Memang tidak ada kepastian dari Rasulullah sehubungan dengan waktu datangnya Lailatul Qadar. Dalam beberapa hadis, Rasulullah dengan jelas mengatakan bahwa beliau pernah bermimpi tentang kepastian waktunya, tetapi malah beliau lupa, sebagaimana hadis berikut :
عَنْ أبِيْ سَلَمَةَ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا سَعِيْدَ وَكَانَ لِيْ صَدِيْقًا فَقَالَ اِعْتَكَفْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ العَشْرَ الأَوْسَطَ مِنْ رَمَضَانَ فَخَرَجَ صَبِيْحَةً عِشْرِيْنَ فَخَطَبَنَا وَقَالَ إِنِّي أُرِيْتُ لَيْلَةَ القَدْرِ ثُمَّ أُنْسِيْتُهَا فَالْتَمِسُوْهَا فِيْ العَشْرِ الأَوَاخِرِ فِيْ الوِتْرِ
“Diriwayatkan dari Abi Salamah, ia berkata: “Saya bertanya kepada Abu Sa’id yang merupakan teman akrab saya”. Ia pun berkata: “Kami beriktikaf bersama Nabi pada 10 malam pertengahan bulan Ramadan, kemudian beliau keluar rumah pada pagi tanggal 20, sembari berkata: “Sesungguhnya aku bermimpi Lailatul Qadar lalu aku dilupakan mengenai (kepastian) hal itu, maka carilah ia pada 10 malam terakhir (bulan Ramadan) pada malam yang ganjil.” (HR. Imam al-Bukhari).
Ada beberapa manfaat dan hikmah terkait lupanya Rasulullah pada kepastian malam mulia itu, di antaranya agar kita senantiasa bersungguh-sungguh beribadah selama bulan Ramadan, mulai awal sampai akhir. Lebih-lebih pada 10 malam terakhir yang memang dianjurkan oleh Nabi.
Karena itulah para ulama berusaha sekuat tenaga guna menemukan malam bertabur bintang itu. Kemudian para ulama memberikan rumusan berdasarkan pengalaman panjang dalam meraih Lailatul Qadar. Imam al-Ghazali termasuk salah satu ulama yang serius mengkaji hal ini. Akhirnya, beliau membuat rumus-rumus guna mengenali datangnya malam mulia itu.
Menurutnya, cara untuk mengetahui Lailatul Qadar bisa dilihat dari permulaan malam pertama bulan puasa. Jika pertama Ramadan pada malam Ahad atau Rabu, maka malam mulia itu tepat pada tanggal 29 Ramadan. Jika jatuh pada malam Senin, maka Lailatul Qadar pada malam 21 Ramadan. Apabila pertama puasa tepat malam Kamis, maka Lailatul Qadar pada 25 Ramadan, jika malam Sabtu, maka Lailatul Qadar pada malam 23 Ramadan dan jika pertama Ramadan pada Selasa dan Jumat, maka malam yang dinanti itu pada 27 Ramadan.
lain halnya dengan Imam Abdurrahman ash-Shafuri. Ia menegaskan bahwa malam mulia itu jatuh pada malam 27 Ramadan, seperti yang ia tuangkan dalam salah satu kitabnya: “Aku lihat dari penulis Kitab at– Tanbih yang berkata: “Lailatul Qadar itu terdiri dari 9 huruf. Dalam surah al-Qadr Allah menyebutnya sebanyak 3 kali. Kemudian 9 itu dikali 3 maka sama dengan 27. Hal ini menunjukkan bahwa Lailatul Qadar jatuh pada malam tanggal 27 Ramadan. Pendapat ini juga digagas oleh Shahabat Ibnu Abbas.”
Namun demikian, kepastian waktu Lailatul Qadar tidak bisa diketahui, ia adalah misteri yang belum terungkap hingga detik ini. Akan tetapi, ada beberapa tanda yang dijelaskan oleh Rasulullah yang bisa dijadikan patokan bahwa malam itu adalah malam Lailatul Qadar. Berikut tanda-tanda yang dimaksud:
BACA JUGA | PERISTIWA-PERISTIWA BERSEJARAH DI BULAN RAMADHAN
Pertama, suasana pagi yang sejuk dan tenteram. Dalam hal ini Ibnu Abbas berkata mengutip sabda Rasulullah: “Lailatul Qadar adalah malam tenteram dan tenang, tidak terlalu panas dan tidak pula terlalu dingin, esok paginya sang surya terbit dengan sinar lemah berwarna kemerahan.”
Kedua, hembusan angin yang tenang dan sepoi-sepoi. Tidak ada badai, tidak ada pula petir maupun guntur. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Jabir bin Abdillah
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : إِنِّي كُنْتُ أُرِيْتُ لَيْلَةَ القَدْرِ ثُمَّ نُسِّيْتُهَا وَهِيَ فِيْ العَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ لَيْلَتِهَا وَهِيَ لَيْلَةٌ طَلْقَةٌ بَلْجَةٌ لَا حَارَّةٌ وَلَا بَارِدَةٌ
Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya aku pernah diperlihatkan (bermimpi) Lailatul Qadar, kemudian aku dibuat lupa, dan malam itu pada sepuluh malam terakhir. Malam itu malam yang mudah, indah, tidak (berudara) panas maupun dingin.” (HR. Imam Ibnu Khuzaimah).
Ketiga, rembulan tampak separuh bulatan. Sehubungan dengan hal ini, Abu Hurairah menyatakan: “Kami pernah bincang-bincang perihal Lailatul Qadar bersama Rasulullah, beliau berkata: “Siapakah dari kalian yang masih ingat tatkala bulan muncul, yang berukuran separuh nampan.” (HR. Imam Muslim).
Keempat, ketika beribadah pada malam tersebut seseorang akan merasakan ketenangan, khusyuk dan ketenangan hati serta kenikmatan bermunajat menyelimuti setiap orang mukmin. Tidak sebagaimana pada malam-malam biasanya.
Keempat, kondisi pagi hari yang cerah, sinar mentari tidak begitu menyengat kendatipun sudah agak siang esok harinya. Warna tenaga surya laksana lembayung yang indah dipandang mata. Sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِيْ لَيْلَةِ القَدْرِ لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلْقَةٌ لَا حَارَّةٌ وَلَا بَارِدَةٌ تُصْبِحُ شَمْسُهَا صَبِيْحَتُهَا صَفِيْقَةً حَمْرَاءَ
“Sesungguhnya Rasulullah bersabda tentang (tanda-tanda) Lailatul Qadar: “Malam yang mudah, indah, tidak (berudara) panas maupun dingin, matahari terbit (di pagi harinya) dengan cahaya kemerah-merahan (tidak terik).” (HR. Imam Ath-Thayalisi).
Kelima, terkadang tanda-tanda tersebut masuk dalam mimpi seseorang, tentunya bukan sembarang orang, tetapi orang-orang yang dekat dengan Allah. Hal ini berdasarkan pada penegasan dari Abdullah bin Umar bahwa beberapa orang dari shahabat Nabi diperlihatkan malam Lailatul Qadar dalam mimpi (oleh Allah ) pada 7 malam terakhir (Ramadan).
Itulah beberapa tanda alam yang muncul pada malam yang memiliki nilai lebih, yakni malam yang lebih baik dari pada seribu bulan. Semoga ibadah kita bertepatan dengan malam mulia itu. Namun begitu, alangkah baiknya, setelah memasuki bulan puasa kita sudah start beribadah dari awal Ramadan. Bukankah beribadah di bulan itu ada muatan pahala yang berlipat-lipat, apalagi pas malam Lailatul Qadar.