Hari-hari belakangan ini, kita kerap menyaksikan fenomena-fenomena ganjil dalam kaitannya dengan persoalan keumatan dan kebangsaan di negeri berpenduduk mayoritas Muslim ini. Hari ini, suara umat dan bahkan bangsa seperti tidak memiliki nilai tawar di hadapan segelintir penguasa yang ditengarai bergelimang kezaliman. Sementara orang-orang yang terpilih untuk mewakili rakyat justru terlihat seperti tidak mewakili siapa-siapa, selain kepentingan diri dan kelompoknya.
Padahal seharusnya, sistem demokrasi yang diterapkan di negeri ini bisa menjadi berita bagus bagi umat Islam, mengingat mereka adalah mayoritas. “Suara Rakyat Suara Tuhan” yang menjadi simbol demokrasi mestinya bisa dijadikan senjata ampuh oleh umat Islam, agar kebijakan-kebijakan negara justru menguntungkan umat dan agama Islam dan bukan malah sebaliknya. Tentu hal itu dilakukan dengan cara memilih pemimpin dan wakil rakyat Muslim yang berkualitas dan berintegritas tinggi.
Baca Juga: Mewaspadai Perpecahan Umat
Namun faktanya, bersatunya umat Islam untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat Muslim yang berkualitas dan berintegritas tinggi adalah teori yang sulit diterapkan, setidaknya hingga detik ini. Karena kenyataannya, umat Islam itu sendiri terlalu heterogen dan tidak tunggal dalam segala hal, baik dalam pendidikan, pengetahuan agama, kualitas iman, tingkat kesejahteraan, dan lain sebagainya.
Perbedaan-perbedaan dalam tubuh umat –yang terjadi secara alami dan karenanya tidak sulit untuk dikompromikan– inilah yang dilihat oleh musuh-musuh Islam dengan sangat jeli, lalu sudut-sudut yang berbeda itu mereka tarik sedemikian rupa ke sisi-sisi yang berjauhan, agar tidak bisa direkatkan untuk disatukan kembali.
Mereka yang lemah ilmu pengetahuan dan pendidikan, dibiayai pendidikannya sekaligus dicuci otaknya, agar bisa bersahabat dekat dengan para musuh dan kritis terhadap Islam. Mereka yang lemah ekonomi dan kesejahteraan, diguyur dengan uang agar mulutnya bungkam terhadap ketidakadilan. Mereka yang lemah agama dan iman, dibodohi dengan sekularisme; bahwa urusan negara tak ada kaitannya dengan agama.
Akibatnya, meskipun umat Islam jumlahnya banyak, namun kerena sudah dikotak-kotakkan oleh musuh, akhirnya mereka saling bermusuhan satu sama lain, dan karenanya sangat sulit untuk membentuk persatuan. Maka, ketika tiba saatnya umat Islam butuh persatuan untuk melawan kezaliman yang nyata di hadapan mereka, jumlah yang banyak itu akhirnya tak memiliki nilai tawar apa-apa, tak mampu mengubah banyak hal, tak ubahnya buih di lautan.
Baca Juga: Antitesis Kemarahan Umat
Contoh gampangnya, dalam persoalan hukum memilih pemimpin non-Muslim bagi umat Islam, yang seharusnya tak boleh ada perbedaan persepsi dalam umat, dan karenanya mereka harus satu suara, faktanya justru mereka malah berbeda pendapat, bahkan tidak kompak dan saling caci maki yang merugikan pada mereka sendiri. Tentu ini akibat unsur-unsur dalam tubuh umat telah berhasil ditarik oleh musuh ke arah-arah yang berlawanan, untuk selanjutnya mereka dibenturkan satu sama lain.
Maka, pekerjaan super berat bagi para pendidik; guru-guru, para ulama, dan pesantren-pesantren, untuk membikin generasi umat yang tetap waras, nalar mereka tetap menyala, iman mereka kokoh, dengan wawasan keagamaan dan kebangsaan yang kuat dan mendalam, agar logika mereka tetap hidup dalam keadaan apapun, dan iman mereka tetap teguh dalam situasi apaun, hingga mereka tak terpengaruh oleh iming-iming beasiswa, uang, sembako, jabatan, haji dan umrah gratis, serta tawaran-tawaran melenakan yang lain.
Achyat Ahmad/sidogiri