Iklim politik Indonesia sepertinya tengah memasuki babak baru, dengan atmosfer yang tampaknya jauh lebih soft and cool, ketimbang suasana perpolitikan yang telah berlalu. Salah satu pemantiknya adalah kesediaan masing-masing kubu untuk bertemu, melakukan rekonsiliasi politik. Tentu ini adalah suatu langkah maju, meski sebagian orang tak puas dan tak setuju.

Memang, secara politis, pertemuan antara pihak 01 dan 02 itu tak selalu berarti kabar baik, terlebih jika kemudian semua orang berpihak pada pemerintah, jelas akan menjadi berita buruk, sebab pemerintahan akan bergulir tanpa penyeimbang, yang dari situ otoritarianisme akan tegak berdiri. Namun secara sosial, pertemuan kedua belah pihak itu memang memberikan dampak yang instan. Terbukti beberapa menit setelah pertemuan 01 dan 02 itu berlangsung, Tagar #03persatuanindonesia segera trending di Twitter

Baca Juga: Buta Kitab Kuning, Biang Radikalisme

Nah, jika kita melihat iklim politik sudah melunak, dan semua orang tampak mulai jenuh dengan perseteruan, sehingga bersedia untuk bersatu dan bersama-sama membangun negeri, namun di ranah sosial-keagamaan, kita masih mendapati suguhan yang sungguh ironis. Egoisme kelompok dan egosentrisme golongan masih sangat keras, seperti belum bisa move on dari kegaduhan politis yang melelahkan. Hal itu ditandai dengan masih berlangsungnya pencekalan terhadap aktivitas pengajian oleh beberapa ustadz, yang beritanya tentu sudah kita dengar.

Bagaimana pun, fenomena tersebut adalah langkah mundur yang bisa merugikan terhadap bangsa secara keseluruhan. Pertama, karena pencekalan atau persekusi terhadap aktivitas keilmuan seperti itu bisa meretakkan hubungan antarumat, di mana ini merupakan aspek paling pokok yang bisa mengantarkan umat menuju kemajuan dan kegemilangan peradabannya. Sebab jika ironi itu terus berlangsung, dan kemudian direaksi oleh para simpatisan pihak yang dicekal dengan cara yang sama, maka perpecahan akan segera menyeruak ke permukaan, dan gerbang kehancuran umat pun menganga di hadapan kita.

Baca Juga: Jihad Politik Umat Islam

Kedua, mereaksi pemikiran yang berseberangan dengan pencekalan juga merupakan langkah mundur, karena hal semacam itu tak pernah dilakukan oleh para ulama NU (Nahdlatul Ulama). Para ulama NU, dari dulu hingga kini, senantiasa menggunakan cara-cara yang sangat elegan dalam menjawab pemikiran-pemikiran yang berseberangan dengan Ahlusunah wal-Jamaah, yakni dengan cara-cara ilmiah, seperti menulis kitab, mendiskusikan tema-tema yang diperdebatkan di forum-forum ilmiah, dan semacamnya. Menghadapi pemikiran dengan kekuatan otot hanya akan menyematkan citra negatif, seakan kita tak punya kemampuan ilmiah dan kehilangan kreativitas.

Ketiga, kegiatan pencekalan terhadap aktivitas pemikiran, yang diklaim sebagai radikal, sebenarnya adalah kontraproduktif. Karena jika kita mengklaim mereka radikal, dan mendaku diri kita sebagai antiradikalisme, mestinya reaksi yang kita tunjukkan pada gerakan pemikiran itu adalah kontrapemikiran. Yakni, pemikiran mesti dijawab dengan pemikiran. Jika pemikiran yang dituduh radikal malah dijawab dengan kekuatan otot atau kekuatan massa, tentu orang jadi bingung, sebenarnya pihak mana yang radikal?

Moh. Achyat Ahmad/sidogiri

Spread the love