Dunia offline dan terlebih dunia online kita hari ini tampak sesak dengan perdebatan dan perbedaan pendapat yang mulai mengarah pada perpecahan umat — yang tentunya tidak kita harapkan. Fenomena ini rupanya semakin lama semakin mengkristal, sehingga umat mulai terpolarisasi pada dua kubu yang saling berhadap-hadapan.

Sebagian kalangan berasumsi bahwa gap yang meretakkan persatuan umat itu terbentuk oleh aspirasi dan kepentingan politik yang berbeda, yang sekonyong-konyong menyeret berbagai aspek kehidupan umat masuk kedalamnya, tanpa bisa terelakkan, termasuk soal ideologi kebangsaan dan kenegaraan, pandangan politik luar negeri, dan bahkan soal pemikiran keagamaan. Dan, yang membikin polarisasi ini kian miris adalah, bahwa para ulama dan tokoh-tokoh keagamaan juga tampak terpilah pada kotak-kotak yang berbeda pula.

Maka dari itu, di sini dibutuhkan suatu formulasi sederhana yang bisa dibaca dan dimengerti oleh umat secara keseluruhan. Hal itu agar mereka bisa dengan mudah mengenali kebenaran, dan tak mudah terbawa arus kebatilan yang datang dari berbagai penjuru.

Hemat penulis, formulasi tersebut dalam bahasa hadis dikenal dengan sawadul-a’zham, atau kelompok besar dalam umat. Hal itu karena ulama umat ini dijamin tak akan bersepakat pada kesesatan, sebagaimana penegasan hadis. Konsekuensinya, umat dilarang mengikuti kelompok yang mengucil, dalam arti orang atau kelompok yang pendapat dan pemikirannya berseberangan dengan mayoritas (syadz).

Dari sini, ulama membagi sosok-sosok yang ditokohkan dalam agama (ulama) pada dua kategori; ada yang disebut dengan syakhshiyyah mustaqirrah (pribadi yang stabil), dan ada syakhshiyyah qaliqah (pribadi yang kacau). Tentu saja, dengan klasifikasi ini, yang harus kita ikuti pendapat keagamaannya adalah sosok ulama yang stabil, bukan sosok yang kacau.

Sosok ulama yang stabil artinya setiap ia berpendapat, berfatwa, menuliskan dan meluncurkan karya, atau apapun dalam kaitannya dengan pemikiran keagamaan, selalu diterima oleh para ulama sezamannya, mereka semua taslim, tak ada kritik dan penolakan, maka tak ada kontroversi dan gejolak dalam keberagamaan umat: stabil. Sekadar sebagai contoh, misalnya al-Imam an-Nawawi. Semua ulama mengakui kepakaran beliau. Karyakaryanya diterima tanpa penolakan dan resistensi.

Sedangkan sosok ulama yang kacau adalah sebaliknya. Artinya setiap ia berpendapat, berfatwa, berpidato, berkarya, atau apapun, selalu direaksi oleh para ulama sezamannya, dikritik, dibantah, dan ditolak. Ini adalah tipe ulama yang kontroversial, sehingga mudah menyulut terjadinya gejolak dan kehebohan di tengah-tengah umat: kacau. Ulama macam ini jelas tak boleh diikuti, dan para ulama selalu mewantiwanti agar menjauhinya. Sekadar contoh, seperti Ibnu Taimiyah.

Poin yang hendak penulis kemukakan di sini adalah, jika hari ini kita melihat ada ulama yang bertipe seperti yang kedua ini, yang berbagai pernyataan dan pendapatnya selalu kontroversial, dan karena itu selalu ditentang atau disanggah oleh para ulama sezamannya, bahkan oleh para pengikutnya sendiri, maka hindari dan jauhilah dia. Karena bagaimanapun, penyebab dari kritik, bantahan, sanggahan, dan penolakan dari kelompok mayoritas itu tak lain karena pendapat dia nyeleneh, asing, atau menyimpang dari kebenaran. Makanya para ulama dari berbagai kalangan ramai-ramai mengkritik dan menolaknya, sebab mereka tak akan pernah berdamai dengan kesesatan.

Moh. Achyat Ahmad/sidogirI

Baca juga: Surga Dibuat Untuk Siapa?

Baca juga: Ayat-Ayat Tentang Hoax

Spread the love