Sikap keagamaan MUI terkait Ahok dituding sebagai penyebab keributan dan perpecahan yang tidak menunjukkan komitmen ke-Bhineka Tunggal Ika-an. MUI juga dituding masuk ke ranah politik dengan sikap keagamaan itu dan ada kepentingan untuk menjatuhkan Ahok di Pilkada DKI Jakarta. Benarkah? Berikut hasil wawancara Alil Wafa dari Sidogiri Media, dengan Kiai Cholil Nafis di sela-sela acara Rakernas MUI di Jakarta beberapa waktu yang lalu.
Sikap keagamaan MUI terkait kasus penistaan agama oleh Ahok, ada yang bilang sangat kental nuansa politisnya, apalagi momentnya hampir pilkada, menurut perspektif Anda?
Yang melihat politis atau tidak politis tentang kasus di pulau seribu yang dilakukan oleh Ahok, tergantung kita melihatnya dari perspektif mana? Kalau dari perspektif Pilkada pasti politis. Kalau dilihat dari aspek non-Muslim dianggap SARA karena berkenaan dengan konteks keagamaan bahkan etnis. Nah MUI di sini melihatnya dari sisi soal keharusan memelihara agama atau hifzhuddîn dalam pandangan syariah, atau dalam konteks undang-undang dan kebangsaan kita adalah tentang kebhinekaan.
Jadi dalam hal ini MUI melihat Ahok lah yang masuk ke ranah keagamaan, karena dia berbicara bukan di bidangnya, dia tidak bicara dalam konteks agama, tetapi dia menyebutmenyebut ayat al-Quran, kitab suci yang tidak dia imani dan tidak dia peluk, dalam konteks dia tidak memeluk Islam, tentu ucapannya itu sudah merupakan bagian dari sesuatu yang menyinggung perasaan umat Islam. Dalam ucapannya dia menyatakan orang-orang yang menyampaikan surah Al-Maidah ayat 51 melakukan kebohongan.
Untuk penistaan agama ini kita ingin mendudukkan semuanya, bahwa sebenarnya kasus ini adalah persoalan agama bagi MUI, bukan urusan politik, jangan ditarik-tarik ke ranah politik. Tetapi tidak bisa diingkari memang ada pihak-pihak yang diuntungkan sehingga terasa nuansa politiknya di luar urusan agama.
Ada tudingan sikap keagamaan MUI ini menjadi biang keributan, perpecahan, dan tidak ada komitmen kebinekaan?
Suara-suara seperti ini muncul dari pihak-pihak yang merasa kepentingannya terganggu dengan sikap keagamaan MUI. Kita perlu tahu secara kronologis asal-muasal terjadinya kasus penistaan agama ini. Kalau dilihat kronologinya, awalnya Ahok menyampaikan pernyataan yang dirasa menyakiti umat Islam dan menyulut kemarahan mereka. Ada kekhawatiran muncul reaksi publik. Ada potensi mereka mengambil tindakan hukum sendiri, bahkan bisa jadi hukum jalanan. Ternyata benar ada reaksi, termasuk juga dalam bentuk pelaporan ke penegak hukum. Makanya diminta agar ada pendapat atau fatwa dari MUI agar tidak semakin liar.
Nah melihat dari awal asal-muasal dari kasus ini, jelas bahwa di sini MUI itu meluruskan, MUI mengamankan, dan MUI mengarahkan bahwa persoalan pelanggaran dan penistaan agama harus diselesaikan melaui proses hukum, bukan dengan tuduhan di luar, apalagi mengambil tindakan-tindakan hukum di luar jalur hukum. Yang ingin disampaikan MUI bahwa penegakan hukum harus dengan cara taat hukum. Penegakan keadilan harus dengan cara adil. Membangun peradaban harus dengan cara yang beradab.
Pasca MUI mengeluarkan sikap keagamaan itu, ada upaya masif dari berbagai media, utamanya yang bertebaran di sosial media untuk membangun stigma negatif dan menyerang MUI dari segala sisi?
Ya itu sudah biasa. Suatu kebenaran pasti juga ada tantangannya. Makanya ada hadis yang menyebutkan, “qulil-haqqa walau kâna murran”, katakan kebenaran meskipun itu pahit, karena konsekuensi menyampaikan sebuah kebenaran, itu pasti ada yang berkeberatan, apalagi jika sifatnya nahi munkar. Beda dengan amar makruf, kalau amar makruf agak lebih soft, tidak begitu banyak menimbulkan reaksi. Tapi untuk melarang kemunkaran, sering kali banyak menimbulkan pertentangan. Dan penentangan itu kadang-kadang hadir dari orang yang punya kekuatan, yang mempunyai sarana dan prasarana untuk melawannya.
Gerakan itu yang kita paham, memang ada medsos yang memang murni, ada medsos yang memang pesanan. Di sini MUI sudah memahami bahwa semua itu memang merupakan konsekuensi yang harus dihadapi. Intinya di sini MUI ingin menegakkan hukum di Indonesia, MUI cinta NKRI, dan berkomitmen kebhinekaan yang dianut dan disepakati bersama.