Sudah maklum bahwa setiap umat Islam percaya bahwa syariat Islam memiliki tujuan yang positif bagi kehidupan manusia di dunia, seperti tercapainya keadilan, ketenteraman, dan kemajuan. Namun ternyata sebagian dari mereka berpikir bahwa penerapan dari syariat secara harfiah tidak dibutuhkan. Mereka mengatakan yang penting tujuannya tercapai. Misalnya, hukuman penjara untuk pencuri itu sudah cukup, tidak perlu dipotong tangannya, karena potong tangan itu tujuannya agar menimbulkan efek jera. Kalau dengan penjara para pencuri sudah jera, maka itu sudah cukup. Apakah pikiran seperti itu bisa dibenarkan?
Pemikiran seperti itu sangat berbahaya dan hanya menunjukkan pemahaman yang tidak lengkap terhadap syariat Islam. Sebab arah dari pemikiran tersebut adalah deaktifasi syariat (ta‘thilusy-syari‘ah), sehingga pada akhirnya orang akan berpikir bahwa tak ada satupun syariat Islam yang perlu diterapkan, sebab tujuannya sudah dianggap bisa dicapai dengan tanpa penerapan secara harfiah terhadap perantara (wasilah) yang direkomendasikan syariat.
Misalnya, dalam al-Quran diterangkan bahwa tujuan shalat adalah untuk mengingat Allah, atau dalam ayat yang lain tujuannya adalah untuk mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Jika ide tadi diterapkan pada aspek ini, maka hasilnya adalah bahwa shalat sudah tidak perlu dilakukan jika mengingat Allah dan mencegah dari perbuatan keji dan mungkar bisa dicapai tanpa shalat, atau bisa dicapai dengan perantara lain selain shalat.
Kiaskanlah hal ini pada ajaran syariat yang lain, baik dalam ibadah maupun muamalah, karena memang sudah banyak orang Islam yang melontarkan ide sesat seperti itu. Misalnya, zakat tidak perlu diterapkan di Indonesia karena umat Islam Indonesia sudah diwajibkan membayar pajak. Sistem 2:1 dalam pembagian warisan untuk anak laki-laki dan perempuan tidak perlu diterapkan di Indonesia mengingat kultur dan konteks yang berbeda antara Arab dan Indonesia.
Maka, pemahaman yang benar adalah, bahwa ketika Allah subhanahu wa ta‘ala menetapkan hikmah dan maqashid di dalam syariat-Nya, Dia juga telah menentukan sarana dan perantara khusus untuk mencapai tujuan syariat itu, yang perantara itu wajib kita jalankan, dan tak boleh kita tinggalkan atau kita kreasi dengan cara lain yang tak sesuai dengan tuntunan syariat.
Jadi, Allah subhanahu wa ta‘ala mentaklif kita dengan tujuan dan perantaranya sekaligus. Hikmah dan maksud syariat tidak bisa tercapai kecuali melalui perantara yang telah ditentukan oleh Allah. Karenanya, jika kita meninggalkan perantara yang telah ditentukan oleh Allah dalam rangka menggapai tujuan syariat, maka kita telah keluar dari perantara dan tujuan itu sekaligus, sehingga keduanya sama-sama tidak tercapai.