BANYAK masyarakat yang belum memahami secara jelas posisi MUI sebagai lembaga agama di Indonesia. Selain itu, belum ada juga batasan pasti soal fatwa dan sikap keagamaan yang selama ini dikeluarkan MUI. Salah satunya adalah sikap keagamaan MUI soal penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. MUI dituding menjadi biang keributan. Banyak pihak kemudian menyerang MUI. Katanya MUI harus segera direformasi baik secara kelembagaan maupun fatwa yang dikeluarkan. Menyikapai hal ini, berikut hasil wawancara Alil Wafa dari Sidogiri Media dengan KH. Ma’ruf Amin, Ketua Umum MUI di Hotel Mercure, Ancol Jakarta beberapa waktu lalu.

Sepertinya ada usaha masif untuk menyerang membentuk stigma negatif MUI?

Iya bukan kali ini saja sebenarnya. Kelompok yang tidak menyukai MUI dalam beberapa fatwa dan sikap keagamaan yang dikeluarkan MUI, karena merasa kepentingannya terganggu dengan fatwa dan sikap keagamaan MUI, mereka pasti melakukan perlawanan. Caranya menuduh MUI dengan bermacam-macam tuduhan, biasa terjadi hal seperti ini.

Bagaimana Hubungan MUI dengan Pemerintah? Ada informasi MUI harus direformasi?

Hubungan MUI dengan pemerintah baik-baik saja, harmonis. Cuma media saja yang memberitakan macemmacem. Memang ada upaya dari pihak-pihak yang tidak suka untuk mengganggu MUI. Tadinya kan suara yang muncul mau membubarkan MUI, kemudian belakangan katanya mau mereformasi MUI. Ya sepertinya agar MUI itu bukan menjadi mufti tunggal, sehingga apa yang difatwakan MUI itu tidak menjadi satu-satunya rujukan, terutama bagi mereka yang gerah dengan pendapat-pendapat MUI. Sebenarnya hanya kelompok-kelompok tertentu saja, tidak seberapa, Cuma media yang membesar-besarkan.

Untuk masalah kebangsaan sudah final, bahwa kita di dalam berbangsa dan bernegara sudah sepakat, mengakui keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kita negara majemuk, mengakui pancasila sebagai dasar negara, sudah tidak khilaf, kecuali kelompok-kelompok kecil saja.

Ada kesan memang gerak MUI mau dibatasi, salah satunya sertifikasi halal mau diambil alih pemerintah?

Itu kan amanat dari undang-undang, DPR yang mengesahkan, akan diambil alih oleh badan pemerintah, MUI ya patuh saja, tidak ada masalah. Dalam teknisnya, fatwa halal dan tidaknya tetap dari MUI, tapi yang mengeluarkan sertifikatnya bukan MUI lagi. Di sini ada keuntungannya, sertifikat halal itu jadinya wajib. Sampai saat ini kan tidak wajib, sukarela, voluntary, nantinya akan menjadi wajib, sifatnya mandatory. Selama voluntary ini produk yang tersertifikasi halal itu Cuma 15 %. Kalau nanti berlaku mandatory maka akan menambah 85 %. Ya kita dorong saja pemerintah nantinya, mudah-mudahan nantinya membawa maslahah.

Nah untuk GNPF MUI (Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI) yang barusan, secara kelembagaan tidak ada kaitannya dengan MUI. Itu adalah gerakan masyarakat yang mendukung fatwa dan sikap keagamaan MUI. Inisiatif masyarakat sendiri. Maka MUI menyampaikan terima kasih. Jadi kalau ada tuduhan MUI yang menggerakkan massa, itu tidak benar. Masyarakat yang bergerak sendiri.

Ada isu liar bahwa MUI melarang demo?

MUI itu seperti biasanya pasti menghimbau, apapun kalau bisa dilakukan pendekatan secara musyawarah, dengan tanpa demo tujuannya bisa tercapai, ya tidak usah demo. Kalau terpaksa harus demo, maka harus dilakukan dengan tertib dan santun, dan jangan bawa panjipanji MUI. Jadi MUI itu tidak melarang juga tidak menyuruh. MUI tidak bisa melarang, presiden saja tidak boleh melarang, apalagi MUI.

Nah opini yang dimainkan sekarang, sikap keagamaan MUI dibenturkan dengan tokoh-tokoh lain yang memang dicari-cari yang beda. Untuk kasus Ahok dibenturkan dengan yang mengatakan ini bukan penistaan. Memang ada pihak-pihak yang kelihatannya memang ingin Ahok bebas, dia tidak bersalah.

Ada provokasi-provokasi yang dibangun oleh kelompok anti MUI. Mereka mencurigai MUI, jangan-jangan MUI itu main belakang. Kita gak ada main belakang. Kita tidak ada kaitannya dengan usaha-usaha menumbangkan pemerintahan, apalagi menghancurkan NKRI. Kita menjelaskan apa yang sebenarnya, dalam kasus sekarang ini Ahok menista agama, menista ulama, menista al-Quran. Jangan dihubunghubungkan dengan sentimen Ahok Kristen, Ahok Cina, dan lain sebagainya, ini adu domba.

Masalahnya sekarang opini yang dibangun, ketika umat Islam tidak menghendaki kepemimpinan non Muslim di daerah mayoritas Islam ini dianggapnya tidak punya komitmen kebangsaan dan dianggap mencederai Bhineka Tunggal Ika. Paham yang dikembangkan kemudian menolak Ahok sama dengan menolak Bhineka Tunggal Ika. Padahal Bhineka Tunggal Ika itu sesuatu yang lain, menolak Ahok itu sesuatu yang lain lagi. Makanya majelis ulama di dalam Rakernas kemarin meneguhkan kembali sikap dan komitmen kebangsaan dan kenegaraan yang final.

Sepertinya ini adalah isu-isu yang dibangun untuk meloloskan orang non Muslim yang minoritas menjadi pemimpin di daerah mayoritas Muslim. Dulu Ahok menjadi calon gubernur di Bangka Belitung, dia tersingkir dari sana juga karena Al-Maidah 51, jadi sudah dari sana dia membenci surah Al- Maidah 51, karena menjadi pengganjal. Sedangkan tokoh-tokoh Islam itu ingin menerapkan Al-Maidah 51 di daerah-daerah mayoritas Muslim.

Ketika mendengarkan ribut-ribut tentang ucapan Ahok di Pulau Seribu, orang-orang bertanya kepada MUI. Maka MUI membentuk tim dari komisi fatwa, komisi pengkajian, komisi infokom dan lainnya, maka hasilnya ada penghinaan kepada Al-Quran, dijadikan alat kebohongan dan penghinaan kepada ulama. Nah sikap keagamaan ini yang Sekarang mengalami perlawanan. Sepertinya ada upaya untuk melindungi Ahok ini, tapi saya tidak tahu pasti.

Penegak hukum terkesan beda sikap untuk kasus penistaan oleh Ahok ini, padahal sudah keluar Sikap Keagamaan dari MUI?

Karena ada tokoh yang mengatakan ucapan Ahok itu bukan penistaan. Ini perjuangan, sementara ini yang ada kekuatan hukumnya itu fatwa-fatwa MUI yang berkenaan dengan ekonomi syariah, perbankan syariah, asuransi syariah dan sejenisnya. Tapi sebenarnya dalam banyak hal pemerintah itu sering minta fatwa kepada MUI, bahkan untuk aksi 2 Desember kemarin polisi minta fatwa kepada MUI tentang shalat Jumat di jalan. Ini kan aneh, fatwa tentang Ahok dipermasalahkan, terus minta fatwa lagi.

Dari dulu, memang fatwa-fatwa MUI itu selalu jadi acuan pemerintah, seperti ketika kasus Ahmadiyah, meskipun alot, tapi akhirnya dikeluarkan SKB tiga menteri. Kasus Gafatar pemerintah melakukan eksekusi menunggu fatwa MUI, termasuk yang Kasus terakhir di Jawa Timur, Dimas Kanjeng, pemerintah menunggu fatwa MUI. Nah untuk urusan Ahok ini, sikap keagamaan MUI dipersoalkan. Dibuatlah second opinion untuk membantah sikap keagamaan MUI. Dari dulu-dulunya hampir gak pernah kayak gini. Di undang-undang memang tidak ada kekuatan hukumnya.

Alil Wafa/sidogiri

Spread the love