Ada seorang dosen di sebuah universitas terkemuka di Indonesia yang sering membikin pernyataan kontroversial, dan karenanya ia sering meresahkan masyarakat, sebab kata-kata kontroversialnya sering bersinggungan langsung dengan agama dan keimanan. Salah satunya dia pernah mengatakan, “Bila Tuhan mentakdirkan manusia menganut beragam agama, bagaimana mungkin Tuhan menjadikan surga hanya diisi penganut satu agama?”. Bagaimana kita menanggapi pemikiran semacam itu.
Jawaban
Pertama, bahwa orang yang memunculkan pernyataan sedemikian jelas merupakan orang liberal yang menganut paham pluralisme agama, yang berkeyakinan bahwa semua agama sama-sama benar menurut Allah dan sama-sama bisa menyampaikan ke surga. Paham ini jelas sesat, karena bertentangan dengan dasar-dasar agama Islam yang qath‘i, dan karena itu MUI memfatwakan haram bagi umat Islam memeluk paham seperti ini. Dalam hal ini Allah berfirman.
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ، آل عمران ١٩
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ، آل عمران ٨٥
Kedua, orang liberal tersebut tidak memahami hubungan antara keberagaman yang merupakan sunnatullah dengan beragama Islam yang merupakan perintah Allah. Jadi keberagaman agama yang dipeluk manusia ini merupakan kehendak Allah, sebagaimana firman-Nya:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً ۖ وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ، هود ١١٩
Namun kendati keberagaman agama itu dikehendaki oleh Allah, tapi tidak berarti orang yang beragama selain Islam diridhai oleh Allah. Sebab Allah memerintahkan manusia untuk beragama Islam, dan hanya agama Islam yang diridhai Allah. Maka setiap orang mukalaf ditaklif untuk menggunakan akal pikirannya, untuk menemukan kebenaran, yakni beragama Islam, dan orang yang sudah Islam diwajibkan mendakwahkan agama Islam kepada orang yang belum beragama Islam. Karena Allah tak pernah meridhai kekufuran, sebagaimana firman-Nya:
وَلا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ، الزمر ٧
Ketiga, setelah si liberal tidak memahami dua penjelasan di atas, ia lantas membuat kesalahan berikutnya, yakni melarikan tanggung jawab kekufuran (beragama selain Islam) pada takdir. Hal seperti itu sebenarnya sudah dinyatakan oleh orang-orang musyrik pada Nabi, dan telah dibantah oleh al-Quran, sebagaimana berikut:
سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آبَاؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِن شَيْءٍ ۚ كَذَٰلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ حَتَّىٰ ذَاقُوا بَأْسَنَا ۗ قُلْ هَلْ عِندَكُم مِّنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا ۖ إِن تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ، الأنعام ١٤٨
Baca juga: Habib Umar bin Muhammad Assegaf, Pesantren itu Surga dari Dunia
Baca juga: Kunci Kerajaan Surga
Baca juga: ”Khayalan…”