertentangan. “Kalau Anda tidak moderat, berarti Anda radikal”. Begitu pula “Jika Anda tidak radikal, berarti Anda moderat”.
Baca Juga: Memahami Makna “Moderat Dalam Islam
Dari sini kita bisa lihat bahwa dua istilah radikal dan moderat bukan bahasa Islam. Tapi stigma yang menempel pada diri umat Islam dengan melalui berbagai narasi, peristiwa dan kasus yang sengaja dibuat agar dapat tepat digunakan untuk umat Islam. Istilah itu terus digulirkan dan diarahkan pada umat Islam hingga akhirnya stigma itu berhasil dan hanya umat Islam yang bisa disebut radikal.
Akhirnya, mindset umat Islam, termasuk pejabat, politisi serta wartawan seperti sudah terprogram untuk menerima istilah asing di luar Indonesia dan Islam. Buktinya kini mereka dengan lantang menggunakan istilah dan stigma dari Barat itu tanpa mempertanyakan konsep di balik istilah tersebut.
Bagaimana memahami makna moderat?
Dalam memahami makna moderat sesuai pengertian Islam, maka kita harus kembali pada terminologi dulu. Istilah moderat dalam Islam itu disebut wasathiyah (ummatan wasathan). Kata “wasathan” rujukannya adalah umat. Berarti, umat selain Islam tidak wasathan, tapi disebut dengan ghuluw. Ummatan wasathan kaitannya dengan kehidupan keberagamaan yang di dalamnya mencakup ritual, sosial, institusional. Artinya cara ibadah umat Islam itu sederhana, rutin dan tidak mahal. Dalam kehidupan sosial umat Islam itu inklusif menerima semua ras, menyamakan status sosial, tidak ekstrim melupakan kehidupan dunia dan meninggalkan urusan akhirat.
Yang disebut moderat dalam konteks umat Islam di Indonesia, seperti yang saya presentasikan di Tokyo, adalah kelompok mayoritas umat Islam yang terdiri dari Nahdlatul Ulama, Muhamadiyah, Persis dan lembaga-lembaga pesantren di Indonesia. Ormas-ormas ini telah bertahun-tahun menerima pluralitas dan tidak pernah konflik dengan non-Muslim. Sedangkan yang tidak moderat adalah kelompok Islam liberal dan sekuler. Kelompok ini tidak moderat karena memusuhi orang-orang atau kelompok yang tidak menerima pemikiran liberal. Jadi, yang moderat itu justru yang tidak liberal, karena yang liberal sangat ekstrim dalam membela pemikiran liberalnya.
Apa betul ada perebutan istilah dan wacana di sini?
Betul. Artinya sekarang ini orang di luar Islam ingin memasukkan konsep-konsep mereka melalui istilah-istilah asing ke dalam wacana pemikiran Islam. Tujuannya, agar umat Islam tidak lagi menggunakan khazanah pemikirannya sendiri sebagai peradaban yang kuat.
Ketika umat Islam berbicara makna keadilan, banyak orang Islam yang terpengaruh oleh konsep justice di Barat sehingga tidak lagi merujuk kepada keadilan dalam Islam. Ketika umat Islam harus mengemukakan konsep bernegara dalam Islam, para politisi Muslim serta merta mengemukakan sistem demokrasi. Padahal sistem demokrasi sendiri banyak ragamnya, dan di Indonesia sendiri dasar sistem bernegaranya bukan demokrasi tapi permusyawaratan.
Inilah kekurangan kita. Istilah-istilah yang datang dari luar seakan-akan baru bagi kita dan kita bingung bagaimana menyikapinya, sehingga hanyut. Padahal kita mempunyai khazanah yang luar biasa dan itu ada dalam turats.
Untuk menghadapi tantangan ini umat Islam perlu kembali pada tradisi. Tradisi dalam pengertian kita adalah apa-apa yang ada dalam al-Quran dan Sunah, apa-apa yang difikirkan, dicetuskan, diteorikan dan dikonsepsikan oleh para ulama. Dari pemikiran mereka lahirlah ilmu Kalam, ilmu Hadis, ilmu Fikih, Tafsir, Nahwu, Sharaf dan lain sebagainya. Di dalam ilmu-ilmu itu terdapat pula berbagai konsep dan teori yang kemudian berkembang menjadi peradaban ilmu. Mereka melahirkan konsep keadilan, konsep ukhuwah, konsep wasathiyah, konsep adab, tazkiyah, dan ribuan konsep lainnya.
Baca Juga: Siapakah Moderat Dan Radikal Itu (?)
Selain kembali kepada tradisi, kita juga harus bisa merespon tantangan kontemporer yang berupa ghazwul-fikr dan perebutan wacana ini secara kritis. Yaitu dengan memahami apa sebenarnya di balik wacana yang dipropagandakan Barat. Kalau kita tidak faham itu, kita tidak akan bisa meresponnya.
Tolok ukur dari “Islam moderat” sendiri?
Sebaiknya kita pakai istilah wasathiyat al-Islam, bukan Islam wasatiyah. Dalam bahasa mereka kita ubah menjadi “moderasi Islam”. Mestinya Islam diletakkan atau dihadapkan dengan umat agama lain. Tapi dalam konteks keumatan masa kini ada dua tolok ukur moderasi: pertama moderat dalam pengertian ibadah yang berkaitan dengan hubungan internal antar umat Islam. Kedua, moderat dalam masalah hubungan kita dengan non-Muslim.
Untuk yang pertama, ukuran moderasi adalah tidak ghuluw dan tidak berlebihan. Tidak fanatik terhadap mazhab dan menyalahkan mazhab lain. Padahal sebenarnya Madzahibul-Arba’ah itu berbeda hanya dalam masalah furu’iyah. Jangan sampai masalah furu’iyah dibawa pada masalah ushul. Untuk tolok ukur kedua, kita tidak serta merta menolak bergaul dan bermuamalah dengan non-Muslim. Islam tidak mengajarkan kita untuk membenci orang kafir, tapi membenci kekufurannya. Sejarah membuktikan bahwa umat Islam hidup damai dengan Kristen dan Yahudi di Palestina dan di Spanyol, dengan orang Hindu di India, dengan Kristen Qoptic di Mesir dan seterusnya. Bandingkan toleransi dan sikap moderat non-Muslim terhadap Islam di Kashmir, di Rohingnya, di Sinxiang, di India dan di beberapa negara-negara Barat.
Pesan ustaz
Di zaman ghazwul-fikr seperti sekarang ini, apa yang perlu dilakukan oleh umat Islam khususnya generasi muda Muslim yang akan lahir dari pendidikan pesantren: pertama kembali mendalami tradisi kita, kalau bisa tradisi ini diperluas dan diperdalam dalam bentuk pemahaman terhadap konsep dan teori-teori tradisonal. Kedua, generasi muda Muslim perlu memahami isu-isu kontemporer, isu-isu yang dibawa oleh peradaban Barat atau oleh peradaban manapun. Sehingga dengan berbekal tradisi, kita bisa merespon istilah, konsep, teori, dan stigma dari luar Islam dengan lebih cerdas dan argumentatif. Dalam masalah muamalah kita berpegang pada Maqâsidus-Syariah dan dalam masalah ideology kita bersandar pada aqidah dan pandangan hidup Islam (Worldview Islam).