Mudahnya akses media informasi di era milenial, membuat simpang-siur informasi begitu bebas seakan tanpa batas. Banyak dari kalangan tidak bertanggung jawab menggunakan kesempatan ini sebagai bahan adu domba. Berbagai informasi bohong, ujaran kebencian, dan upaya fitnah disebarkan secara masif. Dan tidak sedikit dari masyarakat kita yang mempercayainya sebagai sebuah kebenaran, bahkan tidak ragu untuk menyebarluaskannya. Bagaimana pandangan pakar sejarah yang telah berusia 82 tahun sekaligus penulis buku ‘Api Sejarah’? Berikut wawancara eksklusif M. Muhsin Bahri dari Sidogiri Media kepada Prof. Ahmad Mansur Suryanegara.

Dengan semakin mudahnya media informasi, bangsa Indonesia seakan mudah menyebar hoax, pandangan Prof sebagai pakar sejarah?

Bila dilihat dari geografi nya, Indonesia adalah negara yang diapit dua samudera dan dua benua. Maka Indonesia ini menjadi negara persimpangan, dimana beragam budaya, peradaban dan informasi banyak melewati Indonesia. Jadi memang sejak dahulu masyarakat kita sudah terbiasa dengan informasi beragam yang datang dari beragam tempat pula. Hal ini tentu bisa menjadi potensi dalam satu sisi, tapi juga bisa menjadi hal yang merugikan di sisi yang lain. Salah satunya masyarakat Indonesia semakin mudah menyebarkan hoax ketika salah menerima informasi.

Mengapa rentan menerima bahkan mau menyebarkan hoax, Prof?

Kebanyakan dari masyarakat kita kurang memahami sejarah. Padahal, sebagaimana disampaikan Bung Karno, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai nilai sejarahnya. Misalnya, ada orang yang menyebarkan informasi, bahwa orang Indonesia akan diarabisasikan dengan memakai jubah, karena jubah adalah budaya Arab. Lalu informasi itu disampaikan kepada masyarakat Indonesia dengan beragam retorika penyampaian. Masih banyak masyarakat kita yang percaya dan mau menyebarkannya. Padahal seandainya mereka paham sejarah, hal itu tidak akan terjadi.

Bayangkan, mereka melarang memakai jubah karena budaya luar, tapi banyak dari mereka memakai jas berdasi. Padahal baju itu ya juga bukan budaya orang Indonesia. Kalau memang mau menggunakan busana asli Indonesia, mestinya mereka pakai baju-baju dari dedaunan, atau kulit binatang. Karena sejarahnya memang seperti itu. Baru setelah para wali datang menyebarkan agama Islam, para wali membusanai mereka dengan tetap menjaga kearifan lokal di Indonesia. Yang awalnya mereka memakai dedaunan dan kulit binatang, oleh para wali diganti dengan baju batik, dengan motif dedaunan atau binatang. Begitu. Karena Islam datang dengan misi Islamisasi, bukan Arabisasi. Meski di tanah Arab sendiri, yang dilakukan Rasulllah adalah Islamisasi, bukan Arabisasi. Maka kita jangan sampai over generalitation.

Solusi yang harus dilakukan, Prof?

Untuk mengatasinya, pola pikir bangsa ini jangan sampai terfokus pada satu titik saja. Harus ada upaya untuk mengembangkan, baik ke arah samping ataupun atas dan bawah. Artinya apa? Ketika mereka menerima sebuah informasi, baik dari media atau dari mana saja, jangan sampai menganggap hal itu sebuah menjadi sebuah kebenaran. Tidak lagi ada upaya kritis dan mengembangkan. Saya ingat dulu, ketika saya berambut gondrong, banyak orang yang mengatakan gondrong itu tidak baik. Akhirnya saya bawa dia membaca sejarah, bahwa Rasulullah berambut gondrong sebahu. Kalau kita lihat di Gereja, Yesus juga berambut gondrong. Begitulah kira-kira.

Atau ketika saya membuat jejak tapak kaki di depan rumah saya. Banyak orang bilang, wah Pak Mansur sudah kehinduhinduan. Ketika ada orang bilang seperti itu, ada pula orang yang percaya. Padahal yang saya tiru adalah sejarah Nabi Ibrahim. Sebagai mana yang kita ketahui dalam sejarah, bahwa jejak tapak kaki Nabi Ibrahim itu ada sampai sekarang di Masjidil Haram, yang dikenal dengan Maqam Ibrahim. Maka dalam penyebaran informasi saat ini juga sama. Ada seseorang yang menyampaikan sebuah informasi, dengan data yang sangat terbatas, tapi dibumbui dengan kata-kata, banyak orang yang percaya, lalu menyebarkannya.

Juga ketika agama Islam ingin dibenturkan dengan Indonesia. Banyak orang yang menyebarkannya dengan sangat masif. Akhirnya orang yang terbatas pengetahuannya mudah mempercayai. Bayangkan, fakta sejarah mana yang menolak bahwa Indonesia lahir karena perjuangan para santri dan ulama. Tidak ada sejarah yang menolak. Hanya saja, para santri dan ulama ini ikhlas dalam berjuang. Sehingga, setelah Indonesia merdeka, mereka tidak menuntut untuk menduduki posisiposisi pemerintahan. Mereka kembali ke pesantren-pesantren untuk kembali mengaji. Hingga akhirnya, banyak sejarah Islam yang diputarbalikkan, bahkan seakan-akan Islam ingin dipisahkan dengan Indonesia. Ini jelas pemahaman yang salah. Tapi masih banyak juga yang percaya dengan beritaberita semacam ini. Makanya, untuk melawan hoax, pahami sejarah informasi yang disampaikan, lakukan kajian-kajian dan pembuktian terhadap kebenarannya. Jangan langsung diterima begitu saja.

Baca juga: Santri Nasionalis Sejak Sebelum Kemerdekaan

Baca juga: Jangan Kaget, Indonesia Islam Sebelum Rasul Wafat

Baca juga: Wikipedia/Raden Abdul Jalil

Spread the love