Ketika kita membicarakan tentang masa depan, salah satu hal yang paling urgen untuk diangkat adalah persoalan anak-anak; mengenai bagaimana kita mempersiapkan masa depan bangsa melalui generasi penerus kita, agar mereka sukses menggapai puncak peradaban yang kita cita-citakan, serta bagaimana cara kita mengatasi kompleksitas problem anak-anak kita hari ini.
Karena bagaimanapun, mempersiapkan generasi umat adalah proyek besar nan ambisius yang paling rumit, dan tak pernah bisa dilakukan secara instan, sebab setiap detail prosesnya harus dilalui sesuai dengan petunjuknya. Barangkali kita sering mendengar, bahwa generasi Shalahuddin al-Ayyubi (w. 589 H), yang salah satu prestasi terhebatnya adalah berhasil membebaskan Palestina dari pasukan Salib, merupakan generasi yang sudah dipersiapkan dengan matang sejak zaman al-Imam al-Ghazzali (w. 505).
Lalu, bagaimana cara kita kembali mempersiapkan generasi emas umat Islam melalui anak-anak kita hari ini? Beragam jawaban dan alternatif telah diajukan oleh para pakar, dan solusi yang ditawarkan justru sangat beragam, padahal ini adalah langkah awal yang mesti kita ambil, yang jika kita keliru pada langkah ini, maka mustahil kita akan sampai pada tujuan yang semestinya.
Bagaimanapun, sebagai umat Islam, dalam mempersiapkan generasi umat, secara garis besar kita harus mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh umat Islam generasi awal, sebagai generasi terbaik yang diakui oleh al-Quran dan hadis, dan disaksikan oleh sejarah. Sebab tak bisa dimungkiri, jika kecenderungan umat Islam hari ini adalah membebek pada cara-cara umat non-Muslim dalam menggapai kemajuan mereka. Padahal umat Islam dan non-Muslim memiliki pemahaman yang berbeda tentang kemajuan, dan tentu saja juga memiliki cara-cara yang berbeda dalam mengupayakannya. Karena itu, mengikuti tatacara Barat dalam mendidik anak adalah kesalahan awal yang paling fatal dalam menyiapkan generasi umat.
Baca Juga: Anak Kita Dan Hantu Elektronik
Orang-orang Barat membikin konsep pendidikan dan mempersiapkan generasi penerus mereka berdasarkan cara pandang mereka terhadap dunia, yang jelas berbeda dengan Islam. Konsep yang mereka terapkan juga didasarkan pada penelitian mereka yang hanya berpijak pada objek-objek kasat mata seperti manusia, masyarakat, dan lingkungan sosial, dan itu pun sangat terbatas pada masyarakat Barat saja. Karena itu hasil penelitian Barat tidak akan cocok untuk umat Islam, sebab cara pandangnya berbeda, lingkungannya berbeda, dan terlebih umat Islam juga merupakan umat berbasis wahyu. Maka, mengambil hasil penelitian Barat untuk diterapkan kepada umat Islam secara mentah-mentah, bisa membikin umat Islam kehilangan arah, dan kebingungan di persimpangan.
Di samping itu, di sini kita juga perlu menyadari, bahwa di antara sunnatullah atau hukum Allah SWT yang ditetapkan di alam ini, adalah bahwa dalam hal kemajuan dan peradaban dunia, Allah SWT memposisikan orang-orang yang beriman dan taat pada hukum-hukum serta segenap ketentuan-Nya, berbanding umat lain yang membangkang dari ketentuan Allah SWT, tak ubahnya seperti dua piringan timbangan: jika yang satunya berat, maka yang lain akan terangkat, dan begitu sebaliknya.
Artinya, jika umat Islam memiliki iman yang sejati dan kokoh, serta menjalankan segenap syariat Allah SWT, maka Allah SWT akan menjadikan mereka sebagai bangsa yang maju, yang memimpin bangsa-bangsa lain, dan menjadikan mereka sebagai pemegang kunci peradaban dunia. Kedudukan mereka akan mulia, berwibawa, di mana umat-umat lain dari non-Muslim akan berkiblat pada mereka dan menjadikan mereka sebagai panutan. Namun sebaliknya, jika umat Islam sudah menyia-nyiakan syariat Allah SWT, sibuk dengan urusan dunia dan melupakan Dzat pencipta dunia, maka Allah SWT akan menyerahkan kepemimpinan dunia ini pada umat lain yang dikehendaki-Nya, di mana umat penguasa itu akan menindas, merendahkan, dan menghinakan umat Islam.
Hal demikian, misalnya, sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran berikut:
وَإِن تَتَوَلَّوْاْ يَسْتَبْدِلْ قَوْماً غَيْرَكُمْ ثُمَّ لاَ يكونوا أَمْثَالَكُم (محمد ٣٨/٤٧)
“Dan jika kamu berpaling (daripada beriman dan ketaatan kepada Allah SWT), Ia akan menggantikan kamu dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan menjadi orang-orang seperti kamu” (QS. Muhammad 47/38).
Simak pula penegasan dari hadis Nabi berikut: Dari Tsauban, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hampir saja para umat mengerumuni kalian dari berbagai penjuru, sebagaimana mereka berkumpul menghadapi makanan dalam hidangan”. Kemudian seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah SAW, apakah kami pada saat itu sedikit?” Rasulullah SAW berkata, “Bahkan kalian pada saat itu banyak. Akan tetapi kalian bagai buih-buih air bah. Allah SWT akan menghilangkan rasa takut pada hati musuh kalian dan akan menimpakan dalam hati kalian ‘Wahn’.” Kemudian seseorang bertanya, “Apa itu ’wahn’?” Rasulullah SAW berkata, “Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Abu Dawud).
Baca Juga: Lilin Kecil Untuk Anak-Anak Kita
Nah, dengan demikian, patokan-patokan dan nilai-nilai yang menjadi faktor penyebab kemajuan dan kemunduran, kejayaan dan kehinaan, kemenangan dan kekalahan, sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran dan hadis seperti di atas, yang telah terbukti secara berulang-ulang dalam sejarah itu, semestinya kita jadikan pondasi utama dalam membentuk kepribadian anak-anak kita, sebagai modal bagi mereka dalam menghadapi masa depan.
Jadi, yang mestinya ditanamkan terlebih dahulu kepada anak-anak kita bukan pengetahuan alam, matematika, teori-teori ilmu pengetahuan, atau cita-cita akan kemajuan duniawi. Melainkan kita mesti menanamkan iman dalam diri mereka, sebagaimana pesan pertama dari Luqmanul-Hakim yang yang ditampilkan oleh al-Quran.
Hal inilah yang dilakukan oleh para orang tua sejak zaman sahabat, sebagaimana dinyatakan oleh oleh Jundub bin Abdillah, beliau berkata, “Kami adalah kanak-kanak di masa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, lalu kami belajar iman sebelum mempelajari al-Quran. Setelah selesai belajar keimanan, kami mempelajari al-Quran, maka bertambahlah keimanan kami.” (HR. Ibnu Majah).
Jika iman yang kokoh sudah tertanam kuat dalam diri anak-anak kita, kemudian mereka dibekali syariat yang lurus dan akhlak yang baik untuk amaliahnya, maka kita tak perlu mengkhawatirkan masa depan mereka. Apapun profesi mereka di masa depan, sudah pasti iman dan syariat akan menuntun mereka pada kebenaran, yang dengan itu mereka akan menggapai puncak kemajuan.
Moh. Achyat Ahmad/sidogiri