Setiap kali isu-isu sensitif yang berkaitan dengan agama (Islam) mencuat ke permukaan, baik yang berskala lokal maupun global, baik dalam lingkup internal satu agama (Islam) saja atau melibatkan dua agama yang berbeda (antara Islam dan yang lain), selalu terjadi reaksi hebat dan heboh yang ditunjukkan oleh umat Islam. Tentu, reaksi seperti ini menunjukkan bahwa umat Islam di Indonesia ini masih sangat peduli dengan agamanya, masih sangat banyak yang tidak liberal, tidak agnostik, dan tidak sekular.

Namun pada saat yang bersamaan, juga hampir bisa dipastikan akan muncul reaksi susulan yang menjadi antitesis dari reaksi mayoritas umat Islam tadi. Reaksi kedua ini juga muncul dari umat Islam, namun tipe pemikiran mereka sama sekali berbeda dengan mayoritas umat. Jumlah mereka memang relatif kecil, namun mereka didukung oleh media-media mainstream yang alergi pada Islam, sehingga mereka tampak menang suara.

Ketika kemarahan umat Islam di seluruh dunia tumpah pada penggambar kartun Nabi di Denmark, misalnya, ternyata masih sempat-sempatnya ada segelintir orang Islam di Indonesia yang dengan tanpa beban mengatakan, “Orang Islam yang takut pada gambar, berarti keimanannya masih lemah”. Muncul pula pernyataan sebagian Muslim yang dengan sok imutmengatakan, “Agamamu tidak akan menjadi hina hanya karena dihina oleh orang lain”.

Pernyataan-pernyataan nyinyir yang menjadi antitesis dari gerakan massif umat Islam seperti itu sudah klise dan selalu berulang dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain, semisal kasusAhmadiyah, Syiah, atau yang terbaru adalah penghinaan al-Quran oleh Ahok. Anehnya, kaum nyinyir tersebut justru mendaku sebagai Islam damai, Islam kepala dingin, toleran, humanis, dan klaim-klaim memukau yang lain.

Namun yang membikin janggal dari klaim-klaim manis tersebut adalah, kenapa dalam setiap kasus mereka selalu berada di pihak yang berlawanan dengan mayoritas umat Islam, dan justru merapat pada lawan-lawan umat Islam? Ketika umat Islam berseteru dengan penggambar kartun Nabi, mereka justru membela si penghina Nabi itu. Ketika umat Islam marah pada penghina al-Quran, mereka justru membela si penghina al-Quran. Ketika umat Islam memprotes Ahmadiyah yang melakukan penodaan pada agama Islam, mereka justru membela Ahmadiyah.

Maka dari sini kita patut bertanya, apakah tindakan seperti itu layak disebut sebagai Muslim pecinta damai, ataukah lebih layak disebut sebagai kaum munafik penjilat yang gemar bermanis-manis muka? Apakah memang sedemikian itu adalah gambaran dari umat Islam berkepala dingin, ataukah umat Islam yang otak di kepalanya sudah membeku?

Seseorang, atau umat, yang menuntut keadilan karena telah dizalimi oleh pihak lain itu adalah hal yang wajar, sah secara hukum, dan bahkan harus didukung oleh pihak manapun. Karenanya ketika Anda datang ke kantor polisi melaporkan pencuri yang telah mencuri barang Anda, lalu tibatiba seseorang meminta Anda bersabar, mengikhlaskan barang yang telah dicuri dan memaafkan si pencuri itu, maka pertanyaan pertama yang wajib Anda layangkan pada orang itu adalah, “Anda sehat?!”

Moh. Achyat Ahmad/sidogiri

Spread the love