Islam sebagai agama yang harus dijalankan mestinya berdasarkan pada kebenaran ajaran yang bersumber melalui riwayat yang sahih, khususnya sumber kedua, yakni hadis. Akan tetapi, realita dalam diskursus keilmuan Islam, ada fenomena unik yaitu periwatan melalui kasyf. Hadits yang telah dihukumi dha’if atau maudhu’ oleh kalangan Muhadditsin bisa jadi dihukumi shahih melalui perantaraan Kasyf tersebut. Butuh ulasan panjang mengenainya, tetapi pada tulisan ini akan sedikit mengupasnya.

Riwayat bil-Kasyf banyak dikenal dalam dunia sufistik. Kasyf artinya tersingkapnya tabir kegaiban sehingga pelakunya dapat menyaksikan dengan tegas sesuatu yang secara normal sulit dialami. Kalangan sufi, terutama, meyakini memiliki keistimewaan itu sehingga dapat mengetahui hal-hal yang gaib, rahasia-rahasia tersembunyi, termasuk adanya keyakinan bertemu dengan ruh ulama-ulama terdahulu yang sudah meninggal, atau bahkan dengan Rasulullah.

Salah satu kitab yang menjadi sorotan terkait dengan riwayat bil-Kasyf ini adalah Ihya’ Ulumiddin, kitab fenomenal dan monumental yang ditulis oleh Abu Hamid al-Ghazali ath-Thusi. Di dalamnya kitabnya tersebut, al-Ghazali tidak hanya menyoroti fikih dari sudut hukum, tetapi lebih dari itu mengurai makna terkandung dari ajaran syariat. Dalam uraiannya, al-Ghazali mendasarkan pikirannya pada dalil nash, melalui pendekatan al-Quran, hadis, atsar dan pendapat ulama. Namun kemudian, sebagian orang menganggap miring karya besar al-Ghazali ini, khususnya hadis-hadis di dalamnya yang dinilai dhaif atau bahkan maudhu’.

Kontroversi hadis-hadis dalam kitab Ihya’ ini, kemudian direkam oleh Haji Khalifah di dalam kitabnya Kasyfuzh-Zhunun. Ia menjelaskan bahwa kitab Ihya’ Ulumiddin karangan al-Ghazali ini, beserta hadis-hadis didalamnya memang banyak sekali yang mengkritisinya sejak dahulu, bukan hanya orang sekarang. Termasuk al-‘Iraqi, seorang kritikus hadis kenamaan.

Baca Juga: Hadis Dhaif Dalam Lingkaran Fikih

Namun demikian, juga tidak sedikit para alim yang mengutamakan dan bahkan memuji kitab Ihya’ Ulumiddin. Diantaranya adalah kitab Ta’riful-Ahya’ bi-Fadlailil-Ihya’. Di dalam kitab ini dijelaskan diantaranya tentang keutamaan dan pujian kitab Ihya’, juga jawaban atas kemusykilan yang disampaikan oleh sebagian ulama terhadap kitab Ihya’ tersebut.

Di antaranya, pernyataan Syekh Abdullah bin As’ad al-Yafa’i, bahwa Syekh Isma’il bin Muhammad al-Hadrami dan Isma’il al-Yamani pernah ditanya tertang beberapa karangan Imam Abi Hamid al-Ghazali. Di antara jawaban beliau berdua adalah: “Nabi Muhammad adalah Sayyidul-Anbiya’, Muhammad bin Idris as-Syafi’i Sayyidul-Ai’mmah, dan Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali adalah Sayyidul-Mushannifin.”

Al-Yafa’i juga menyebutkan tentang seorang ‘alim yang pernah sangat mengingkari dan menentang kitab Ihya’ Ulumiddin, yakni seorang syekh yang juga imam besar, Abil-Hasan ‘Ali al-Maghrabi. Beliau seorang yang berwibawa dan menjadi panutan. Suatu ketika dia memerintahkan beberapa orang untuk mencari dan mengumpulkan kitab Ihya’-Ulumiddin yang beredar dan bermaksud membakarnya di masjid pada hari Jumat di hadapan orang banyak.

Pada malam Jumat yang dijanjikan, dia bermimpi seakan memasuki masjid. Ternyata di dalamnya ada baginda Nabi Muhammad bersama Shahabat Abu Bakar dan ‘Umar bin al-Khatthab, sedangkan imam al-Ghazali berdiri di hadapan baginda Nabi. Ketika Imam al-Ghazali menghadap pada Syekh al-Maghrabi (yang inkar pada Ihya’ Ulumiddin) al-Ghazali berkata: “Orang ini yang menentang saya wahai baginda Rasulullah.”

Kemudian al-Ghazali berkata, “Jika (kitab Ihya’) memang seperti yang ia duga, maka saya bertaubat kepada Allah., dan jika ternyata didalamnya terdapat sesuatu atas berkahmu (wahai Rasulullah), maka saya menuntut hakku darinya wahai Rasul.

Kemudian al-Ghazali memberikan kitab Ihya’ kepada baginda Nabi, lalu beliau mengoreksi dan menilitinya perlembar sampai hatam. Setelah itu, baginda Nabi bersabda, “Sungguh (kitab Ihya’) ini adalah kitab yang baik.”

Kitab tersebut kemudian diberikan kepada Shahabat Abu Bakar, beliaupun menelitinya, dan berkata “Demi Dzat yang mengutusmu wahai Rasul, sungguh (kitab Ihya’) ini adalah suatu yang sangat baik. Kemudian diserahkan kepada Shahabat ‘Umar bin al-Khatthab, beliaupun berkomentar yang sama dengan Shahabat Abu Bakar dan Nabi.

Akhirnya baginda Nabi memerintahkan agar Syekh al-Maghrabi tersebut melepas jubahnya, dan kemudian dia dicambuk. Setelah dicambuk lima kali, Abu Bakar as-Shiddiq meminta agar menghentikannya, dan berkata, “Wahai Rasulullah. kemungkinan dia menganggap bahwa kitab Ihya’ bertentangan dengan sunnah Rasul”. Akhirnya, al-Ghazali pun memaafkannya.

Baca Juga: Shahih Karya Al-Bukhari Karya Yang Paling Teruji

Syekh al-Maghrabi pun bangun dari tidurnya, dan bekas cambukan masih kelihatan di punggungnya. Akhirnya, beliau memberitahukan kejadian itu pada para muridnya, dan iapun bertaubat pada Allah. atas inkarnya terhadap kitab Ihya’ Ulumiddin.

Namun, rasa sakit akibat dicambuk masih terasa dalam waktu yang cukup lama. Beliau tetap meminta ampun pada Allah dan meminta syafaat baginda Nabi. Sampai akhirnya beliau bermimpi bertemu baginda Nabi. Dalam mimpinya, baginda Nabi mengusap luka bekas cambukan, dan sejak saat itu, sembuh total rasa sakit yang selama itu dialaminya. Akhirnya, beliau pun rajin mempelajari kitab Ihya’ sampai menjadi syekh ilmu zhahir dan batin.

Menurut al-Yafa’i, cerita ini sangat sahih, sebab diriwayatkan dari beberapa orang alim, bahkan para wali Allah. yang sanadnya bersambung dengan orang hidup semasa dengan Syekh al-Maghrabi. Bahkan menurut Syekh Abul-Hasan as-Syazhili saat Syekh al-Maghrabi wafat bekas cambukan masih terlihat jelas di punggungnya.

Kisah pertemuan dengan baginda Nabi dalam mimpi yang mengakui semua isi kitab ihya’, menjadi gambaran terkait hadis-hadis dalam kitab Ihya’ termasuk dalam riwayat bil-kasyf. Dalam ilmu periwayatan, dikenal dengan istilah riwayat bil-kasyf yang jalur isnadnya tidak melalui jalur biasa, melainkan melalui mimpi atau bertatap muka langsung dengan Nabi.

Sebagian ulama ada yang mengambil cukup untuk dijadikan alasan kuat dengan mempercayai baiknya kitab Ihya’ Ulumiddin, sebab mimpi bertemu baginda Nabi sama dengan kenyataan. Namun demikian, Imam al-Ghazali sudah menulis karangan kitab yang isinya pembelaan terhadap kitab Ihya’ Ulumiddin. Kitab tersebut berjudul “Al-Imla’ ‘ala-Musykilil-Ihya’” dan nama lain “al-Ajwibah al-Muskitah ‘anil-As’ilah al-Mubhitah.” Untuk lebih jelasnya, kita mentelaah kitab tersebut, supaya mendapatkan jawaban yang pas dari pengarangnya.

Itulah sedikit gambaran terkait dalil-dalil agama yang didasarkan pada periwayatan bil-kasyf yang memang ada dalam kajian Islam. Kelanjutan tulisan ini akan mengurai sikap para ulama terkait dengan dalil yang didapat melalui riwayat bil-kasfy. Semoga manfaat.

M. Masyhuri Mochtar/sidogiri

Spread the love